Berita Kampus

Membaca Diskriminasi Seorang Kaprodi

Diduga adanya tindakan diskriminasi antara kaprodi dengan mahasiswa. (Sumber foto: istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Ketika keluar dari ruang Sistem Informasi Akademik (SIA), yang ada di kepala Pingkan, bukan nama sebenarnya, hanya satu: menemui dosen pengampu mata kuliah yang memberinya nilai E. Ia masih terguncang berat.

Peristiwa itu terjadi sekitar akhir Desember 2017, ketika Pingkan hendak mengurus transkrip nilai untuk memenuhi syarat magang di sebuah instansi. Ia ingat betul sudah mengumpul tugas UAS, menandatangani lembar DPNA sewaktu menyerahkan tugas, nilai UTS-nya pun termasuk unggul di kelas dengan angka 90. Ia juga rutin hadir sesuai jadwal perkuliahan.

“Tapi, kenapa bisa nilai mata kuliah itu tertulis 0? Seolah-olah aku enggak kuliah, enggak ikut teori,” katanya.

Pingkan mendatangi SIA dengan maksud ingin memastikan kebenaran nilai itu, setelah sebelumnya berkali-kali mengecek sendiri di portal dan bagian akademik. Awalnya ia mengira nilai 0 hanya kesalahan sistem. Ia menuturkan, mata kuliah itu memang sempat bermasalah.

Sebelumnya pada Juli 2017, ada tujuh mahasiswa yang tugasnya hilang dan terancam dapat nilai jelek, termasuk Pingkan. Namun setelah ditelusuri ternyata tugas tujuh mahasiswa itu ada di tumpukan tugas kelas lain, termasuk tugas Pingkan. Kendalanya saat itu Pingkan tidak mengecek langsung, ia sedang menjalani masa KKN di luar Samarinda. Kabar bahwa tugasnya telah ditemukan itu disampaikan oleh kawannya yang menetap di Samarinda. Betapa terkejut ketika nilai keluar, Pingkan tahu bahwa hanya dia seorang yang mendapati nilai E.

Di SIA, Pingkan mengaku dilayani dengan cara yang kurang ramah. Tiap pertanyaan yang ia sampaikan dijawab ketus. Saat minta untuk diperlihatkan data nilainya di monitor, nama Pingkan tidak ada. Ternyata oleh petugas SIA yang dicek itu mata kuliah semester empat, padahal mata kuliah yang dimaksud Pingkan ada di semester enam dan ketika dicek menunjukkan huruf E dan angka 0.

Saat itu, map yang dibawa Pingkan sempat terjatuh dari tangannya. Hal tersebut direspons keras oleh petugas SIA dengan memarah-marahi Pingkan dengan sebutan tidak sopan. Petugas tersebut berkata, “Tidak usah banting-banting kalau tidak terima.” Perdebatan antara Pingkan dan petugas SIA saat itupun tak terelakkan.

Urusan Nilai Mahasiswa Tidak Lebih Penting daripada Reputasi

Dalam gelisah, Pingkan menerima pesan WhatsApp yang dikirim kaprodinya dalam sebuah grup mata kuliah, yang sebelumnya jadi media koordinasi kepanitiaan inti salah satu mata kuliah dan Pingkan tergabung di dalamnya. Pesan itu ia terima tepat sehari setelah berurusan dengan SIA.

“Bilangin ke temanmu yang bernama Pingkan untuk segera menghadap saya!” kata Pingkan sambil memperlihatkan tangkapan layar pesan tersebut.

Besoknya, Pingkan benar menemui kaprodi. Di situ ia kembali jadi bulan-bulanan. Kaprodi menuding Pingkan mahasiswa tidak sopan dan menyebut Pingkan bikin masalah dengan empat orang dosen. Tak cuma itu, ia juga mengatakan telah menerima aduan tiga staf SIA perihal perilaku Pingkan di ruang SIA.

“Kaprodiku bilang, ‘Saya ini udah bagus ya, reputasinya sama SIA. Saya tidak mau hubungan saya dengan SIA jadi tidak baik gara-gara mahasiswa berkelakukan tidak sopan’. Kok ini jadi diperlebar gini masalahnya? Padahal aku cuma mau mengurus nilaiku yang dapat E. Lagian waktu aku datang itu (petugas) SIA sendirian, enggak ada orang,” kata Pingkan.

