Cerpen

Bagian Dua: Pembeliant

Perjuangan Aku, Sanja, dan Panglima menghadapi VOC di belantara Kalimantan

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Setibanya kami di perkemahan, hari telah gelap. Hamparan obor menyelimuti setiap titik perkemahan. Mayoritas penduduk telah beristirahat, tetapi beberapa ditugaskan untuk berjaga. Aku, Sanja, dan Panglima meninggalkan kegelapan hutan di belakang kami. Panglima membawa peralatan kami karena aku bersikeras ingin membopong Sanja. Seorang pria Belanda paruh baya mendatangi kami. Perawakannya tinggi dengan janggut putih tebal, kacamata bulat tertaut di bawah matanya. Tak lupa, suara ketukan tongkat untuk menopang kakinya. Sangat mudah mengidentifikasi sosok Cornelius di pemukiman ini. Ia menyiapkan tempat tidur untuk Sanja.

“Buah Tarap?” Cornelius melihatku dan Panglima. Dugaanku, Cornelius akan melemparkan omelannya terkait bahaya buah ini. Tetapi tidak ada.

Cornelius van der Hoorn merupakan dokter utusan VOC dari Batavia untuk mengolah rempah-rempah hasil Cultuurstelsel menjadi obat-obatan. Sayangnya, akibat polio yang dideritanya, Cornelius kerap dirundung oleh serdadu Belanda. Ia bahkan dianggap tidak mampu membela negaranya. Cornelius kecewa dan meracuni seluruh makanan serdadu VOC. Akhirnya, ia ditangkap dan dipenjara bersama beberapa penduduk, salah satunya istriku Nara. Setelah berminggu-minggu merencanakan untuk kabur, rencana mereka terbongkar. Nara mengorbankan dirinya dan mendapat timah panas sementara Cornelius kabur dan mengabdi pada kami. Di sisi lain, berbeda dengan Panglima dan Sanja, aku tidak begitu akrab dengan Cornelius. Aku justru kerap menjaga jarak dengannya karena menganggap kematian Nara disebabkan olehnya.

“Apa yang harus kita lakukan?” aku membaringkan Sanja. 

“Melihat kondisinya, aku menduga kita punya beberapa jam sebelum…” Cornelius tidak menyelesaikan kalimatnya.

“Semuanya akan baik-baik saja,” Panglima memegang pundakku.

“Aku akan menyiapkan obat untuknya,” Cornelius pergi meninggalkan kami.

Penduduk memadati kemah kami. Cornelius yang berusaha kembali ke kemahnya terhalang oleh rentetan pertanyaan dari para penduduk. Aku tidak mendengar dengan jelas, tetapi Cornelius berjanji bahwa Sanja baik-baik saja. Ia menganjurkan penduduk untuk kembali beristirahat. Tak butuh waktu lama, kericuhan memudar. Perkemahan kembali sunyi. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri. Tak luput, angin malam yang terasa menyapu punggungku. Aku menyelimuti Sanja. Sesaat, aku mengira Panglima telah keluar bersama Cornelius sebelum ia akhirnya duduk di sampingku.  

“Taman, apa kau ingat ketika aku mengajari Sanja menggunakan sumpit (senjata tradisional)?” Panglima berusaha menghiburku.

“Tentu. Bagaimana aku bisa lupa. Kalian membuat seekor kerbau mengamuk dan merusak kebun para penduduk,” aku tersenyum kecil.

“Selama seminggu kami harus membantu penduduk menanam ulang kebun-kebun itu,” Panglima tertawa sesaat. “Aku pernah berjanji kepada Sanja jika ia sudah mahir menggunakan sumpit, ia pantas menggantikanku sebagai Panglima. Ia pantas menjadi pelindung untuk kita semua,” ujar Panglima dengan raut wajah serius.

Tawaku memudar, “Kenapa kau berbicara seperti itu? Apa maksudmu?” Aky mengerutkan kening.

Panglima menarik napas panjang. “Selama beberapa tahun terakhir, kekuatan ini terus mengingatkan aku akan Nara. Aku tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus, Taman. Aku harus melanjutkan hidup. Dan mungkin, satu-satunya cara adalah dengan berhenti menjadi Panglima.”

“Kekuatan itu memilihmu, Nanjan. Kau, dianugerahkan kekuatan itu, dan kau akan melepaskannya begitu saja?” aku tidak mengerti pemikirannya.

“Taman, kekuatan ini tidak pernah membawa apa pun melainkan hal buruk. Pikirkan ini, jika serdadu VOC sampai tahu eksistensi Panglima, entah berapa banyak serdadu yang didatangkan untuk menyerangku. MENYERANG KITA!” Panglima berkeras agar aku setuju.

“Baiklah, jika menurutmu itu yang terbaik. Aku akan mendukungmu,” jawabku.  

“Jika yang kau khawatirkan adalah perlindungan bagi Sanja. Kau tidak perlu risau. Aku janji, kau, Sanja, dan seluruh penduduk akan berada dalam situasi yang aman sebelum aku melepaskan kekuatan ini,” Panglima menetapkan keputusannya.

