Opini

#BlackLivesMatter dan Rasisme yang Terlanjur Jadi Kebiasaan

Rasisme

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

Berbicara tentang rasisme berarti mengupas borok sejarah nan kelam mengenai perlakuan timpang antar etnis dan budaya yang berbeda. Ini berarti, rasisme telah tumbuh bersama peradaban manusia, baik dulu maupun sekarang.

Sudah lebih dari seminggu sejak kematian George Floyd (46), seorang pria kulit hitam yang menjadi korban rasisme kesekian kalinya di Amerika. Pada 25 Mei lalu, dirinya ditangkap oleh polisi Minneapolis atas dugaan penggunaan uang palsu saat membeli rokok.

Tak hanya diborgol dan ditangkap, ia juga mengalami kekerasan oleh oknum polisi kulit putih bernama Derek Chauvin. Polisi tersebut menempatkan lutut kirinya di antara kepala dan leher Floyd, membuat pria tersebut tak bisa bernapas. Nahas, Floyd harus meregang nyawa satu jam setelah kejadian tersebut.

Tentunya, peristiwa malang ini menjadi api dan memicu kemarahan warga dunia. Masyarakat bergerak dan bersuara, menuntut keadilan akan rasisme yang sudah-sudah. Tagar #BlackLivesMatter kembali naik sebagai bentuk protes dan dukungan masyarakat untuk menghentikan perlakuan rasis kepada warga sipil. Tak hanya menggema di Negeri Paman Sam tersebut, berbagai negara seperti Selandia Baru, Jerman, Australia dan Inggris. Mereka bangkit dan turut bersuara selama berhari-hari, mengharapkan adanya perubahan atas kasus ini.

Indonesia juga turut menyumbangkan suara dan dukungan dalam gerakan ini. Dimulai dari meramaikan tagar hingga membuka donasi. Tak hanya menyatakan protes akan kasus Floyd, masyarakat juga ramai mengaitkan ini akan tindakan rasis serta represi aparat negara dan warga sipil Indonesia yang kerap dialami warga Papua selama bertahun-tahun, bahkan secara sistemik.

Tak perlu saya jabarkan kembali apa saja tindakan-tindakan rasis dan tak masuk akal yang sudah terjadi pada masyarakat Papua. Itu adalah tugas Anda sekalian untuk mengedukasi diri sendiri agar segera sadar, bahwa perilaku rasis telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari.

Mari jangan munafik, mengatakan bahwa Anda maupun saya tak pernah melakukan tindakan rasis barang sekali. Setidaknya, satu kali dalam seumur hidup secara sadar maupun tak sadar kita pernah melakukan tindakan rasis. Entah itu berskala kecil atau besar.

Pernahkah Anda tak sadar menggumamkan lelucon tentang warna kulit teman atau orang terdekat Anda? Apakah Anda atau keluarga pernah mendengar bahkan mengucapkan bahwa etnis tertentu memiliki sikap bawaan yang dianggap tak menyenangkan, meski tak terbukti? Atau, pernahkah Anda sekalian menolak dan merasa takut akan orang asing dan menolak memiliki hubungan dengan orang di luar dari lingkungan ras Anda?

Mungkin sebagian besar masyarakat menganggap hal ini bukanlah masalah besar, terlebih karena embel-embel perbedaan adat istiadat yang menyebabkan rasisme mengalami generalisasi. Apabila kita mencoba untuk peka, maka seharusnya kita melihat bahwa lingkungan sosial kita dipenuhi oleh pemikiran yang rasis.

Perlakuan yang terjadi kepada orang-orang Papua adalah contoh yang paling mudah dilihat serta paling berat untuk diatasi sebab adanya stereotip bodoh dan tak masuk akal yang terus menerus berkembang. Bahkan, saya maupun Anda secara tak sadar merupakan korban sekaligus pelaku rasisme.

Karena itu, yang kita perlukan adalah edukasi yang baik mengenai berbagai budaya yang ada serta sikap menghargai orang lain yang harus terus dipupuk. Jadikanlah keadaan ini sebagai peringatan serta pelajaran, bahwa tak ada yang menyenangkan dari sikap rasis. Angkatlah suara Anda untuk mereka yang membutuhkan dukungan terhadap tindak rasisme yang menyakitkan.

Jangan lupa, perbaiki sikap atau minta maaflah pada orang-orang yang secara sadar maupun tidak pernah menjadi sasaran rasisme kita di masa lampau. Tak ada salahnya untuk memulai dan belajar demi lingkungan yang lebih baik.


Ditulis oleh Christnina Maharani, Mahasiswa Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis 2017.



Kolom Komentar

Share this article