Opini

Kampus Bukan Abdi Penguasa, Jangan Kebiri kebebasan Kampus

Presiden RI, Joko Widodo kini membuat kebijakan baru terkait pemilihan rektor yang kini dipilih oleh presiden. (Sumber foto: nasional.news.viva.co.id)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Pemerintah hari ini yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo selalu memberikan sensasi yang menimbulkan spekulasi bahkan perpecahan yang berujung perlawanan publik terkait kebijakan tersebut. Kepanikan rezim hari ini sangat terlihat jika terkait permasalahan Ideologi. Sangat sensitif sekali terhadap pemikiran, gerakan maupun Ideologi.

Tentu laboratorium pemimpin negara yaitu kampus tak terlepas dari perhatian pemerintah. Nampaknya, pemerintah sangat serius menangani arus pemikiran, ideologi dan gerakan di kampus yang dianggap membahayakan. Tak tanggung-tanggung, birokrasi kampus mulai dikebiri oleh pemerintah sampai hal strategis. Fenomena maraknya ideologi radikalisme yang merasuki dunia pendidikan membuat Pemerintah Pusat mengambil sikap tegas dan berusaha intervensi berlebihan di dalam otonomi kampus.

Wacana pun dibuat oleh pemerintah yang berujung sensasi dengan mencuatnya sebuah wacana kebijakan yang membuat semua masyarakat tak habis pikir, yaitu Pemilihan Rektor di perguruan tinggi akan ditentukan Presiden.

Apakah Presiden tidak punya kerjaan lain?

Ini merupakan fakta yang terjadi seakan-akan mekanisme Pemilihan Rektor melalui senat pun diabaikan dengan termakan arus politik nasional sekarang. Tentu kampus harus bebas dari intervensi politik dari manapun termasuk Presiden. Jelas ini upaya politisasi pemerintah dan terkesan membagikan "kue" untuk amanah rektor di perguruan tinggi.

Pemerintah seakan mengebiri peranan kampus. Sejatinya kampus bebas dari intervensi politik dan kepentingan apa pun. Karena kampus bukan abdi penguasa, siapapun penguasanya.

Namun, alasan yang tidak masuk akal bahwa Pemilihan Rektor ini dengan dasar maraknya ideologi radikalisme yang merasuki dunia pendidikan membuat Pemerintah Pusat mengambil sikap tegas.

Jelas ini terlalu menggeneralkan sebuah masalah, padahal ini cuma satu kampus yang bermasalah dan seharusnya pemerintah harus menindak yang bermasalah melalui Menristekdikti tanpa perlu menerapkan kebijakan konyol seperti ini.

Kekhwatiran yang disampaikan pemerintah yakni adanya ideologi selain Pancasila yang menyusup dalam perguruan tinggi. Hal konyol yang membuat masyarakat memutar otak, sudah jelas kampus mempunyai visi dan misi untuk memberikan solusi terbaik bagi perbaikan Indonesia secara akademis dan ilmiah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila melalui civitas akademika. Dan tidak mungkin kampus memecah NKRI dengan ideologi salah yang ditakutkan oleh pemerintah sekarang.

Kampus adalah tempat yang potensial bagi pengembangan wacana dan gerakan pemikiran. Selain karena sebagai wadah berkumpulnya para cendikia, mahasiswa memang kelompok yang bergairah dengan eksistensi dan aktualisasi diri dan kampus merupakan pengontrol pemerintah yang selalu berdiri di tengah untuk memberikan kritik dan solusi secara ilmiah.

Kampus juga tempat untuk melahirkan generasi emas. Hampir semua mereka yang memimpin di berbagai bidang hari ini adalah lulusan kampus yang berbasis akademis dan ilmiah.

Sayangnya, upaya "kebiri" kampus dapat diniliai terlalu gegabah dan emosional. Bagaimana tidak, debat mengenai definisi radikal, ekstrim dan gerakan yang tidak sesuai dengan Pancasila terlalu dini dianggap selesai.

Saya menduga, "kebiri" kampus oleh rezim adalah kelakuan yang dipengaruhi oleh konstelasi politik nasional. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kebijakan ini begitu vulgar disuarakan.

Pertama, ada semacam paranoid terhadap gerakan radikal yang menyusup dalam kampus. Kedua, upaya menjadikan kampus sebagai alat politik melapangkan kekuasaan dan menimbulkan politik praktis. Terakhir, tentu bentuk upaya pembungkaman suara kampus yang terlalu mengkritik pemerintah sehingga pemerintah berupaya menutup ruang demokrasi kampus dalam pemlihan rektor dan membungkam kebebasan berekperesi dalam kampus.

Parahnya, upaya pembatasan tersebut lebih bersifat politis dan nonakademis. Tentu ini menutup ruang demokrasi di dalam kampus dan mengabaikan hak politik senat dalam memilih rektor. Ini hal konyol yang menjadi ketakutan Presiden, padahal bisa diminimalisir dengan upaya preventif melalui Menristekdikti tanpa harus Presiden turun tangan mencampuri urusan "dapur" perguruan tinggi.

Jumlah PTS dan PTN sebanyak 4.198 PT di Indonesia. Jika benar diterapkan, Presiden Joko Widodo bukan sebagai Presiden "negara", tapi Presiden "kampus" yang hanya sibuk melantik rektor saja.

Hal konyol ini jangan sampai terjadi, suara perlawanan harus terus disuarakan, karena kampus sebagai pusat kajian berbagai pemikiran harus diberikan kebebasan dalam memilih pemimpinnya.

Seharusnya rektor itu dipilih oleh senat, dan mengikuti regulasi yang telah ada dengan mekanisme 65% senat, dan 35% suara Menristekdikti. Tidak boleh ada intervensi politik sekecil apa pun. Kalau kemudian perguruan tinggi di politisasi jelas membuat kenetralan kampus hilang dan tidak dipercaya oleh masyarakat.

Maka yang harus dilakukan, bagaimana presiden memberikan sebuah penekanan kepada menteri di dalam melakukan pengawasan dan penerapan seluruh proses peraturan pendidikan tinggi di dalam UU Dikti.

Sebaiknya pemerintah jangan "baper" dengan kondisi politik nasional. Seharusnya pemerintah sibuk mencari formulasi untuk meingkatkan taraf kampus di Indonesia sesuai kebutuhan masyarakat dan tidak menyusahkan masyarakat dengan mahalnya biaya masuk perguruan tinggi.

Berhentilah bermain sandiwara dengan memainkan kebijakan salah kaprah, ini adalah kemunduran bangsa dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para penguasa Orde Baru yang jelas tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Kampus adalah tempat merdekanya cara berpikir. Tidak boleh dipasung. Memasung gerakan kampus adalah merencanakan kemunduran bangsa.

Panjang umur perlawanan!

Ditulis oleh Freijae Rakasiwi, Menteri Sosial Politik BEM KM Unmul 2017




Kolom Komentar

Share this article