Berita Kampus

Diskusi KIKA: Represi Kebebasan Akademik Jadi Fokus Global yang Harus Diatasi

Forum diskusi kebebasan akademisi oleh KIKA

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

SKETSA  Membawa angin segar, Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) kembali hadir dengan forum diskusi mengenai kebebasan berekspresi akademisi yang saat ini kerap dibungkam. Melalui kanal YouTube KIKA, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Nalar TV, Elvira Rumkabu selaku moderator dari KIKA Papua membuka forum diskusi tersebut pada Rabu (17/5) dengan tajuk ‘Kebebasan Akademik dilaporkan ke PBB: Ada Apa?’

KIKA dan Scholar at Risk (SAR) menilai dari banyaknya kasus pembungkaman ruang penyampaian pendapat yang dialami akademisi serta mahasiswa kini menjadi kondisi yang sangat memprihatinkan. Pasalnya, Indonesia sebagai negara yang demokratis, justru tak jarang memberikan tindakan represi ketika akademisi atau mahasiswa aktif, secara vokal mengkritisi pemerintah. Mirisnya kritikan tersebut acap kali justru dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal dari Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Berangkat dari keresahan inilah KIKA dan SAR mengambil sebuah langkah progresif yaitu dengan mengeluarkan pengajuan terkait kebebasan akademik sejak Maret tahun 2017 ke dalam mekanisme Universal Periodic Review (UPR) di PBB.

Dengan menghadirkan empat narasumber dalam forum diskusi di antaranya Daniel Munier senior Advocacy Officer di SAR, Muhammad Isnur selaku ketua YLBHI, serta Basuki Wasis dan Dhia Al Uyun sebagai perwakilan KIKA. Agenda tersebut membahas secara mendalam terkait tujuan, mekanisme, sampai dengan tantangan dan peluang dalam pemanfaatan UPR yang berfokus pada isu kebebasan akademis.

Daniel Munier menyampaikan tindakan represi terhadap kebebasan akademik tak hanya terjadi di Indonesia namun terjadi pula berbagai negara sehingga menjadi global concern di berbagai komunitas akademik. Dimana tak hanya aktor negara yang melakukan represi tersebut, tetapi juga melalui institusi formal seperti Universitas. Oleh karenanya menjadi hal penting bahwa hal tersebut memerlukan adanya solidaritas yang didorong secara global melalui UPR.

Kemudian Dhia dalam agenda diskusi menyebut, contoh kasus plagiasi yang menyeret beberapa petinggi namun analisis dari tim ahli tidak digunakan sebagai dasar menentukan kebijakan kementerian dalam menyelesaikan kasus-kasus yang ada secara lebih optimal. Selain itu dalam kesempatannya Dhia tak lupa menyoroti kasus-kasus pelecehan seksual di lingkup kampus.

Sebut saja yang baru-baru ini terjadi pada LPM Lintas di IAIN Ambon. Kasus pembungkaman tersebut berujung pada pembekuan LPM Lintas oleh pihak universitas. Pihak universitas beralasan, majalah yang diterbitkan LPM Lintas mencemarkan nama baik kampus. 

“Padahal mereka mereportase sesuai dengan fungsi mereka sebagai pers mahasiswa dan mereka mendapatkan data melalui proses testimoni-testimoni,” ujar Dhia Rabu (17/5).

Terakhir, Basuki Wasis turut menyampaikan gagasannya. Menurutnya, kebebasan akademik sangat penting untuk mengurangi praktik feodalisme dan juga otoriter yang akan berdampak pada sistem ekologis dan kemanusiaan. (rvn/nkh)



Kolom Komentar

Share this article