Opini

#TolakGambarAI: Perlawanan Seniman Lokal terhadap Maraknya Penggunaan AI Di Dunia Seni

Keresahan pegiat seni atas hadirnya ilustrasi AI yang merugikan perjuangan dari seorang seniman untuk berkarya

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Akun X @YuxTales

Pada Desember 2023, jagat X diramaikan dengan sebuah tagar #TolakGambarAI, di mana para seniman digital bersama-sama mengumandangkan penolakan mereka terhadap Artificial Intelligence (AI) Generate Image yang ramai digunakan di dunia maya. Melalui aksi ini, pekerja seni menuntut upaya regulasi terhadap penggunaan AI dan generative AI, sekaligus mengedukasi masyarakat awam terkait pelanggaran hak cipta dari AI generate image tersebut. Aksi ini pun juga sebagai upaya agar masyarakat dapat mendukung para seniman lokal dalam berkarya. 

Penolakan ini lahir dari keresahan seniman hingga pelaku industri kreatif yang merasa dirugikan dengan hadirnya aplikasi seperti Midjourney, Dall.E, dan sebagainya, yang telah mengambil hingga ribuan karya seniman tanpa izin sebagai bahan belajar untuk mesin AI mereka. Selain itu, aksi #TolakGambarAI ini juga didasari oleh penyalahgunaan gambar yang dihasilkan melalui AI sebagai bentuk komersil hingga menjadi media kampanye.

Kalangan pegiat seni pun banyak yang mendukung aksi ini meski tak sedikit juga yang melihatnya sebagai aksi yang buruk. Hal ini dikarenakan mereka yang kontra melihat #TolakGambarAI sebagai satu bentuk kemunduran sebab menolak perkembangan teknologi. 

Apakah aksi ini bentuk dari penolakan beradaptsi dengan perkembangan zaman?

Sebenarnya, aksi semacam ini bukanlah yang pertama kali digaungkan. Pada tahun 2022, tagar #SayNoToAI sempat mengudara dengan fokus yang kurang lebih sama, yaitu menuntut adanya regulasi penggunaan AI dan generative AI. Hal ini berdasarkan cara kerja AI yang mengambil ratusan hingga ribuan gambar hasil karya para seniman tanpa seizin mereka. 

Sederhananya, AI generator akan mengambil banyak sekali gambar dari hasil karya para seniman yang tersebar di internet, lalu menggabungkan gambar yang diperoleh hingga membentuk gambar sesuai dengan prompt yang diketik oleh penggunanya.

Aksi ini cukup ramai ketika pertama kali muncul dan disuarakan oleh banyak pekerja seni di seluruh dunia yang resah dengan maraknya penggunaan AI generator ini. Tetapi hal tersebut mulai tenggelam dan tidak banyak dibicarakan lagi kecuali oleh mereka yang memang vokal terhadap fenomena ini. Penolakan terhadap gambar AI ini kemudian naik kembali setelah tagar #TolakGambarAI disuarakan oleh seniman di Indonesia.

Permasalahan yang menjadi titik fokus dari aksi ini adalah bagaimana mesin AI mengambil data. Data tersebut diambil dan digunakan tanpa izin bahkan tanpa sepengetahuan pemilik asli dari gambar tersebut. Secara tidak langsung, hal ini sudah melanggar etika hingga hukum, khususnya terkait hak cipta. Makin diperburuk lagi jika gambar yang dihasilkan digunakan secara komersil. 

Salah satu contohnya ialah kasus merek mi instan yang sempat menggunakan AI dalam iklan mereka sehingga menuai kecaman. Hingga kasus yang cukup hangat saat ini, yaitu penggunaan gambar AI sebagai media kampanye di Pemilu 2024. Penggunaan gambar AI dinilai lebih menguntungkan karena tidak memakan banyak waktu ditambah ongkos yang lebih murah daripada membeli komisi dari seniman atau ilustrator lokal. Tentunya alasan tersebut memicu kemarahan para pegiat seni. 

Hingga saat ini, perdebatan tentang gambar AI ini masih memanas. Argumen yang kerap kali digunakan orang-orang yang kontra dengan aksi tersebut adalah seniman yang menolak AI sama dengan menolak perkembangan teknologi. Hal ini tentunya kurang tepat, karena tuntutan pekerja seni atas aksi penolakan ini adalah adanya regulasi yang jelas, karena AI telah menyalahi banyak aturan dan melanggar etika dengan mengambil karya para seniman tanpa consent atau izin. Jika seniman disebut menolak teknologi, maka tidak akan ada seniman yang menciptakan karya mereka melalui perangkat digital.

Dalam hal ini, menolak AI bukan berarti menolak perkembangan teknologi, melainkan mendorong teknologi kecerdasan buatan ini agar dapat digunakan tanpa melanggar, baik secara etika maupun hukum serta mencegah penyalahgunaan dari AI itu sendiri.

AI generator telah mengkhianati jerih payah para seniman yang perlu menghabiskan banyak waktunya bahkan sepanjang hidup mereka untuk meningkatkan kemampuan diri hingga akhirnya bisa menciptakan suatu karya. Apalagi selama ini, para pekerja seni di Indonesia belum mendapatkan perhatian dan apresiasi  yang baik dari masyarakat. Seperti membayar jasa mereka dengan harga yang tidak sepadan, kurang mendapat penghargaan atas karya mereka, dan tidak melihat pekerja seni sebagai suatu pekerjaan yang layak. 

Aksi ini pun sesungguhnya tidak hanya soal karya dari ilustrator saja. Akan tetapi juga relevan dengan penyanyi hingga figur publik yang suaranya telah “dicuri” oleh AI hingga pengguna awam media sosial yang mengunggah foto mereka di internet. 

AI yang disalahgunakan dapat menciptakan fitnah untuk orang yang tidak bersalah, bahkan dapat membuat foto seseorang menjadi tidak senonoh. Jika tidak segera dibentuk regulasi terkait penggunaan AI generator ini, maka tidak terbayang betapa kacaunya dunia internet nantinya. Apalagi melihat AI yang semakin hari semakin canggih hingga bisa menciptakan sesuatu diluar nalar.

Kemunculan AI memang menjadi bagian dari perkembangan teknologi yang tidak bisa diganggu gugat. Penulis percaya, AI pun kelak akan menjadi terobosan yang mampu membantu secara positif seperti di dunia sains dan teknologi yang membutuhkan perhitungan yang besar serta cepat. Tak hanya itu, bidang kesehatan dan farmasi pun juga mendapatkan kemudahan dengan adanya kecerdasan buatan.

Akan tetapi penulis merasa bahwa AI tidak cocok dan tidak bisa bersanding dengan industri kreatif yang penuh imajinasi liar dari para seniman yang memiliki jiwa yang begitu melekat pada karyanya. Bahkan secanggih apapun AI, tidak bisa menirukan jiwa dari karya seni itu. Meskipun begitu, AI generator tetap butuh aturan yang jelas agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Pesan terakhir sebelum menutup tulisan ini adalah, mari kita dukung dan apresiasi karya dari para seniman lokal Indonesia!

Opini ini ditulis oleh Anisa Dwi Lestari, mahasiswi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Unmul 2021



Kolom Komentar

Share this article