Berita Kampus

Surat Keterangan Mengikuti TOEFL Minimal Dua Kali Tak Lagi Berlaku, Kini Mahasiswa Harus Mengikuti Tes Sampai Lolos

Perubahan kebijakan surat keterangan TOEFL

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Nindi/Sketsa

SKETSA — Sesuai dengan surat UPT. Bahasa Nomor: 296/UN17.V4/TA.00.04/2022, mengikuti English Proficiency Test (EPT) baik Mulawarman University English Proficiency Test (MU-EPT) atau Test Of English as a Foreign Language (TOEFL) sudah menjadi kewajiban bagi seluruh mahasiswa Unmul yang ingin mengikuti wisuda. Namun, tingkat kesulitan yang cukup tinggi serta biaya yang tidak sedikit menjadi pertimbangan untuk mengikuti EPT.

Sebelumnya pada awal 2018, berlaku keringanan bagi mahasiswa yang tidak lolos TOEFL agar cukup melampirkan bukti bahwa pernah mengikuti tes tersebut sebanyak dua kali untuk mendaftar wisuda. Namun, mulai awal 2019, kebijakan ini tidak berlaku lagi bagi angkatan 2016 dan seterusnya. Sehingga mahasiswa yang mau mengikuti wisuda, mau tidak mau harus mengikuti EPT berulang kali hingga ia lolos.

Menanggapi hal tersebut, Sketsa mendatangi Wakil Rektor Bidang Akademik yakni Lambang Subagiyo pada Rabu (1/2) lalu. Ia menekankan bahwa kompetensi berbahasa asing khususnya bahasa Inggris sangatlah penting di era 4.0 untuk mencari kerja maupun berkomunikasi. Ini juga selaras dengan visi Unmul untuk berstandar internasional, di mana salah satu faktor pendukungnya adalah kemahiran berbahasa Inggris. Maka dari itu, kebijakan ini akan terus dilanjutkan.

Mengenai keresahan tentang ketidakmampuan mahasiswa untuk langsung melewati EPT, Lambang menyarankan agar mahasiswa mengikuti tes tersebut sejak semester awal. Sebab apabila mahasiswa tersebut tidak lolos, ia dapat mencoba lagi di semester selanjutnya sembari meningkatkan kemampuan berbahasa Inggrisnya. Ia pun telah melakukan rapat untuk mengefisiensikan EPT dan membantu mahasiswa.

“Nah, kemarin juga sudah kita rapatkan. Nanti tolong balai bahasa mulai mendesain, kalau misalkan mata kuliah Bahasa Inggris di Prodi itu setidaknya ada ujian. Ujiannya bukan ujian semester mengisi formulir, menconteng seperti itu. Nah, ujiannya adalah Paper Based Test (PBT) atau Internet Based Test (IBT), setara dengan TOEFL,” ungkap pria lulusan Nantes Université ini.

Menyoal pengecualian khusus dalam kasus tertentu seperti mahasiswa yang telah mengikuti TOEFL berulang kali tetapi tak kunjung lulus, Lambang mengatakan bahwa permasalahan tersebut akan dipirkan kemudian. 

“Ya, itu akan kita pikirkan, tapi untuk wisuda sampai tanggal 6 (Februari) ini peraturan harus tetap berlaku. Biarkan saja dulu.”

Lebih lanjut dirinya mengungkap bahwa EPT tidak akan mengganggu panjangnya masa studi mahasiswa sebab tes tersebut merupakan syarat untuk mengikuti wisuda dan mendapatkan ijazah, bukannya untuk mengikuti ujian skripsi. 

Menyangkut peran balai bahasa yang dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa secara komprehesif menjadi harapan tersendiri bagi Lambang. Menurutnya, peran balai bahasa bukan hanya menguji saja, tetapi juga untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa melalui kelas kursus persiapan bahasa Inggris.

“Sehingga nanti apa yang dipelajari mahasiswa itu relevan dengan apa yang diminta oleh oleh MU-EPT atau TOEFL,” mantapnya.

Sketsa pun turut menghubungi dua alumni Unmul melalui WhatsApp, yakni Adam Muchsin, alumni FH, pada Kamis (26/1) dan Nursari Malinda, alumni FK, pada Rabu (1/2). Kepada Sketsa, Adam mengaku baru mengetahui kebijakan ini ketika akan melakukan yudisium pada Juli 2022 lalu. Di sisi lain, Nursari tidak mengetahui tentang kebijakan ini walaupun telah lulus.

“Terkait kebijakan ketiadaan dispensasi dalam tes bahasa Inggris ini baru saja saya ketahui ketika akan melakukan yudisium pada 20 Juli 2022 silam. Demikian, saya mengikuti tes (MU-EPT) untuk memenuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yudisium dan hanya butuh satu kali tes untuk mendapatkan nilai yang dibutuhkan,” beber Adam.

Bagi Adam, MU-EPT jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan TOEFL. Lalu, dalam segi biaya, MU-EPT jauh lebih murah daripada TOEFL sehingga tidak begitu memberatkan. 

Berbeda dengan Nursari yang memilih TOEFL, ia mengungkap bahwa biaya tes tersebut sangat memberatkan dan memiliki tingkat kesulitan yang sedang.

“Biaya untuk melakukan TOEFL pada saat itu sangat memberatkan. Mengingat harga yang dikeluarkan kurang lebih sekitar Rp200.000 hingga Rp300.000, sedangkan tingkat kesulitan tesnya sendiri bisa dikatakan sedang. Artinya tidak sulit, tetapi bukan berarti mudah,” tutupnya. (mar/ysn/snr/ems)




Kolom Komentar

Share this article