Aku tidak mengatakan apa pun. Kami menoleh karena terkejut mendengar suara langkah kaki di luar kemah. Hidup berpindah-pindah membuat kami selalu siaga akan kedatangan VOC. Untunglah, itu hanya Cornelius yang membawakan obat untuk Sanja.

“Aku menyiapkan ramuan. Semoga ini berhasil,” ucap Cornelius.

Cornelius meminumkan Sanja dengan ramuan itu. Tidak ada reaksi. Kami menunggu beberapa menit. Tetap tidak terjadi apa pun. Cornelius dan Panglima nampak cemas. Aku nampak cemas.

“Apa obatnya bekerja?” tanyaku.

Cornelius tidak menjawab dan kembali memeriksa Sanja. Aku benci kekhawatiran yang terlukis pada wajah Cornelius.

“Ramuannya berhasil mengulur waktu beberapa jam lagi untuk Sanja. Kita harus segera mencari alternatif lain,” Cornelius mengusap keningnya yang basah dan mengkilap.

“Mungkin, ada satu cara,” Panglima duduk di ujung kemah. Kedua siku bertumpu pada lututnya.

Aku mencari asal suara Panglima, “apa maksudmu?” tanyaku.

“Sebelum bertemu denganmu, Nara menghabiskan masa mudanya mencari Pusaka Pembeliant. Pusaka yang dipercaya memiliki banyak kemampuan gaib, salah satunya mengobati segala macam penyakit. Konon, Sang Pembeliant yang merupakan dukun tersohor di kala itu mengubur dirinya bersama pusaka itu di balik Jantur (air terjun) Inar,” jelas Panglima.

“Apa Nara pernah menemukannya?” tanyaku.

“Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah, apa ada pusaka yang tak pernah ditemukannya?” jawab Panglima.

“Lalu, di mana Nara menyimpannya?” tanya Cornelius.

“Begini, mengingat pusaka itu ditenagai oleh ilmu hitam, ia memiliki kehendak dan pikirannya sendiri, sehingga ia dapat membahayakan penggunanya. Oleh karena itu, setelah Nara meminta seluruh penduduk terbebas dari wabah kolera, ia langsung menenggelamkan pusaka itu di Sungai Mahakam. Tepat beberapa kilometer dari sini,” jelas Panglima.

“Kenapa kau tidak pernah cerita tentang ini?” tanyaku.

“Nara membuatku berjanji untuk tidak menceritakan apa pun tentang masa lalunya padamu ataupun Sanja. Ia tidak ingin kalian mengikuti jejaknya. Jejak yang yang telah mengakhiri hidupnya,” alasan Panglima.

Aku melepaskan genggamanku dari Sanja dan berjalan melewati Panglima. Ia menahan lenganku.

“Jangan, Taman. Kau tidak tahu seberapa berbahayanya pusaka itu,” Panglima melarangku.

“Jika pusaka itu bekerja di tangan Nara. Tentunya, itu akan bekerja di tanganku,” aku meyakinkan Panglima.

“Oh, ya? Sekarang di mana Nara, Taman? DI MANA NARA?”

Aku menghempaskan genggamannya sembari menunggunya bertindak. Aku menunggunya memukul, menghajar, atau mengikatku. Apa pun demi mencegah kepergianku. Namun, tidak ada.

“Biar aku saja yang mengambil pusaka itu,” Panglima mengejutkanku.

Lalu, kami mendengar teriakan para penjaga dari luar, “VOC! VOC!” teriakan tersebar di seluruh perkemahan. Sesampainya aku, Cornelius, dan Panglima di luar kemah, penduduk telah berlarian tak tentu arah. Bahkan, ada yang telah tertangkap. Malam itu, perkemahan mendadak menyilaukan akibat dari beberapa kemah yang dibakar oleh serdadu VOC. 

“Sepertinya mereka mengikuti jejak kita,” Panglima memberitahuku.

“Seharusnya kita habisi saja Jenderal tua itu saat masih punya kesempatan,” kataku.

“Tunggu, bagaimana dengan Sanja? Ia tidak punya banyak waktu,” Cornelius mengingatkan kami.

Panglima berpikir keras. Ia dihadapkan pilihan yang sulit. Menyelamatkan penduduk desa atau kemenakannya sendiri. Jika aku dihadapkan situasi yang sama, aku tidak yakin dapat mengambil keputusan apapun.

“Taman, bawalah Cornelius dan pergi ambil pusaka itu. Sanja aman bersamaku di sini. Dan ingat, jika kalian mendapatkan pusaka itu, berhati-hatilah ketika meminta sesuatu darinya,” terang Panglima. Aku mengangguk.   

Panglima memasuki hutan di depan kami dan menyerang beberapa serdadu sekaligus. Cornelius menungguku mengucapkan selamat tinggal kepada Sanja sebelum kami pergi. Beberapa menit kemudian, perkemahan sudah jauh tertinggal di belakang kami.

Bersambung…

Cerpen ditulis oleh F. Sandro Asshary, Alumni Sastra Inggris, FIB 2018.



Kolom Komentar

Share this article