Opini

Bukan tentang A

Sebuah opini yang ditulis oleh Pandu Putra Pratama, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unmul. (Sumber foto: Undas.co)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Suasana siang itu menjadi sedikit menggembirakan. Namun, secara bersamaan membuat otak harus bisa berpikir lebih kritis. Saat mulai banyak mahasiswa-mahasiswa yang membagikan ulang kabar baik di facebook, repost foto di instagram atau tiba-tiba jadi mahasiswais sejati di BBM, Line, Path, atau media sosial lainnya sambil mengucapkan selamat atas pencapaian Universitas Mulawarman yang telah berhasil mendapatkan akreditasi A.

Ucapan selamat yang sekaligus juga menyimpan pesan tersirat bahwa mereka sedang bahagia karena tempatnya kuliah, penilaiannya naik. Sederhana, mereka bahagia karena tempat kuliah mereka penilaiannya naik. Maaf saya ulang dua kali karena itulah pembahasan pentingnya. Karena tempat kuliah mereka penilaiannya naik. Sekarang tiga kali.

Ini juga yang berarti membuat saya juga harus ikut-ikutan bangga, karena sudah genap tiga tahun dan akhirnya bangku-bangku yang saya duduki di kampus selama ini, adalah bangku yang telah resmi milik universitas dengan penilaian A dari pihak BAN-PT. Toh, seharusnya sekarang, saya tidak boleh minder lagi kalau bertemu dengan kawan-kawan lama yang berhasil terbang ke sebelah pulau dan menuntut ilmunya di sana. Saya seharusnya sudah tidak perlu minder lagi karena tempat saya menuntut ilmu pun telah sejajar standarnya dengan universitas-universitas kawan-kawan saya itu.

Tapi, benarkah demikian?

Kebetulan, saya sedang berada di kampus siang itu. Saya lantas menengadah kepala, menengok mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri. Sudah adakah yang berubah sejak pertama kali saya masuk? Nampaknya, masih belum begitu banyak perubahan. Kecuali bila saya bertanya tentang perubahan kondisi bangunan kampus. Semakin tahun tentu semakin baik. Saya tidak memungkiri soal itu.

Dari kampus Flores tempat saya kuliah. Saya menaiki motor dan menembus guyuran hujan rintik-rintik menuju kampus pusat di Gunung Kelua. Dengan niatan mengunjungi teman di salah satu fakultas terbesar di Unmul, sambil menengok kembali mahasiswa-mahasiswa di sana yang sedang asik bercengkrama dan nampak melempar senda gurau di bangku-bangku yang tersedia. Adakah yang berubah? Jelas saya tidak tahu, karena tempat itu bukan kampus tempat saya kuliah.

Tapi, yang bisa saya tebak siang itu adalah mereka semua pasti sudah tahu, kabar tentang naiknya akreditasi universitas tempat mereka berkuliah. Walaupun mungkin, topik kenaikan ini tidak begitu hangat dibicarakan di ranah perdiskusian kampus, karena masih kalah pamor dengan tema menentukan waktu dan tempat yang paling tepat untuk bukber angkatan prodi -ya, itu permasalahan klasik kita semua. You know what I mean-.

Namun nampaknya, media sosial semakin ramai. Bahkan, mahasiswa yang selama ini tidak pernah menganggap diri mereka mahasiswa pun, juga turut ikut-ikutan merayakan keberhasilan. Caranya pun makin beragam, mulai dari tiba-tiba puitis dan jago bikin caption sampai muncul sebagai seorang ahli desain grafis handal dan bikin e-poster ucapan selamat. Saya bisa bilang kalau ini euforia. Tapi semoga, tidak hanya sekadar demikian. Harus ada evaluasi, harus ada evaluasi, harus ada evaluasi.

Sore itu, saya sudah tiba di rumah. Azan magrib akan berkumandang sekitar satu jam lagi. Menu berbuka pun sudah tersaji rapi di atas meja makan. Sebelum itu, saya keluar dari dalam rumah. Duduk termangu di teras depan, sambil kembali membuka-buka media sosial dan melirik status-status atau postingan-postingan mahasiswa unmul yang nampaknya semakin gencar mengumandangkan rasa bangga. Saya mulai membayangkan mereka sedang gembira. Seperti ada malaikat yang menolong mereka keluar dari dalam lubang yang telah menyekap mereka selama bertahun-tahun. Namun, saya mulai kembali bertanya pada diri saya sendiri.

Sudah pantaskah semua itu?

Mungkin jawaban yang bisa saya temukan adalah kata iya. Tapi, hanya untuk kualitas universitasnya.

Namun, yang patut digaris bawahi adalah universitas merupakan tempat di mana banyak orang-orang yang berada di dalamnya. Dengan jumlah yang paling besar adalah berstatus mahasiswa.

Mahasiswa adalah jantung utama universitas. Bila tidak ada mahasiswa, bukan universitas namanya, bisa jadi pasar malam atau mungkin pasar ramadan. Tapi ini universitas. Mau saya ulangi lagi? Universitas. Perlu saya ulangi lagi? Tidak perlu sepertinya, karena yang tiga kali diulang biasanya hanya iklan-iklan di TV.

