Teknologi

Digital Vigilantism: Pengadilan oleh Massa di Dunia Maya

Mengenal fenomena digital vigilantism.

Sumber Gambar: ama.org

SKETSA - Penggunaan media sosial secara masif sepanjang satu dekade terakhir telah memunculkan fenomena global yang didefinisikan oleh akademisi Daniel Trottier sebagai “warga negara, secara kolektif tersinggung oleh tindakan warga negara lain”, dalam menegakkan norma hukum dan budaya dengan cara menyebut dan mempermalukan pelanggar dan mempersenjatai visibilitas mereka menggunakan media digital.

Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah digital vigilantism. Digital vigilantism dapat diartikan sebagai sikap main hakim sendiri di dunia maya, dalam tujuan yang berkonteks baik maupun buruk. Contohnya apabila seseorang bertujuan untuk membocorkan identitas pribadi pelaku pelecehan seksual yang informasinya berasal dari pengakuan korban atau penyelidikan lanjutan.

Pada platform Twitter, fenomena digital vigilantism yang dibahas oleh salah satu anggota dewan pers, Damar Juniarto, mendapat banyak tanggapan dari penggunanya. Hal ini disebabkan oleh istilah yang masih awam di kalangan masyarakat.

Pernyataan Damar Juniarto yang dilansir dari jurnal "Introducing Digital Vigilantism", bahwa kemunculan digital vigilantism diakibatkan adanya konteks yang melampaui batas antara pengendalian kejahatan serta tujuan lain seperti hiburan dan kemajuan.

Selain itu, fenomena ini berperan penting dalam menjangkau banyak orang dalam meminta pertolongan atau langkah selanjutnya yang harus diambil dalam mengatasi permasalahan. Tidak jarang, ada kasus yang diperbincangkan di media sosial dapat dibahas sampai masuk layar kaca. Maka tujuan utamanya untuk menjangkau banyak individu yang turut mendukung kebenaran.

Di negara sekitar Amerika dan Eropa, fenomena digital vigilantism bukanlah hal yang baru, dan sudah banyak kasus yang terselesaikan akibat fenomena ini. Tujuannya, secara sederhana, untuk menjangkau banyak orang dalam mendukung kebenaran dan mewujudkan keadilan.

Sebut saja kasus pelecehan yang dilakukan oleh seorang produser terkenal, Harvey Weinstein, yang membuat pengguna Twitter hingga selebriti menaikkan tagar #metoo untuk mendukung korban pelecehan seksual. Gerakan ini secara efektif menimbulkan keberanian korban untuk melaporkan pelaku kejahatan seksual ke pihak yang berwajib. Akibatnya Harvey Weinstein mendapat hukuman selama 23 tahun penjara 

Lebih lanjut, Damar Juniarto berpendapat bahwa digital vigilantism dapat pula berupa perundungan perangkat lunak yang berakibat terjadinya troll massal. Persekusi online atau pengadilan yang dilakukan oleh massa dapat menimbulkan masalah baru dan melampaui konteks pembahasan kasus yang diadili.

Salah contohnya ialah kasus Ahok yang menjadi pembicaraan baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Hal ini kemudian berdampak pada perluasan kasus yang tidak relevan dengan fokus permasalahan di awalnya.

Banyak sekali massa maupun komunitas online yang meminta data-data pribadi dari orang Cina yang dicurigai terlibat dalam kasus Ahok. Bagaimana, tertarik mempelajari fenomena digital yang satu ini? (ahn/uas/nkh)



Kolom Komentar

Share this article