Menilik Sisi Hukum Hasil Akhir Pemira Unmul 2021

Menilik Sisi Hukum Hasil Akhir Pemira Unmul 2021

Sumber Gambar: readymap

SKETSA - Menuju akhir perjalanan pemilihan umum raya (Pemira) Unmul, DPM KM menggelar konferensi pers untuk membacakan keputusan final Pemira. Agenda itu dilaksanakan pada Selasa, (11/1) lalu melalui siaran langsung Youtube DPM KM Unmul. Namun, hal itu justru melahirkan polemik baru. 

Pasalnya, keputusan dikeluarkan saat Surat Keputusan (SK) kepengurusan DPM KM dan BEM KM Nomor 70/KM/2021 sudah berakhir sejak 31 Desember 2021 lalu. Dikutip dari Instagram @dpmkmunmul, DPM KM telah mengirimkan surat permohonan perpanjangan SK tersebut kepada pelaksana tugas (plt.) Wakil Rektor (WR) III pada Jumat, (7/1).

Lantas, seperti apa situasi politik di Unmul saat ini apabila ditinjau dari sudut pandang hukum? 

Sketsa melakukan wawancara dengan Ketua Lembaga Kajian Ilmiah dan Studi Hukum (LKISH) FH, Andrean Himawan. Menurutnya, DPM KM tak lagi memiliki wewenang untuk menyelesaikan Pemira dengan mengajukan surat perpanjangan karena telah demisioner.

“Bukan karena dibatasinya hak DPM KM, melainkan karena bukan lagi tugas dan wewenangnya. Jika tujuan DPM KM ingin menyelesaikan perkara Pemira, itu seharusnya dilakukan pada saat yang sudah ditentukan,” terangnya kepada Sketsa, Selasa (18/1), melalui pesan teks Whatsapp.

Ia juga menilai Pemira dapat dikatakan usai, WR III telah mengeluarkan putusan berdasarkan mediasi yang dilakukan kala itu. Sehingga, tutur Andrean, tindakan DPM KM yang kini gencar ingin menyelesaikan permasalahan Pemira sama saja tidak menghargai keputusan yang ada sebelumnya. 

Ketika ditanya mengenai keabsahan keputusan Pemira yang dikeluarkan oleh DPM KM, Andrean menilai keputusan tersebut tidak sah. “Karena bukan lagi wewenang dari DPM KM periode 2021.”

"Dari awal pembentukan Bawasra dan KPPR, DPM KM belum maksimal dalam pembentukannya. Itu sendiri yang membuat DPM KM menjadi kehilangan arah dengan sendirinya. Saat terjadi aksi demo yang dilakukan di rektorat, baik Bawasra maupun DPM KM sangat sulit memenuhi panggilan WR 3 untuk mediasi."

Adapun Sholihin Bone, selaku Dosen FH, turut memberikan pandangannya terkait permohonan perpanjangan SK kepengurusan yang diajukan DPM KM. Ia mengatakan bahwa hal yang harus diperhatikan ialah, ada tidaknya aturan yang menegaskan bahwa DPM KM dapat meminta perpanjangan kepengurusan kepada pihak universitas.

“Kalau ada aturan di dalam AD/ART, itu (perpanjangan SK kepengurusan) dimungkinkan,” jelasnya ketika dihubungi melalui sambungan telepon Whatsapp, Rabu (19/1).

“Sulit mengatakan dan menerima bahwa DPM KM yang telah habis masa jabatannya dapat mengeluarkan keputusan,” tambahnya.

Tak ketinggalan, Sketsa juga turut menghubungi Wakil Ketua 1 DPM KM, Rilla Nadhirah, pada Rabu (19/1). Bagi Rilla, SK kepengurusan yang sudah berakhir, bukanlah suatu patokan terhadap pergerakan DPM KM. Sebab, menurutnya tidak mungkin ada kekosongan kekuasaan, dan itulah yang dimaksimalkan oleh pihaknya, DPM KM.

“Mungkin berdasarkan SK, DPM KM tidak boleh bergerak lagi, gitu kan ya, tapi itu kan enggak mungkin. Kita (DPM KM) mempunyai ranah yang harus dipertanggungjawabkan. Bukan hanya kepada rektorat, tapi juga kepada mahasiswa Unmul melalui kongres. Dilantik di kongres, maka didemiskan juga di kongres,” ucap Rilla melalui sambungan telepon Whatsapp Rabu (19/1).

Mengenai perpanjangan SK kepengurusan, dirinya menyebut bahwa hal tersebut bukan hanya berkaitan dengan Pemira, tetapi juga berkaitan dengan legal standing DPM KM dan seluruh sistem miniatur politik di Unmul. Sebab, pelaksanaan kongres menjadi terhambat akibat SK kepengurusan yang tak lagi berlaku.

“Solusi yang bisa ditawarkan oleh DPM KM agar permasalahan ini tidak berlarut-larut dengan melakukan perpanjangan SK. Kemudian, kita akan melaksanakan kongres sebagai bentuk pertanggungjawaban dan pergantian kepengurusan,” tutupnya. (ems/nkh)