Berita Kampus

Mengenal Jurnalisme Keberagaman, Ruang Aman bagi Kelompok Rentan

Dengan hadirnya jurnalisme keberagaman, diharapkan terciptanya ruang aman untuk minoritas.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @kabarsejuk

SKETSA – Jurnalisme keberagaman santer terdengar oleh insan pers, bersisian dengan kasus intoleransi. Pasalnya, jenis jurnalistik yang satu ini digadang-gadang mampu menuntun mereka yang bekerja di dunia jurnalistik, dalam menciptakan ruang aman terhadap pemberitaan keberagaman di Indonesia.

Sketsa berbincang bersama Yuni Pulungan, Program Manager Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk), Kamis (3/2).

Yuni menuturkan jurnalisme keberagaman  bak praktik-praktik jurnalisme lainnya, menggunakan elemen jurnalisme dan kode etik jurnalistik. Namun, menurutnya jurnalisme ini menitikberatkan pada proses produksi karya jurnalistik dengan mengedepankan nilai-nilai keberagaman.

Jurnalisme ini punya sensitivitas terhadap isu-isu yang melibatkan identitas ragam kepercayaan, kebebasan beragama, etnis, gender, seksualitas, dan juga termasuk disabilitas.

“Jadi agar lebih mudah diingat sebenarnya, memperkenalkan istilah jurnalisme keberagaman adalah sebuah praktik jurnalistik dalam isu keberagaman,” sahutnya via Zoom Meeting kala itu.

Pakem dalam memaknai keberagaman ini sangat penting untuk diketahui. Sebab, dengan punya nilai dan prinsip-prinsip keberagaman, jurnalis diharapkan bisa melihat konteks masalah dalam garis yang lebih besar, yaitu masalah keberagaman.

Keuntungan lain, jurnalis dapat memahami kompleksitas keragaman dengan memahami secara baik jurnalisme keberagaman. Namun, untuk memahami banyaknya isu dan konflik keberagaman di tanah air, semua pihak perlu berupaya mendukungnya dari segala arah.

Baginya, yang terpenting untuk dilakukan ialah memastikan bahwa orang-orang yang berada di ruang redaksi punya nilai-nilai kebebasan, kepentingan untuk membela hak asasi manusia (HAM), serta perspektif keberagaman. Hal itu demi menjaga integrasi keberagaman di era disrupsi yang serba cepat.

“Jadi kalau jurnalisnya punya perspektif seperti itu, mereka enggak akan menjadi orang yang ikut menghakimi, enggak akan ikut menjadi orang yang menentukan ini salah atau benar, tidak ikut menjadi orang yang menyebarkan miskonsepsi. Tapi, ikut menjadi orang yang berada di depan untuk menyuarakan hak teman-teman kelompok marginal."

Sayangnya nilai-nilai keberagaman masih jadi momok untuk diwujudkan di era digitalisasi. Tak boleh berkecil hati, Yuni mengungkap jika banyak sekali upaya untuk menampik tantangan tersebut, dengan sama-sama bergerak menciptakan ruang aman perkara keberagaman.

“Tantangan keberagamannya itu kalau di era sekarang tidak hanya disebabkan oleh teman-teman di media massa dan media mainstream saja, tapi ya media sosial juga gitu dan pengguna sosial media kan tidak hanya jurnalis gitu dan tidak hanya teman-teman komunitas marginal, semua orang menggunakan media sosial,” tutur Yuni.

Dengan jumlah penduduk yang banyak, serta memiliki latar belakang keberagaman yang tinggi, sepatutnya tidak menjadi hambatan pada era disrupsi di Indonesia ketika menyuarakan jurnalisme keberagaman.

Menilik lebih dalam, jurnalisme keberagaman tidak hanya sebatas masalah nilai-nilai. Namun, berfungsi menyadarkan pers terhadap fungsi watchdog atau edukasi dari jurnalisme yang sesungguhnya. Penting bagi jurnalis untuk untuk terlibat aktif dalam pemenuhan, perlindungan, termasuk pemberian hak dari kelompok marginal dan menjalankan fungsinya.

