Opini

Fast Fashion dan Rasa Cukup

Fesyen

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @fash_rev

Revolusi industri tak ayal punya dampak dalam beragam sektor. Mulai dari pola-pola kerja, orientasi, hingga menyangkut perilaku masyarakat. Jika membahas banyaknya faktor kerusakan alam, yang disebut paling sering bisa saja penggunaan kantong plastik yang berlebihan atau energi tak terbarukan yang tereksploitasi sampai titik darah penghabisan.

Di samping itu, beriring pula industri fesyen atau biasa disebut fast fashion. Jika di abad sekian fesyen menjadi hal mewah, maka sekarang siapapun bisa menikmatinya. Upah buruh yang rendah serta bahan kurang berkualitas menyebabkan fesyen bisa dikonsumsi siapa saja, bukan hanya kalangan atas.

Industri fesyen dunia menyasar pekerja wanita yang berpendidikan rendah di kawasan Asia. Jika kalian pernah membaca tajuk runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh, atau menonton film dokumenter berjudul The True Cost, maka hal itulah yang berkaitan dengan opini kali ini.

Namun, gemerlap fesyen yang terkesan masih menjadi privilege menyebabkan fesyen tak jadi perhatian utama dalam bahasan kerusakan lingkungan. Padahal, limbah tekstil tiap tahunnya menyumbang emisi.

Vice.com menyebutkan industri fesyen menghasilkan emisi gas lebih merusak dibanding gabungan industri pelayaran dan penerbangan. Jumlah limbah dari aktivitas pembuatan baju, celana, hingga sepatu di seluruh dunia semakin meningkat, seiring dengan makin banyaknya air bersih terbuang demi mengikuti tren fesyen.

Hal-hal genting memang luput diajarkan di bangku sekolah. Namun, manusia selalu punya kesempatan belajar dan membaca hal-hal baru di luar sana kalau saja mau. Untuk masyarakat urban seperti kita, mungkin tak pernah membayangkan dampak limbah tekstil akan seperti apa.

Namun, apa yang jadi pembeda untuk kita yang mengenyam bangku sarjana dengan yang tidak, jika tak mampu menaruh simpati atau rasa ingin tau terhadap suatu hal?

Lebih lanjut, industri fast fashion sendiri bercirikan selalu dengan banyaknya model fesyen dan mengikuti tren terbaru. Rentang waktu ditemukannya mode, pembuatan baju, hingga proses produksi tergolong singkat. Serta penggunaan bahan baku kurang tahan lama.

Sebut saja Zara, H&M, dan Uniqlo bisa saja memproduksi berpuluh-puluh mode dalam setahun. Namun penggunaan produk itu sendiri tak lewat dari setahun. Kalimat "sale" atau "jangan sampai kehabisan" menyebabkan masyarakat bersikutan untuk menjadi juara 1 lomba terkonsumtif, dan tak ingin ketinggalan tren terkini.

Akun Instagram @fash_rev sendiri menyerukan tagar seperti #WhoMadeMyClothes sebagai bentuk perenungan manusia di dunia tentang keputusan mereka membeli pakaian baru, juga dukungan untuk memelankan laju fesyen beserta limbah tekstil nantinya atau dikenal dengan slow fashion.

Hadir pula prinsip The Buyerarchy Needs yang dikemukakan oleh Sarah Lazarovic, bahwa sebelum membeli ada tahap-tahap yang dapat kita pertimbangkan. Pertama, use what you need atau pakai saja dulu apa yang kamu punya. Mix and match semampumu. Kedua, Borrow atau pinjam dengan teman. Hal ini bisa diterapkan jika ingin menghadiri acara yang menggunakan baju bertema.

Ketiga, thrift atau yang sering dikenal dengan istilah ‘baju cakar’. Langkah ini mulai menjamur di Indonesia. Thriftshop mulai ada di mana-mana, dengan harga terjangkau tapi tetap bisa memukau. Keempat, swap atau tukar baju dengan temanmu. Mungkin memang kurang lazim di Indonesia, tapi tidak salahkan untuk dicoba? Kelima, make. Membuat baju sendiri atau di tukang jahit tentu bisa jadi pertimbangan untuk menuju langkah terakhir yakni membeli.

Banyak hal yang bisa kita lakukan dan pelajari perlahan, bahwa kerusakan lingkungan tak melulu soal kantong plastik, walau sebenarnya mikro plastik tetap hadir dalam industri fesyen. Namun ketika kita mempelajari, kita jadi dapat mempertimbangkan lebih baik; benar-benar butuhkah saya untuk membeli dan membeli lagi? Apakah barang yang akan saya beli ini membuat hati saya senang, dan mata saya berbinar lebih lama? Atau ini cuma keinginan saya dengan ketidakmampuan saya untuk merasa "cukup"?

Ditulis oleh Restu Almalita, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2018.



Kolom Komentar

Share this article