Kualitas universitasnya mungkin sekarang sudah naik. Tapi, benarkah mahasiswa yang merupakan napasnya pun juga sudah naik kualitasnya? Silakan, jawab dengan cerminan diri Anda masing-masing.

Saya bisa bilang, bahwa nilai suatu badan hanya akan sekadar menjadi sebuah nilai. Apabila hal tersebut tidak diiringi oleh perbaikan dari pengisi badan itu sendiri. Percuma rasanya bila suatu badan telah bernilai A, tapi, pengisi badan itu sendiri orientasi nilainya masih mentok di bawah nilai A. Kita mungkin saja bisa mengaku bahwa ijazah yang akan kita pegang nanti, dikeluarkan oleh universitas yang punya akreditasi A. Tapi kalau diri kita sendiri sebagai seorang pemegang ijazah masih belum menaikan kualitas diri dan mungkin mentok di level C atau B, nilai A milik badan yang mengeluarkan ijazah itu hanya akan sia-sia.

Nilai A yang dimiliki Unmul benar-benar tidak akan pernah bisa membantu mahasiswa, kalau mahasiswanya sendiri tidak pernah berusaha untuk mau memperbaiki diri.

Kita harus melihat bagaimana minat bersaing kita yang masih buruk. Lalu, apa kabar soal ketekunan yang kita miliki saat ini? Bagaimana, soal keuletan kita yang nampaknya masih agak menjadi mitos.

Apakah setelah membaca itu, Anda mulai hendak memprotes saya? Apakah Anda ingin menuduh saya hanya suuzan? Baiklah, anggap saya suuzan. Tapi, besok -di luar bulan Ramadan maksudnya-, coba Anda tengok perpustakaan Unmul dan perpustakaan-perpustakaan yang Anda miliki di kampus. Bandingkan jumlah orang yang sedang asik membaca buku di sana, yang jelas tidak akan sebanding dengan jumlah mahasiswa yang sedang berada di warung makan pada waktu bersamaan.

Sesekali, cobalah cari tahu tentang forum diskusi mahasiswa yang berada di Unmul. Jika dapat -kalau mau nyari pasti dapat-, cobalah berkunjung. Bandingkanlah, jumlahnya yang tidak akan sebanding dengan jumlah mahasiswa yang memilih untuk nongkrong di kafe pada waktu bersamaan.

Mungkin, Anda akan bilang kalau saya terlalu pesimis.

Tentu. Saya akan tetap pesimis kalau kita terus-terusan seperti itu. Kalau kita terus-terusan mempertahankan budaya yang seperti itu. Bahkan, saya akan pesimis dengan ijazah Anda yang mungkin sudah dikeluarkan oleh universitas Anda saat ini yang telah mencapai akreditasi A, tapi anda tidak pernah memperbaiki diri.

Saya mencoba untuk mengambil hikmah dari akreditasi A yang Unmul dapatkan. Kalau memang universitas kita saat ini sudah pantas untuk mendapatkan nilai A. Mungkin ini, bisa jadi pemicu semangat mahasiswa untuk bisa naik level menuju mahasiswa yang memang pantas untuk berkuliah di universitas yang akreditasinya A.

Analogi sederhananya, tempat tinggal kita yang dulu di dataran rendah, sekarang pindah ke dataran tinggi. Maka kita harus menyesuaikan diri juga untuk menjadi masyarakat dataran tinggi dari yang awalnya seorang masyarakat dataran rendah. Anggaplah ini masa transisi kita untuk menjadi lebih baik.

Janganlah berpatokan pada badan tempat di mana kita ditempa. Bila kita tidak mau memperbaiki diri. Di dunia luar pun, kita akan ditendang jauh-jauh. Kita juga harus menaikkan kualitas diri kita sendiri.

Anggaplah akreditas A yang diterima Unmul, sebagai senjata bonus berupa bazoka dengan satu peluru yang bisa digunakan untuk melawan kerasnya masa depan. Tapi, bazoka itu hanya akan sia-sia kalau kita hanya mengandalkannya semata. Kita butuh senjata lain seperti pisau, bom, pistol, atau mungkin pukulan golf. Intinya, semua senjata yang perlu kita bawa untuk melawan kerasnya dunia.

Yang patut kita jaga adalah jangan sampai kelak, akan ada orang atau bos suatu perusahaan yang bakal bilang, “Kok mahasiswa Unmul yang katanya akreditasi A, kerja dan kelakuannya enggak bener dan jelek.” Jangan sampai.

Lalu, saya tersadar dari lamun saat ibu saya memanggil dari dalam rumah. Tidak saya sangka, waktu berbuka tinggal lima menit lagi. Saya berdiri dari tempat duduk di teras, lalu masuk. Tepat di depan pintu rumah sebelum saya masuk, saya berucap.

“Saya juga harus meningkatkan kualitas diri saya pribadi. Semoga yang lain juga mau berpikir lebih dalam dan melakukan intropeksi diri. Semoga.”

Ditulis oleh Pandu Putra Pratama, Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya 2014



Kolom Komentar

Share this article