Opini

Hitam Kelam Batubara dan Korupsinya Dinasti Politik Kalimantan Timur

Pertambangan yang tidak luput dari pegangan dinasti politik di Kalimantan Timur serta konsekuensinya

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Wikimedia

Sektor pertambangan batubara menjadi komoditas politik dan sumber pendanaan kampanye, baik di tingkat nasional maupun daerah. Selama lebih dari dua dekade, Kalimantan Timur dengan kekayaan alamnya seperti migas, kelapa sawit, dan batubara menjadi daerah tujuan bagi korporasi raksasa dan pejabat elit untuk menancapkan pengaruh dan bisnisnya. Masalahnya, praktik bandar korporasi untuk meraup keuntungan menciptakan kerusakan alam, konflik bencana kemanusiaan, korupsi, hingga menjamurnya dinasti politik.

Konsesi tambang ilegal di Kalimantan Timur telah mencapai 44 persen dari luar total provinsi. Itu mengacu pada data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) nasional, disebutkan izin usaha pertambangan di Kalimantan Timur mencapai 1190 izin. Dari jumlah tersebut, mayoritas sebanyak 625 izin berada di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Kabupaten yang paling banyak dicengkeram konsesi tambang adalah Kabupaten Kutai Barat. Total luas izin pertambangan di Kutai Barat sekitar 1,3 juta hektar atau dengan kata lain sebesar 82% daratan Kutai Barat adalah konsesi batubara. Posisi kedua diduduki oleh Kabupaten Kutai Timur yang mencapai 1,6 juta hektar, sedangkan Kutai Kartanegara memiliki izin pertambangan seluas 1,10 juta hektar. Namun, pada praktiknya luasan wilayah pertambangan secara riil melebihi angka itu, yang mengakibatkan beroperasinya tambang-tambang ilegal.

Izin ini diterbitkan oleh pemerintah pusat, bupati dan walikota selama bertahun-tahun untuk korporasi dan para konglomerat tambang. Deretan perusahaan tambang hingga pejabat elit nasional menancapkan pengaruh dan bisnisnya di sektor tambang Kalimantan Timur, mulai dari PT Bayan Resources, PT Kaltim Prima Coal, PT Berau Coal, PT Adaro Energy, PT Tambang Damai, PT Toba Bara Sejahtera, PT Kutai Energy serta korporasi-korporasi lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Low Tuck Kwong yang kini menjadi orang terkaya di Indonesia menggeser Hartono bersaudara yang selama bertahun-tahun kokoh di tahta orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan mencapai 367 triliun yang memiliki pertambangan batubara di Kalimantan Timur melalui PT Bayan Resources.

PT Kaltim Prima Coal yang mengolah pertambangan open beat terbesar di dunia dengan area konsesi penambangan seluas 84.938 hektar di Sangatta, 51% sahamnya dimiliki oleh PT Bumi Resources milik Bakrie Group. PT Berau Coal anak usaha dari Sinar Mas Mining Group yang dikontrol oleh keluarga Wijaya hingga PT Mitra Energy Agung dari PT Indika Energy yang dikuasai oleh Agus Sasmono. Nama-nama besar lain seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Garibaldi Tohir adik Menteri BUMN Erick Tohir, Sandiaga Uno, Hashim Djojohadikusumo, hingga Prabowo Subianto juga turut berekspansi di Kalimantan Timur.

Melalui jejaring bisnis tambang dan energi di Kalimantan Timur, tambang menjadi penggerak perekonomian, tetapi sekaligus menjadi penyebab bencana kemanusiaan dan pencemaran lingkungan. Menurut catatan masih ada 1735 lubang bekas tambang di Kalimantan Timur. Di Kota Samarinda sendiri terdapat 349 lubang yang tidak direklamasi, padahal dalam tata kelola pertambangan, setelah operasi penambangan berakhir, maka ada kewajiban mutlak yang dilakukan yakni melaksanakan reklamasi dan kegiatan pasca tambang. 

Sayangnya, hal ini kerap diabaikan oleh perusahaan dan pemegang izin tambang di Kalimantan Timur. Namanya korupsi dan dinasti politik adalah kutukan bagi sebuah wilayah yang dianut oleh kekayaan alam yang berlimpah. Kalimantan Timur menjadi contoh nyata bagaimana izin-izin pertambangan dan perkebunan sawit dijadikan alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Dinasti politik di Kalimantan Timur mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dalam satu dekade belakangan setidaknya terdapat tujuh dinasti politik yang mendominasi panggung politik di Kalimantan Timur.

Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Timur yang divonis satu setengah tahun penjara sebab mengeluarkan izin perkebunan kelapa sawit sejuta hektar dan menerbitkan izin pengolahan kayu secara serampangan kepada 10 perusahaan yang tergabung dalam PT Surya Dumai Group pada 2006. Vonis Suwarna Abdul Fatah adalah babak awal kisah skandal korupsi di Kalimantan Timur, bertahun-tahun selanjutnya satu per satu pejabat elit di bumi Mulawarman dicokok KPK karena dosa yang sama.

Gubernur selanjutnya, Awang Faroek Ishak ditetapkan sebagai tersangka pada 2019 terkait korupsi pengelolaan dana hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal senilai 576 miliar. Kasus korupsi investasi saham yang menyeret nama Gubernur Kalimantan Timur ini kemudian dihentikan Kejaksaan Agung pada 2013 akibat tidak cukup bukti. Awang Faroek Ishak yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI 2019-2024, anak-anaknya Awang Ferdian Hidayat pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dan DPD RI, Dayang Dona Faroek menjadi Ketua Kadin Kalimantan Timur sekaligus CEO PT Aifa Kutai Energy dan Awang Fauzan Rahman sebagai Kepala Seksi Kemitraan Media dan Komunikasi Diskominfo Kalimantan Timur. Sedangkan menantu Awang Faroek Ishak atau istri dari Awang Ferdian Hidayat, Rima Hartati terpilih sebagai anggota DPRD Kalimantan Timur 2019-2024.

