Berita Kampus

Kita Punya Kelas Tidak Anti Terhadap Cadar

Ilustrasi (Sumber: ngopibareng.id)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA –  IAIN Bukittinggi memilih menonaktifkan Hayati Syafri, sorang dosen yang dinilai pihak kampus tidak efektif dalam mengajar karena gaya berpakaiannya yang mengenakan cadar. Ini memunculkan satu pertanyaan: benarkah dengan mengenakan cadar  praktik perkuliahan di kelas bisa jadi buyar?

Karena selama ini, kalau kita mendapati yang pakai cadar tuh enggak pernah loh merugikan sekitarnya. Justru bisa menjadi hal positif,” kata Nurhasanah, dosen Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unmul.

Satu kata kunci yang bisa menjelaskan mengapa seorang perempuan muslim, pada akhirnya memilih menggunakan cadar adalah hijrah. Hijrah, dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah perubahan yang meliputi sikap, tingkah laku, dan sebagainya ke arah yang lebih baik. Dalam konteks Islam, hijrah berarti memutuskan atau meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya.

Dalam satu hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Muhammad pernah bersabda bahwasanya, “Seorang muslim ialah orang yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah."

Menurut Nurhasanah, menutup aurat saja sudah perjuangan, apalagi kemudian memutuskan mengenakan cadar. Terlepas dari perbedaan fiqih yang menyatakan wajib, sunah atau mubah, penggunaan cadar hendaknya dilandasi dengan pemahaman yang benar.  

“Bukan kemudian pakai cadar itu cuma karena kekinian,” jelasnya.

Oleh sebab itu, ujar Nurhasanah, kampus seharusnya mampu memberikan ruang apresiasi kepada muslimah yang ingin lebih taat kepada agamanya. Apresiasi itu kudu terejewahtah hingga ke ruang kelas.

Tidak Ada Bedanya

“Saya tahu mahasiswa yang memperhatikan dan saya tahu yang tidak. Dan dia (mahasiswa bercadar) memperhatikan.

Sementara itu, Dahri Dahlan, dosen Fakultas Ilmu Budaya merasa penggunaan cadar sama sekali tidak mengganggu kegiatan mengajarnya di kelas. Baginya cadar hanya gaya berpakaian. Alih-alih mempersoalkan cadar mahasiswanya, seorang dosen jauh lebih terganggu apabila ada mahasiswa bercerita atau bermain ponsel saat waktu perkuliahan.

Lebih lanjut ia mengatakan, perlu dipahami bahwa cadar adalah kultur. Ia merupakan bagian dari kebudayaan. “Kita orang-orang budaya tidak syok dengan perubahan, karena itu sesuatu yang niscaya. Orang lain boleh ribut di luar sana, di sini kita baik-baik saja,” ungkapnya.

Dosen lain, Masitah dari Pendidikan Biologi, juga mengajar mahasiswa yang menggunakan cadar. Ia juga sama tidak mempersoalkan, sebab menurutnya memakai cadar adalah soal pilihan.

Kendala yang ia alami juga tidak ada. Selama ini Masitah dengan mahasiswi yang bercadar tetap dapat berkomunikasi dan mengikuti kegiatan di kelas dengan baik. Hal ini berbanding terbalik dengan ketakutan yang menyebut penggunaan cadar mengganggu perkuliahan. (ann/adl/wal/aml)



Kolom Komentar

Share this article