Berita Kampus

Masifnya Penggunaan Bacaan Bajakan dalam Pendidikan Tinggi, Akademisi Unmul: Harusnya Ada Program Bagi-bagi Buku Gratis

Kurangnya fasilitas penunjang referensi belajar jadi alasan maraknya pembajakan buku

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Mitha/Sketsa

SKETSA -  Buku, salah satu hal krusial yang menjadi sumber pembelajaran, tidak dimungkiri selalu digunakan di dalam proses penyerapan ilmu. Bentuknya pun kini sudah tak lagi dalam bentuk fisik atau cetak. Di zaman yang serba digital, buku kini lebih mudah diakses lewat internet dalam bentuk Portable Document Format (PDF).

Namun, meski sering dianggap sebagai sumber penting dalam menyertakan informasi pada dunia pendidikan, tak jarang para mahasiswa bahkan akademisi sekalipun menggunakan sumber buku yang tidak asli alias bajakan.

Fenomena ini dapat dilihat dari masih banyaknya proses pembelajaran yang menggunakan buku dari percetakan abal-abal yang memproduksi buku secara tidak resmi. Ada pula buku dalam bentuk PDF tadi yang diakses melalui situs-situs bertegah.

Dahri Dahlan, salah satu dosen di FIB Unmul menyebutkan bahwa buku merupakan salah satu bacaan wajib yang menjadi sumber pembelajaran. Kehadiran buku bacaan pun dianggap menjadi sebuah kebutuhan primer yang dipakai sebagai rujukan.

“Sama dengan banyaknya informasi di internet pasti rujukannya ke buku. Jadi buku itu penting,” sebut Dahri Dahlan, yang diwawancarai langsung di FIB Unmul pada Kamis (28/2).

Adapun fenomena masifnya penggunaan buku bajakan yang terjadi di Indonesia, Dahri menyebutkan bahwa hal tersebut tidak bisa hanya dilihat dari sang pembajak saja, namun secara holistik atau menyeluruh. Isu ini pun sebut Dahri merupakan sebagian kecil yang menunjukkan kebobrokan pada suatu negara.

Dahri mengatakan bahwa banyaknya penggunaan bacaan ilegal tersebut merupakan masalah yang berhubungan dengan relasi kuasa. Sehingga mudah atau tidaknya mengakses sebuah bacaan juga dipengaruhi oleh kondisi kesejahteraan masyarakat.

“Jadi pusat pembangunan itu terfokus di (pulau) Jawa, pusat buku ada di Jawa, pabrik kertas ada di Jawa, pengetahuan ada di Jawa, jadi apa-apa yang ada di luar Jawa pasti bermasalah,” jelas Dahri.

Isu buku bajakan yang banyak digunakan pun sebut Dahri merupakan salah satu PR yang mesti diperbaiki oleh negara. Sehingga fokus dalam bantuan hidup tidak hanya pada aspek Bantuan Langsung Tunai (BLT), makan gratis dan semacamnya, akan tetapi juga pada kebutuhan pendidikan seperti buku gratis.

Sebab masih banyak pengguna buku bajakan menggunakan bacaan ilegal tersebut adalah dengan alasan harganya yang lebih ramah dikantong. Di mana buku yang orisinal kerap dipatok dengan harga yang cukup tinggi, terlebih untuk mahasiswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah.

“Mana ada program bagi bagi buku gratis, bagi-bagi buku teori sastra gratis, harusnya kan ada itu supaya kalian (mahasiswa) cerdas, supaya kalian bagus, supaya generasi berikutnya nggak lagi mengharap makan siang gratis. Itu sebenarnya,” sebut Dahri.

Problem-nya bukan sekadar, (buku) bajakan dosa apa nggak. Jangan dulu (mempermasalahkan) itu, kita harus cari secara kualitatif kenapa orang pakai buku bajakan, padahal kualitas tulisannya buram, kertasnya gak jelas, tapi orang pakai buku bajakan kenapa? Kan itu yang harus dijawab secara holistik,” lanjutnya.

Namun, Dahri yang juga berprofesi sebagai penulis ini, tidak menampik bahwa dirinya kurang setuju dengan adanya pembajakan buku tersebut. Sehingga ia berharap adanya penyelesaian yang melibatkan pemerintah untuk fenomena buku ilegal tersebut.

“Iya, dasarnya dulu yang paling penting. Kendaraan dinas dosen bisa diganti kalau rusak, bensinnya dijamin. tapi kalau buku-buku siapa yang (jamin)?. Baru ada buku kalau kita minta,” bebernya yang diwawancarai langsung oleh Sketsa pada (28/2) lalu.

Adapun penggunaan buku bajakan dalam kelas perkuliahan kurang disetujui bagi segelintir mahasiswa. Salah satunya, Mayada Asmarani mahasiswa Administrasi Publik 2020. 

Ia menyebutkan buku bajakan yang tersebar merupakan sebuah bentuk kerugian bagi sejumlah pihak. Sehingga Mayada menyarankan untuk lebih memilih referensi dari laman yang resmi, baik secara daring maupun luring.

“Kalau memang merasa repot ke perpustakaan buat menghindari beli buku bajakan, sekarang ada alternatif lain kok, contohnya perpustakaan digital, macam iPusnas atau iJakarta. Atau kalau memang mau beli ada di Google Play Store. Terus contoh lainnya, di FISIP kan ada juga kan perpustakaan digitalnya, bisa pinjam buku gitu kita sama kayak sistemnya iPusnas,” ujarnya yang diwawancarai lewat aplikasi WhatsApp pada Selasa (20/2) lalu.

Mengingat harga buku orisinal yang cukup merogoh kocek, tak jarang mahasiswa memilih untuk mengakses buku-buku yang lebih terjangkau, terlebih buku-buku yang sudah lama tidak diterbitkan. Buku-buku tersebut cenderung akan dibandrol dengan harga yang tak murah, sehingga mau tidak mau buku yang tersebar bebas menjadi pilihan mahasiswa.

Seperti contoh pengalaman Aina, mahasiswa Sastra Indonesia 2021. Ia mengaku pernah menggunakan rujukan dari toko yang ia temukan secara online dan juga memfotokopi buku asli dari dosennya di kelas. 

“Apalagi dalam lingkungan sastra sendiri, yang mana banyak sekali buku-buku rujukan yang sudah lama tidak terbit. Kalau pun masih diterbitkan, akan sangat terbatas dan harganya pun akan sangat mahal,” sebutnya pada via chat WhatsApp pada Rabu (28/2) lalu. (mlt/ner/tha/dre/mar)



Kolom Komentar

Share this article