Berita Kampus

Waswas Kebebasan Pers dalam Perkominfo Nomor 5 Tahun 2020

Ancaman kebebasan pers yang sedang disuarakan aliansi jurnalis di Indonesia.

Sumber Gambar: wikimedia.org

SKETSA - Belakangan Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Perkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (PSE) kerap dibicarakan. Peraturan ini mengimbau seluruh perusahaan dengan layanan digital  atau daring untuk mendaftarkan dirinya. Tak pelak, sejumlah platform seperti Google, WhatsApp, Instagram, Twitter hingga Facebook  turut menjadi sasaran hingga ancaman pemblokiran.

Dalam konferensi pers Kominfo 21 Juli lalu, Dirjen Aplikasi Informatika, Samuel Pangerapan, menyebut tiga tahapan sebelum pemblokiran: peringatan, denda, dan pemblokiran sementara.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kemudian menilai peraturan ini berpotensi menjadi ancaman baru bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang disampaikan melalui unggahan Instagram 22 Juli lalu. AJI menggarisbawahi sejumlah pasal yang dinilai bermasalah. 

Seperti halnya Pasal 9 yang mengandung frasa ambigu seperti “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”. Ada pula pasal 14 tentang pemblokiran “informasi meresahkan”. Kedua hal ini mendorong AJI untuk mendesak dewan pers agar turut terlibat dalam membatalkan peraturan ini.

Itu turut ditegaskan oleh Ketua AJI Samarinda, Nofiyatul Chalimah, ketika dihubungi Sketsa pada Rabu (27/7). Ia menyebut bahwa pasal tersebut dapat mencederai kebebasan pers.

“Diksi meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum itu bisa jadi pasal karet. Bisa juga jadi pemukul untuk kerja-kerja pers termasuk presma ketika mengkritik. Tanpa aturan itu, presma yang jadi korban pembredalan aja sekarang sudah banyak.” 

Menyoal tagar #blokirkominfo, baginya itu sebagai bentuk kampanye digital agar semua orang lebih sadar akan peraturan ini dan mengetahui bahwa ada hal yang perlu diubah.

Tanggapan lain datang dari kalangan akademisi Unmul. Dosen Ilmu Komunikasi Rina Juwita, dan dosen FH Sholihin Bone turut membagikan pandangannya kepada Sketsa. Keduanya memaklumi kekhawatiran AJI terhadap peraturan ini.

Namun, Rina sendiri melihat bahwa kebijakan PSE ini dibuat pemerintah sebagai langkah agar negara hadir untuk melindungi masyarakat di dunia digital.

“Agar mengurangi potensi penyalahgunaan data pribadi baik secara domestik maupun global," terangnya pada Rabu (27/7)

Meski begitu, dirinya tak berkelit bahwa peraturan ini dapat membelenggu kebebasan berpendapat di lingkup digital, mengingat masyarakat Indonesia saat ini sangat bergantung pada media digital.

Ia menyebut pentingnya untuk bisa menemukan jalan tengah untuk permasalahan ini. Agar opsi terbaik tercapai melalui dialog dan partisipasi wakil masyarakat dalam proses implementasi kebijakan.

Sholihin juga memiliki pandangan serupa. Baginya ini menyangkut eksistensi dan masa depan demokratisasi Pemberitaan di Indonesia. Ia menilai peraturan tersebut dapat membelenggu kerja-kerja profesional media di Indonesia.

"Ada semacam “ketakutan” jika pada aspek pemberitaan dan kebebasan pers di Indonesia “terkungkung“ melalui peraturan ini."

Ia menekankan pentingnya diskusi dalam pembuatan kebijakan dan adanya kerancuan dalam peraturan ini.

“Mencermati peraturan ini, memang ada hal yang mengganjal terutama tentang kebebasan dalam menuangkan ekspresi dan pemberitaan-pemberitaan. Ini yang kemudian perlu disikapi secara serius oleh pemerintah dalam hal ini menteri,” jelas pria lulusan Universitas Hasanuddin ini pada Rabu (27/7)

Terakhir Ia juga menerangkan bahwa peraturan ideal adalah peraturan yang memberikan ruang sebesar-besarnya kepada publik untuk memberikan masukan-masukan demi terwujudnya peraturan yang ideal. (mar/vdh/lav/khn)



Kolom Komentar

Share this article