Selain peran pers, ia juga menjelaskan jika perlu perubahan regulasi terhadap pola keberagaman. Dalam situasi di lapangan, banyak tindak kriminal yang dilakukan disebabkan sikap intoleransi. Hal tersebut dipicu dari regulasi yang tidak inklusif. Banyak regulasi yang tidak memikirkan berbagai pihak terutama kelompok marginal.

Yuni juga menyinggung kepada pelaku-pelaku media, terutama jurnalis yang memegang kebijakan di dalam redaksi. Forum diskusi maupun pelatihan khusus untuk orang-orang di balik layar terkait nilai keberagaman patut diprioritaskan.

“Jadi kalau misalnya di dalam ruang redaksinya memang udah punya kedekatan tersendiri, udah punya perspektif yang baik terhadap nilai-nilai keberagaman sebenarnya semoga dalam jalan produksinya lebih banyak lagi gitu rasa sensitifnya terhadap peliputan isu-isu keberagaman,” langgamnya.

Pandangan Akademisi

Untuk melihat peran jurnalis yang ikut berkontribusi dalam menciptakan pemahaman tentang keberagaman dan meminimalkan konflik akibat penguatan identitas dengan perspektif akademisi, Sketsa menemui Nurliah, dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Unmul, Jumat (4/2).

Menurutnya, semua pakem jurnalisme harus sensitif pada ragam isu dan bersikap adil melihat wacana dan fenomena. “Jadi, sebagai seorang yang bergelut di dunia jurnalistik dan juga akademisi di bidang jurnalistik ya, setiap hal itu memang perlu ada penekanan-penekanan."

Tak jadi persoalan ketika pers memberikan penekanan pada liputan-liputan dengan label jurnalisme keberagaman. Namun, yang perlu diketahui, Indonesia masih berkutat pada asingnya isu keberagaman di telinga masyarakat.

“Dengan kita di Indonesia yang masih sangat seperti itu, ya akhirnya dimunculkan jurnalisme keberagaman. Karena jurnalisme kita masih konvensional, memandang tentang LGBT, misalnya begitu.” 

Penting bagi jurnalis dapat memahami kompleksitas keragaman tergantung dari orang-orang di balik media bersangkutan. “Kalau media kan memang sangat tergantung oleh man behind the gun. Ya, siapa pemiliknya, siapa pemegang sahamnya, dia berafiliasi dengan siapa, ideologinya apa nih (orang yang berafiliasi),” lanjutnya. 

Meski begitu, Nurliah mengungkap jika pers tetap harus berperan dalam menciptakan ruang aman terhadap isu keberagaman di Indonesia. Mengingat fungsi pers untuk menjernihkan segala informasi agar lebih jelas dan transparan. Bukan lagi media partisan, yang mendekatkan diri pada politisi.

“Media harus menciptakan ruang aman, wajib. Dia bukan menjadi pemicu untuk membuat orang menjadi berkonflik. Harusnya, dia memberikan penjelasan, kejelasan terhadap fenomena yang ada."

Selaras dengan Yuni, bagi Nurliah apapun nilai yang diusung jurnalis dari media tertentu, kode etik jurnalistik haruslah dipatuhi. Kejelasan informasi juga tak kalah pentingnya.

Jurnalis patut mengonfirmasi segala bentuk informasi kepada semua pihak, hal itu sebagai bentuk cover both side dan egalitarianisme. Setiap orang punya hak yang sama dalam memberikan suaranya.

“Media harus sensitif pada keberagaman, dia harus memberikan kejelasan pada hal-hal yang tidak jelas. Bahkan ada yang menyamakan jurnalis itu adalah kerja-kerja kenabian. Karena dia menyuarakan hal-hal yang seharusnya untuk kebaikan umat. Memberikan penjelasan-penjelasan yang tepat. Pesan-pesan yang bernilai moral bagus akan disampaikan di media. Begitu idealnya,” pungkasnya. (fzn/tha/nkh/khn)



Kolom Komentar

Share this article