Berita Kampus

Sudah Sehatkah Ruang Digital Kita?

Bagaimana ancaman dalam ruang digital kita?

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

SKETSA – Beberapa waktu yang lalu, hasil penelitian Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020 menghebohkan jagat maya khususnya Indonesia. Penelitian  yang berjudul Digital Civility Index (DCI) itu dilakukan mulai April dan Mei 2020. Hasilnya, netizen Indonesia merupakan pengguna internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Ini dibuktikan dengan posisi Indonesia yang berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Lantas, akun Instagram milik Microsoft langsung diserbu oleh netizen Indonesia. Dengan reaksi positif hingga negatif yang membanjiri, fitur komentar pun terpaksa dinonaktifkan.

Sempat diwawancarai pada Rabu (3/3), Muhammad Fajri Luthfi, mahasiswa Sastra Indonesia 2019 turut berkomentar mengenai keadaan ini. Menurutnya, kondisi ini juga dipicu oleh media yang seringkali menampilkan konten atau pemberitaan yang bernuansa negatif. Dampaknya, sikap netizen menjadi tidak terkendali.

“Menurut saya banyak faktor yang menyebabkan kejadian ini, salah satunya adalah minat dari netizen Indonesia itu sendiri. Media akan selalu menampilkan berita yang memiliki nilai pasar. Seperti yang kita tahu, sangat banyak berita-berita di berbagai platform media sosial (dengan) mayoritas sensasi belaka. Seperti isu skandal, yang saya anggap sebagai pemicu dari ujaran kebencian. Menjadikannya faktor utama dalam penilaian ini,” jelasnya.

Sebaliknya, Dewi Ramadhani Wulandari, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2020 justru menyayangkan sikap netizen Indonesia. Dia membenarkan bahwa sikap negatif memang tercermin dalam netizen Indonesia meski tidak secara keseluruhan.

“Sikap buruk netizen Indonesia tuh, mereka cuma mau liat satu sisi dan gak liat ke semua sisi. Bisa dibilang kek terbawa emosi dan juga ikut-ikutan aja tanpa tahu jelas masalahnya apa. Makanya, netizen Indonesia ini jadi perhatian banyak orang di luar. Apalagi Indonesia punya banyak pengguna aktif media sosial. Sisi buruk sama sisi baiknya gak seimbang,” tukasnya kepada Sketsa, Rabu (3/3).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unmul, Ainun Nimatu memberikan pandangannya mengenai riset yang dilakukan oleh Microsoft. Pertama, masyarakat harus memahami bahwa hasil tersebut berdasarkan survei dan kurang tepat apabila menggeneralisir seluruh netizen Indonesia memiliki sikap seperti itu. Lalu, riset ini sendiri hanya menggunakan sample sebanyak 16 ribu orang yang tersebar di 32 negara.

“Sehingga kurang bijak kalau dianggap menggambarkan 175 juta pengguna internet di Indonesia. Jadi, gak perlu berlebihan menanggapi sebenarnya,” ungkapnya pada Sketsa, Sabtu (6/3).

Baginya, hal ini sudah lazim terjadi bahkan kemungkinan akan kembali terulang di masa mendatang. Banyak faktor yang memengaruhi kesehatan dan keamanan di dunia maya. Dilansir dari kompas.com, ada tiga faktor yang berpengaruh pada risiko kesopanan di Indonesia. Pertama adalah hoax dan penipuan, dengan skor paling tinggi sebesar 47 persen. Kedua, faktor adanya ujaran kebencian dengan skor sebesar 27 persen. Lalu yang terakhir adalah diskriminasi sebesar 13 persen.

Dalam ruang digital−terlepas dari dampak positif, dampak negatifnya akan selalu mengikuti dan menjadi risiko. Ainun mengungkapkan jika hal tersebut merupakan fenomena sosial yang tidak terelakkan. Tidak memungkinkan adanya kondisi ideal di mana internet hanya diisi sisi positif saja. 

Di samping keadaan yang ada, diperlukan upaya perbaikan atau minimalisir yang seharusnya menjadi perhatian utama masyarakat. Ketika menggunakan medsos, usahakan untuk menggunakannya sesuai kebutuhan. Diikuti dengan menjaga sikap serta etika, mengikuti informasi yang bermanfaat, menjauhi akun yang toxic dan memanfaatkan pengetahuan yang ada semaksimal mungkin.

Selain itu, masih ada beragam cara lain yang dapat digunakan untuk meminimalisir risiko ruang digital. Salah satunya dengan literasi digital, yang di dalamnya juga berbicara tentang netiquette atau etika berinternet. Ainun menegaskan, literasi digital menjadi tanggung jawab orang-orang terdididik dan berpengaruh dalam mengedukasi masyarakat secara umum.

“Cara lainnya dengan menciptakan norma yang mengandung punishment. Contohnya undang-undang yang jadi wilayahnya pemerintah. Keduanya harus berjalan beriringan supaya fungsi kontrol sosial di ruang digital bisa terlaksana,” tutupnya.

Besar harapan, pengguna ruang digital dapat lebih bijak dalam menyikapi segala hal yang berkaitan dengan dunia maya. Meski dampak negatif akan selalu ada, namun ruang digital yang ideal juga perlu diusahakan. Mari mengupayakan ruang digital yang sehat dengan netizen yang cerdas! (nop/sar/jhr/rea/khn/len)



Kolom Komentar

Share this article