Subcomandante Marcos: Pemberontak Bertopeng yang Gemar Membaca Sastra
Kisah perjuangan seorang revolusioner kutu buku dari Meksiko
Sumber Gambar: Archive/EL UNIVERSAL
Subcomandante Insurgente Marcos merupakan pemimpin besar Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN) atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista yang berlokasi di Chiapas, Meksiko Tenggara. Nama aslinya adalah Rafael Sebastian Guillen Vicente, lahir pada 19 Juni 1957 di Tampico, Meksiko.
Ia melakukan pemberontakan pertama kalinya saat malam tahun baru 1994 yang bertepatan dengan diberlakukannya Zona Perdagangan Bebas Amerika Utara. Nama Zapatista berarti sebagai pengikut Zapata, yang menunjukkan adanya keterkaitan dengan Gerakan Emiliano Zapata yang menggagas Reforma Agraria di negara Meksiko Tahun 1911.
Subcomandante Marcos merupakan mantan profesor filsafat di salah satu perguruan tinggi Meksiko. Namun, dirinya bukan sekadar intelektual tukang yang suka taken kebijakan, seperti kebanyakan dosen di Perguruan Tinggi Indonesia. Dia melepaskan dunia akademisnya demi menciptakan suatu ruang bagi kaum papa yang selama ini tersisihkan.
Subcomandante Marcos mengunjungi pegunungan Chiapas untuk yang pertama kalinya dengan tujuan untuk bertemu pasukan gerilyawan yang baru terbentuk. Bukan amunisi bedil atau granat yang ia bawa bersama ranselnya, melainkan kumpulan buku-buku sastra karya dari pujangga terkenal Amerika Latin (Garcia Marquez, Varga Llosa, Julio Cortazar).
Gerakannya menggabungkan antara politik dan sastra, hal ini menjadi sesuatu yang baru dalam Gerakan revolusioner negara Amerika Latin. Alih-alih Lenin pemimpin revolusi Bolshevik sebagai inspirasinya atau Mirabeau, Danton, Marat, dan Robespierre sebagai tokoh-tokoh terkenal dalam revolusi Perancis, tetapi ia lebih memilih Shakespeare sebagai tokoh inspirasi dalam gerakannya. Ia membedah, menganalisa, dan merangkai kata-kata puisi untuk membongkar paradoks kebohongan para penguasa di Meksiko.
Subcomandante Marcos membangun sebuah ruang demokratis yang beranggotakan golongan akar rumput seperti Masyarakat Adat, Lansia, Perempuan, LGBT, Kaum Miskin Kota, Petani, dll. Ruang ini diperuntukkan bagi kesetaraan, persaudaraan, dan kebebasan terhadap kaum yang selama ini suaranya selalu diartikulasikan oleh pihak penguasa,
Selain karya sastra, Subcomandante Marcos juga terpengaruh oleh Ideologi Marxisme, Sosialisme, dan Libertarian. Ini kemudian menjadi suluh perjuangan gerak organisasinya. Ia merupakan seseorang yang anti terhadap Kapitalisme dan Neoliberalisme sebab kedua ideologi tersebut menyebabkan begitu banyak perang di berbagai negara, hingga mengorbankan banyak jiwa yang tak bersalah.
Kapitalisme dan Neoliberalisme menyebabkan negara adikuasa ingin terus menjajah negara-negara yang dianggap terbelakang, tetapi kaya dengan sumber daya alam. Sehingga segala cara dihalalkan demi tunduknya negara terbelakang tersebut.
Oleh negara adikuasa tersebut, negara terbelakang hanya dianggap sebagai wilayah Frontier yang berarti wilayah tersebut hanya dianggap sebagai penghasil objek komoditas ekonomi. Sehingga sumber daya alam yang dimiliki secara terus-menerus dikeruk oleh para pemilik modal. Implikasinya di wilayah seperti ini situasi budaya tidak dapat dikatakan normal seperti tumpang tindih aturan, hukum yang timpang, dan hak atas tanah yang dapat diambil alih sewaktu-waktu.
Para pemimpin di wilayah Frontier bukan tunduk kepada ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’, tetapi mereka tunduk kepada kaum borjuis. Pemimpin wilayah Frontier lebih membela kaum borjuis karena lebih banyak untung yang dapat diperoleh. Mereka lebih suka menjilat-jilat bokong penguasa, daripada rakyat yang setiap lima tahun sekali mereka ambil suaranya.
Hal ini tentu memunculkan pertanyaan kritis bagi pembaca, apakah pemimpin di negara kita Indonesia atau khususnya di Kalimantan Timur sudah benar mendengarkan suara rakyatnya? Atau hanya sekadar berswafoto di ruang kerja. Lalu, memberi takarir di unggahannya dengan kalimat “Sedang Memperjuangkan Nasib Rakyat”. Padahal, yang dikerjakannya hanyalah merumpi antar sejawatnya.
Opini ditulis oleh Andreas Hului, mahasiswa Pembangunan Sosial, FISIP Unmul 2020.