Berita Kampus

Diskusi Savrinadeya: Hadirkan Ruang Aman dari Kekerasan Seksual di Ranah Publik

Masih adakah ruang aman di ranah publik dari kekerasan seksual?

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @savrinadeya_supportgroup

SKETSA – Masih Adakah Ruang Aman di Ruang Publik? Itulah tajuk diskusi yang diangkat Savrinadeya Support Group pada Minggu (9/4) kemarin. Diskusi yang membahas terkait ruang aman dari kekerasan seksual itu dihelat di Kedai Kanigara, Samarinda. 

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), tercatat sebanyak 1.191 kasus kekerasan seksual dalam berbagai bentuk telah terjadi di Kalimantan Timur dalam rentang waktu 2022 hingga Maret 2023. Berkaca pada data tersebut, Kota Samarinda menduduki peringkat pertama di Kaltim dengan jumlah yang cukup tinggi, yakni 498 kasus.

Diskusi publik tersebut dilaksanakan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kasus kekerasan seksual. Kegiatan ini sejalan pula dengan Savrinadeya yang vokal terhadap isu gender, mental, dan membantu korban kekerasan seksual. 

Davynalia Putri sebagai pemantik pertama dari Savrinadeya mengatakan bahwa definisi ruang aman yang sebenarnya tidak hanya merujuk pada tempat geografis. Ungkapnya, ranah personal adalah pengalaman atau hal-hal yang dilakukan oleh individu

“Bagaimana kita menempatkan kepercayaan, lingkungan yang tidak seksis dan mendiskriminasi adalah ruang aman yang sebenarnya,” tutur Davynalia.

Sejatinya, jaminan terhadap rasa aman merupakan hak konstitusional yang diatur dalam Dasar Negara Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam Pasal 28 G Ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai yang merupakan hak asasi.”

Aturan hukum tersebut telah menunjukkan bahwa hukum positif di Indonesia telah mengatur dan memberikan jaminan atas rasa aman untuk setiap orang. Namun, pada kenyataannya, negara tidak benar-benar mengimplementasikan aturan tersebut. Itu dapat dilihat dari masih minimnya regulasi pemulihan untuk korban kekerasan, tidak adanya kepastian atas ruang yang aman, serta keamanan korban. 

Di tengah diskusi tersebut, hadir pula Muhammad Al Fatih, mahasiswa FISIP 2022 yang juga merupakan anggota Satgas PPKS Unmul. Ia turut menyoroti pentingnya kesadaran dalam membangun ruang aman di ranah publik. 

“Seperti yang kita lihat, banyak dosen yang menormalisasi kekerasan seksual, dan dosen yang melindungi temannya sebagai pelaku seolah urusan akreditasi lebih penting daripada korban,” ucap Fatih. 

Minimnya kesadaran dalam hal ini merupakan salah satu pemicu langgengnya kekerasan seksual dewasa ini. Hal tersebut menunjukkan pentingnya membangun komunitas atau tempat-tempat yang aman bagi korban.

Menarik lebih jauh benang merahnya, pelanggengan kekerasan ini juga terjadi akibat pola pikir primitif dari masyarakat itu sendiri yang menempatkan posisi perempuan berada di bawah laki-laki dan hanya menempatkan kaum perempuan sebagai objek semata. Catcalling atau bentuk pelecehan seksual di ruang publik yang biasanya terjadi di jalanan atau fasilitas umum lainnya juga kerap terjadi akibat pola pikir tersebut. 

Adinda Rahmadhani, mahasiswi FISIP 2022 turut mengemukakan pendapatnya. Ia menilai bahwa banyak pelaku kekerasan yang berasal dari lingkup kecil kita sendiri, misalnya ayah atau paman. Perwakilan dari Perempuan Mahardhika ini sebut kurangnya edukasi seksual sejak dini turut andil dalam nihilnya ketersediaan ruang aman.

“Hal ini menyebabkan khususnya anak-anak akan mencari tahu lewat pornografi yang jelas sangat berbahaya,” sebut Adinda. 

Ia berpendapat bahwa edukasi seks sejak dini penting ditanamkan sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual. Di ranah kampus sendiri, yang notabenenya merupakan lingkungan yang berisi orang-orang intelektual yang paham atas permasalahan lingkungan dan sosial pun tak luput dari maraknya kekerasan seksual. 

Ketika melakukan bimbingan skripsi misalnya. Kekerasan seksual dapat berpotensi untuk terjadi karena adanya interaksi sosial yang intens antara dosen dan mahasiswa, sehingga dosen dapat memetakan korbannya, bahkan hingga merencanakan tempat untuk melakukan kekerasan tersebut. 

“Di ranah kampus ini belum terwujud ruang aman. Masih banyak yang acuh tak acuh, dan itu dilanggengkan bukan hanya oleh oknum, tapi juga lewat peraturan. Supaya terwujud ruang aman, maka perlu dobrakan melalui edukasi seksual,” pungkasnya.

Mendekati penghujung diskusi, Davynalia kembali mengutarakan pendapatnya. Menurutnya, kekerasan seksual bukan hanya menjadi tanggung jawab kelompok tertentu, tetapi masalah yang harus ditangani bersama. Ketika kesadaran sudah secara masif muncul, diharapkan dapat merubah sistem penundukan yang ada.

Terakhir, Dinda menegaskan bahwa saat ini, sudah bukan waktunya untuk menanyakan apakah ruang aman sudah tercipta, namun inilah saatnya menciptakan ruang aman itu sendiri. (srf/dre)



Kolom Komentar

Share this article