Saukani Hasan Rais atau Pak Kaning adalah Bupati Kutai Kartanegara periode 1999-2004 dan kemudian kembali menjabat sebagai bupati setelah memenangkan Pilkada Kutai Kartanegara pada tahun 2005. Pada 2005, Saukani Hasan Rais dihukum 2,5 tahun penjara akibat 4 kasus korupsi yang menjeratnya dengan kerugian negara mencapai 103 miliar. Pelaksana tugas Bupati Kutai Kartanegara periodes 2006-2008, Samsuri Aspar juga divonis 4 tahun penjara karena terbukti korupsi pengadaan barang dan jasa pada 2009. Kepemimpinan Bupati Kutai Kartanegara lantas diteruskan oleh putri kedua Saukani Hasan Rais, yaitu Rita Widyasari. Menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara selama 2 periode dari tahun 2010 hingga 2021.

Senasib dengan ayahnya, Rita Widyasari juga tersungkur dalam kubangan kotor korupsi. Bahkan, ia menjadi tersangka dalam 3 kasus korupsi sekaligus. Kasus pertama yakni terkait suap pemberian operasi untuk keperluan inti dan plasma perkebunan kelapa sawit PT Sawit Golden Prima. Kasus berikutnya, Rita Widyasari diduga menerima gratifikasi terkait jabatannya senilai 436 miliar sekaligus menjadi tersangka pencucian uang karena menyamarkan gratifikasi. Akibatnya kasus-kasus ini Rita Widyasari harus mendekam di penjara selama 10 tahun.

Bupati Kutai Timur periode 2016-2020, Ismunandar juga melanggengkan dinasti politik bersama anak dan istrinya. Istrinya, Encek Firgasi adalah Ketua DPRD Kutai Timur, sedangkan anaknya Siti Rizki Amalia adalah anggota DPRD Kaltim pada 2020. Sepasang suami istri ini terjaring operasi tangkap tangan KPK terkait suap proyek infrastruktur di lingkungan pemerintahan Kabupaten Kutai Timur.

Di Bontang, Walikota Bontang dua periode, Andi Sofyan Hasdam divonis 1,5 tahun penjara akibat kasus korupsi anggaran premi asuransi yang bersumber dari APBD Kota Bontang. Pada 2018, Andi Sofyan Hasdam mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Kalimantan Timur namun gagal. Istrinya kemudian terpilih menjadi Wali Kota Bontang periode 2016 hingga 2021, sedangkan anaknya Andi Faizal Hasdam sebagai Ketua DPRD Bontang 2019-2024.

Dua pengusaha elit di Kalimantan Timur, Hasan Mas’ud dan Rudi Mas’ud atau yang kemudian dikenal sebagai Mas’ud bersaudara mulai terjun ke dunia politik dan menancapkan pengaruhnya di legislatif dan eksekutif daerah. Mas’ud bersaudara awalnya adalah pengusaha migas yang namanya sudah dikenal masyarakat Kalimantan Timur. Tak tanggung-tanggung, 4 dari keluarga besar Mas’ud menjabat posisi strategis di pemerintahan.

Hasanudin Mas’ud menjabat sebagai Ketua DPRD Kalimantan Timur periode 2022-2024, adiknya Rudi Mas’ud menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024. Saudaranya yang lain, Rahmat Mas’ud menjadi Wakil Wali Kota Balikpapan periode 2016-2021 dan Abdul Gafur Mas’ud sebagai Bupati Penajam Paser Utara 2018-2023.  Namun, dinasti politik Mas’ud bersaudara tercoreng karena Abdul Gafur Mas’ud yang menjabat sebagai Bupati Penajam Paser Utara ditangkap KPK sebab menerima suap sebesar 5,7 miliar di lingkungan pemerintahan Kabupaten Penajam Paser Utara tahun anggaran 2020.

Empat putra keluarga Haji Mansyur juga sukses duduk di parlemen. Mahyudin pernah menjabat sebagai Bupati Kutai Timur periode 2003-2006, Wakil Ketua MPR RI, dan kini menjadi wakil ketua DPD RI periode 2019-2024. Mahyunadi yang pernah menjadi Ketua DPRD Kutai Timur dan sekarang terpilih menjadi anggota DPRD Kalimantan Timur, sedangkan dua adiknya yang lain Marsidik dan Maswar kini sama-sama duduk di DPRD Kutai Timur.

Bupati Paser periode 2016-2021, Yusriansyah Syarkawi. Anaknya Hendra Wahyudi menjabat sebagai Ketua DPRD Paser, sedangkan istrinya Yenni Eviliana terpilih menjadi anggota DPRD Kalimantan Timur periode 2019-2024. Di Kota Samarinda, Syaharie Ja’ang yang menjadi Wali Kota Samarinda dua periode, sedangkan istrinya Puji Setiawati menjadi anggota DPRD Kalimantan Timur periode 2019-2024.

Dinasti politik memang belum tentu korupsi, tetapi satu hal yang sulit dibantah bahwa dinasti politik membuka celah yang lebar untuk korupsi. Hal ini sudah terbukti dengan puluhan dinasti politik di Indonesia yang akhirnya runtuh akibat kasus rasuah, tak terkecuali di bumi Mulawarman Kalimantan Timur.

Opini ditulis oleh M. Gunawan Wibisono, mahasiswa Ilmu Hukum, FH 2022.



Kolom Komentar

Share this article