Opini

Bangkit, Bangun dari Sakit!

Hari Pahlawan 10 November. Peringatan sebagai bentuk menghargai para pahlawan atas jasanya. Muhammad Teguh Satria menuangkan opininya, bahwa sosok calon pahlawan mesti bangkit, bangun dari sakit. (Sumber ilustrasi: encrypted-tbn3.gstastic.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Kian hari semakin menantang saja problematika berbangsa dan bertanah air. Antar golongan kembali menokohkan diri, mempertajam eksistensi. Ruang gerak manusia ideal semakin terbatas. Sebab, idealisme dipaksa bersinggungan dengan pesimisme. Sekian banyak lembaran sejarah tersusun rapi dalam lemari, telah mampu menggambarkan upaya-upaya para pendahulu. Mengantarkan bangsa bangun dari mati surinya.

Benar saja, Indonesia pernah nyaris mati dan hampir tak punya identitas diri. Penjajahan dirasa abadi dalam keseharian rakyat. Seolah menunggu mati di lumbung padi, bernafas tapi tidak bebas. Berlari tanpa berdiri dan berteriak di ruang hampa. Penjajahan mengebiri potensi Indonesia bagi rakyatnya.

Saat itu, berangkat dari rasa peduli dan kegelisahan yang sama, kaum muda berkonsolidasi untuk menyulam kepingan semangat dari seluruh penjuru nusantara. Cikal bakal pejuang Indonesia terlahir dari kegelisahan yang sama walau dengan perbedaan di mana-mana. Ini salah satu bukti, bahwa satu persamaan adalah antitesa dari perselisihan antar golongan dan kepentingan dalam kehidupan berbangsa.

Di sisi lain, medan perang adalah pilihan untuk mengunduh kepercayaan dari Yang Maha Kuasa, bahwa keburukan harus ditumpas habis tanpa sisa. Indonesia pernah sakit, seolah tak akan pernah sembuh dari tubuh penuh lebam dan terluka. Masa itu, pemuda adalah bara api yang menghangatkan semangat generasi tua dari seluruh nusantara, membakar jiwa persatuan Indonesia yang membeku dalam cengkeraman keangkuhan.

Akhirnya, Indonesia mampu merdeka dan bangkit dari keterpurukan. Rasa senasib dan sepenanggungan bukan faktor utama. Rasa sakit dan gelisah adalah keniscayaan yang seolah menyatukan Indonesia. Masa sempit dan sakit menggambarkan sebuah pertanda kehadiran gejolak batin yang bergelora dalam setiap dada. Mereka telah bersumpah setia pada tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia.

Waktu menyebut mereka sebagai pahlawan. Mereka tetap berjuang walau tak selalu menang. Bahkan harus bertarung dalam situasi tak imbang, hanya bermodalkan semangat optimisme Indonesia harus merdeka. Saat itu, gagasan perlawanan dianggap tak mungkin. Jika membandingkan dengan fasilitas penguasa yang menindas serta kaum munafik bertebaran di mana-mana, kemerdekaan hanya khayalan belaka.

Mereka menolak untuk menyerah pada keterbatasan dan ancaman. Indonesia tak menjanjikan kebahagiaan dan ketentraman saat itu, namun masih saja Indonesia memiliki alasan untuk diperjuangkan. Hal ini mengingatkan kita, bahwa harta terakhir seorang manusia berbentuk keyakinan. Bahwa yang tak ternilai adalah proses berjuang, bukan hasil akhir yang tafsirannya multidimensi.

Identifikasi sosok pahlawan era modern kini, nyaris menemukan titik jenuhnya. Banyak yang tampil beda hanya untuk menunjukkan eksistensi dan keberadaannya. Entah dengan kontroversi atau bahkan menentang regulasi. Tak peduli opini dan asumsi dari imajinasi publik terhadap narasi yang dibawa, semuanya tampil bak pahlawan. Menjual retorika usang, bertopeng kemerdekaan. Perubahan selalu menjadi impian. Meski, kesadaran isu kesetaraan yang dibawa nyaris selalu meninggalkan ketidaksempurnaan. Keadilan memang tak menjanjikan kebahagiaan dalam perjuangannya, namun ia menyisakan rasa manis dalam setiap ingatan dalam meneteskan keringat, darah dan air mata.

Absurd-nya sosok pahlawan dalam benak manusia modern, memaksa prinsip relativisme muncul kembali ke permukaan. Isu pluralisme menjadi saudara kembar dari liberalisme, konon menjelma jadi musuh bersama. Hal ini harus ditentang oleh generasi muda. Ya, generasi muda yang diramal menawarkan masa depan. Kekosongan peran yang semakin mengkhawatirkan, seolah mengindikasikan perjuangan ideologis telah pupus dari rekam jejak dan goresan tinta yang kini tengah dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai pejuang.

Berterus teranglah wahai calon pahlawan! Tidak ada abu-abu dalam pertarungan hitam dan putih. Sebab abu-abu tak akan berarti apa-apa. Visi ideologis harus terpatri tajam dalam jiwa generasi muda. Pilihlah langkah yang tepat! Sebab, konsekuensi tak pernah salah memilih tempat.

Pahlawan, bukan dimensi jabatan atau pemenang dari sebuah peperangan. Pahlawan adalah sebuah manifestasi gelar kesetiaan yang tertuang romantis dalam peran dan kesungguhan. Ia mampu menerjemahkan rasa sakit, sebagai simbol transformasi perjuangan dan alarm kemerdekaan yang membangunkan jiwa petarung rakyat dari tidur panjangnya. Bangkitlah! Ubah rasa sakit sebagai amunisi untuk mengubah haluan bangsa dan buat Indonesia kembali berdiri gagah dengan segenap keterbatasan dan kelebihannya.


Selamat Hari Pahlawan!



@TeguhbinSabar

Presiden BEM KM Unmul 2016




Kolom Komentar

Share this article