Resensi

Monster: Ketika Manusia Memaknai Sosok Kejam dari Sudut Pandangnya Masing-masing

Monster, Film dari Hirokazu Kore-eda mengajak penonton untuk menilai suatu kejadian dari tiga perspektif berbeda.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Foto: Instagram @kaibutsumovie

SKETSA — Ada banyak hal yang terpendam dan tak terduga ketika menyaksikan Monster. Membuat kita berprasangka, bahkan menuduh sebelum mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi. Seluruh kejadian dalam film ini tersaji dalam tiga perspektif yang berbeda.

Tema semacam ini memang sudah tak asing dituangkan Hirokazu Kore-eda ke dalam karya-karyanya. Tak perlu menyisipkan cerita fantasi yang muluk-muluk, kehidupan manusia sehari-hari pun agaknya sudah cukup kompleks bagi Kore-eda.

Meski sudah lebih dahulu tayang sejak 17 Mei 2023 di Cannes Film Festival, Monster baru hadir ke layar lebar Tanah Air pada Rabu (3/1) lalu, sehingga film ini masih cukup segar untuk dibahas.

Layaknya Broker yang dirilis setahun sebelumnya, Kore-eda kembali membawakan film dengan tema humanis. Ia mengajak kita untuk menilik kehidupan manusia lewat berbagai sudut pandang yang berbeda. 

Sederhananya, Monster berkisah tentang Saori (Sakura Ando), seorang ibu tunggal yang hidup berdua dengan putranya, Minato (Soya Kurokawa). Suatu malam, dirinya terheran ketika mendapati pertanyaan dari anaknya. Kala itu, keduanya tengah menyaksikan gedung tempat hiburan malam yang terbakar di balkon rumahnya. Minato kemudian bertanya,

“Bagaimana jika otak manusia digantikan dengan otak babi?” 

Ya, kira-kira begitulah pertanyaan yang dilontarkan Minato kepada ibunya.

Pertanyaan tak wajar itu hanya dianggap angin lalu oleh Saori sampai ketika ia menyadari bahwa ada yang berbeda dari anak semata wayangnya itu; Minato yang tiba-tiba memotong rambut, botol minumnya terisi lumpur, hingga sepatunya yang hilang sebelah. Minato pun akhirnya mengaku bahwa dirinya dirundung oleh Hori (Eita Nagayama), guru di sekolahnya.

Pada awalnya, kita mungkin telah berprasangka bahwa Hori adalah sosok “monster” yang dimaksud dalam film ini. Belum lagi soal rumor negatif tentang dirinya yang juga tersebar. Hal itupun semakin memperkuat dugaan bahwa dirinya adalah sang antagonis. Namun, Kore-eda tak ingin membiarkan kita cepat-cepat menuduh sembarangan, sebab ada fakta lain yang terpendam dan akan terkuak seiring bergulirnya film.

Monster yang berjalan dengan konsep slow-burn layaknya film-film terdahulu Kore-eda secara perlahan akan mengungkap kejadian yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang setiap tokoh utama. Meski bergulir dengan lamban, kita akan dibuat penasaran seraya menerka apa yang sebenarnya terjadi. 

Di paruh pertama, ketika menyaksikan bagaimana cerita Monster berjalan lewat sudut pandang Saori, pada awalnya, kita mungkin akan berpihak padanya  tanpa menyadari bahwa sudut pandang Saori masih terlalu sempit untuk mengetahui kejadian-kejadian lainnya. 

Ketika Hori sudah terpojokkan akibat banyaknya dugaan negatif atas dirinya, barulah giliran sudut pandang Hori yang berbicara tentang kejadian sebenarnya atas dugaan dari orang-orang dan Saori terhadap dirinya. 

Sementara sudut pandang Minato akhirnya mengungkap akar dari permasalahan yang bermuara pada prasangka buruk terhadap Hori, hingga pola pikirnya sebagai anak-anak yang terlihat polos, namun sebenarnya cukup kompleks. Minato bukan sekadar anak kecil yang suka bermain layaknya anak-anak pada umumnya. Lebih dari itu, ada berbagai hal rumit yang bergejolak dalam pikiran dan batinnya.

Di satu sisi, ada pula pihak yang enggan berusaha meredam masalah. Ia justru mencoba menjaga agar nama baiknya tak ikut hancur. Hal ini direpresentasikan oleh Makiko Fushimi (Yuko Tanaka) sebagai Kepala Sekolah yang ingin menyelesaikan masalah tanpa berupaya menjadi penengah guna meluruskan kejadian yang sesungguhnya. Ia bahkan tak memberi Hori kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi.

Monster mencoba menyuguhkan dinamika baik dan buruknya kehidupan manusia yang begitu pelik dan penuh misteri. Seluruh tokoh punya pandangannya masing-masing terhadap siapakah “monster” yang mereka yakini. Kita bahkan tak pernah menyangka fakta sebenarnya yang terjadi saat beralih menilik kejadian dari sudut pandang Hori hingga Minato. 

Dengan tersajinya tiga perspektif yang saling bertolak belakang, Monster membawa kita untuk menginterpretasikan setiap makna dari berbagai peristiwa yang terjadi lewat sudut pandang kita sendiri. Ketakutan, kebohongan, rasa ketidakadilan, hingga romansa bercampur menjadi satu. 

Monster tak hanya berputar di masalah prasangka manusia dari berbagai sudut pandang. Meski premisnya sederhana, ada banyak aspek yang begitu kompleks, misalnya saja hubungan antara Minato dan Yori (Hinata Hiiragi) yang rupanya tak sesederhana itu.

Manusia kerap kali menimbulkan prasangka lewat dugaan yang belum pasti adanya. Kita terkadang terlanjur dimakan oleh prasangka buruk itu, namun enggan mencari fakta sebenarnya terlebih dahulu. Hingga tanpa disadari, prasangka itu bisa menghancurkan kehidupan seseorang dalam sekejap. 

Pada akhirnya, kita sebagai penonton tak perlu repot-repot menentukan siapakah yang salah atau siapa yang berhak menyandang sebutan “monster” itu. Yang perlu digarisbawahi adalah kapasitas kita sebagai manusia masih terbatas untuk langsung menghakimi seseorang tanpa melihat sebuah peristiwa dari sisi lainnya. (dre)



Kolom Komentar

Share this article