Desember berlalu, tahun berganti, sementara Pingkan masih kepikiran. 11 Januari, setelah mempersiapkan mental dan waktu yang tepat, ia memutuskan untuk menemui dosen pengampu mata kuliah yang bermasalah itu. Ia berharap ada titik terang untuk permasalahannya.

“Aku bawa dua temanku yang kami sama-sama ngumpulin tugas, mereka jadi saksi. Akhirnya aku dikasih kesempatan buat nyari tugasku di ruang kaprodi. Dosenku itu juga baik. Kita saling bicara dan saling menerima kalau memang ada kesalahan. Beliau juga kaget, kok bisa aku dapat 0,” kisahnya.

Kendati sudah memperoleh izin, Pingkan masih merasa khawatir. Ia lantas memberitahu sikap kaprodi tempo hari kepada dosen ini. Menangkap kegelisahan tersebut, sang dosen langsung menghubungi salah seorang staf kaprodi untuk mengonfirmasi agar Pingkan diberi izin mencari tugas di sana.

Selepas bertemu dosen itu, Pingkan dan dua temannya bergegas menemui kaprodi. Waktu itu mereka bertolak dari salah satu rumah sakit di Samarinda, karena dosen Pingkan kebetulan juga bekerja di situ. Teman Pingkan tiba lebih dulu di kampus dan langsung menuju ruang kaprodi. Sementara Pingkan datang kemudian, kaprodi tiba-tiba muncul dan langsung berkata, “Pingkan (menyebutkan nama lengkap Pingkan), kamu mengulang untuk mata kuliah ini (menyebut mata kuliah).”

“Aku enggak terima dan aku jelaskan aku udah dapat izin. Aku ngerasa dihalangi buat nyari tugas. Kalau tadi pas nyari tugasku enggak ketemu, aku ikhlas dapat E, tapi ini nyari aja belum gitu loh. Tapi kaprodi tetap nolak dengan alasan nanti SIA ribet lagi nginput nilai,” keluhnya dengan suara bergetar.

“Temanku ada yang dengar salah satu staf kaprodi waktu itu bilang, ‘Mungkin udah dibuang kali tugasnya’. Padahal dari akademik bilang nilai ini masih bisa diselamatkan, banyak juga kasus kayak gini,” lanjut Pingkan.

Mengulang dan Solidaritas dari Kawan-Kawan

Perkara ini membawa Pingkan lebih dekat ke arah depresi. Tampak ada relasi kuasa yang begitu terjal antara seorang mahasiswa dengan jabatan struktural seperti kaprodi. Ia tak cuma bingung, tapi juga takut. Selama beberapa hari Pingkan memutuskan untuk mengurung diri. Pingkan menceritakan masalah ini kepada orang tuanya di tanah kepulangan agar sekiranya turut membantu menyelesaikan masalah yang didera sulungnya ini.

Orang tua Pingkan yang khawatir menelepon kaprodi dan hanya mendapatkan jawaban tentang anaknya yang bermasalah—sebagaimana yang disampaikan kepada Pingkan dan dosen pengampu--dan tidak ada tawar-menawar lagi, bahwa sudah jelas Pingkan harus mengulang.

“Aku udah enggak bisa ngapa-ngapain lagi. Aku mau ngajuin skripsi, tapi aku takut dimarahin kaprodi lagi. Kan malu. Aku ngerasa dianggap  yang paling nakal, padahal ini kan cuma masalah biasa, bukannya nge-drugs, free sex atau apa,” tutur Pingkan.

Saat ini, Pingkan cuma bisa pasrah. Meski merasa hilang semangat kuliah, ia mengaku sudah mengurus KRS dan terpaksa memasukkan mata kuliah bermasalah itu untuk diulang. Namun hingga wawancara bersama dilaksanakan, ia belum kunjung meminta tanda tangan kaprodinya.

Dukungan moril dari teman-teman dan orang terdekat Pingkan terus mengalir. Bahkan ada salah seorang temannya yang bersolidaritas dengan ikut mengulang mata kuliah dan beberapa yang lain menawarkan beragam bantuan.

“Aku berharap akan ada pertemuan antara aku, kaprodi, SIA, bagian akademik, dan dosen. Aku mau masalah ini selesai tanpa ada yang jadi korban,” katanya. (aml/wal/adl)





Kolom Komentar

Share this article