Berita Kampus

Bayar Bandwidth Hingga Rp2,9 M, Akses Internet Lancar?

Bohari Yusuf, Wakil Rektor IV bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat. (Foto: Darul Asmawan)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Entah mayoritas civitas academica menyadari atau tidak, Unmul sejak tahun 2014 lalu–saat rektor Unmul masih Zamruddin Hasid–telah memakai sistem data transfer atau bandwidth untuk memperlancar akses internet. Anggaran untuk membayar sistem itu pun sekilas terdengar fantastis, Rp2,3 miliar.

Dengan itu, koneksi internet di Unmul harusnya bisa lancar dinikmati. Tapi meski bandwidth sudah ada, kelancaran akses khususnya di area hotspot internet gratis yang bisa diakses dengan NIM dan password portal masih lamban. Kenapa begitu?

Bohari Yusuf, Wakil Rektor IV bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat menyebut, lambannya akses internet terjadi karena instalasi di banyak unit-unit seperti beberapa UPT dan fakultas tidak disesuaikan untuk menunjang fasilitas bandwidth yang telah tersedia.

“Belikan akses poin sekitar Rp6 juta untuk yang bagus. Contoh di FMIPA (akses internet lancar karena)  dibelikan kabel FO (fiber optik),” ujarnya saat ditemui Sketsa Senin (5/2) lalu.

Bohari kemudian beristilah, akses internet menggunakan bandwidth ini laksana ‘jalan tol’ yang bisa dilewati kendaraan–analogi akses internet. Tujuannya agar koneksi internet bisa lebih lancar dan ujungnya akan menunjang kecepatan akses. Ia pun kembali berujar dengan analogi, jika semua telah memakai ‘Ferarri’ maka jangan ada lagi yang memakai ‘becak’ di jalan tol.

Untuk itulah, pihaknya mendorong semua UPT dan fakultas di Unmul untuk menyesuaikan instalasi penunjang koneksi internet yang pas agar fasilitas bandwidth yang telah dibayar mahal-mahal tersebut bisa dinikmati oleh semua kalangan.

“Kita sudah menyediakan jalan tol (bandwidth), tinggal unit-unit mau lewat jalan tol atau tidak?” tambahnya.

Upaya (dan Wacana) Tambah Kapasitas Bandwidth

Tahun 2018 ini, Unmul bersiap untuk membayar bandwidth dengan nominal biaya yang lebih besar lagi, Rp2,9 miliar. Hal itu terjadi karena jumlah permintaan penambahan kapasitas yang diajukan Unmul terus meningkat.

Sebelumnya pada tahun 2014, Unmul membayar Rp2,3 miliar untuk bandwidth dengan ukuran 123 megabyte. Lalu saat Masjaya resmi menjabat posisi rektor, dilakukan proses tawar-menawar yang akhirnya disepakati dan Unmul mendapat 400 megabyte, tapi tetap membayar dengan nominal yang sama: Rp2,3 miliar.

Kemudian saat persiapan Unmul menuju akreditas A tahun 2017, kapasitas bandwidth kembali ditambah menjadi 1 gigabyte. Dari kapasitas itulah muncul nominal Rp2,9 miliar harus dibayar Unmul ke Telkom.

“Tahun ini rencana akan ada penambahan kapasitas bandwidth lagi menjadi 1,3 gigabyte,” ungkit Bohari mencanangkan target di tahun 2018.

Bandwidth Rp2,9 Miliar Itu Murah? 

Fasilitas bandwidth dengan ukuran 1 gigabyte jadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi suatu universitas di Indonesia jika ingin masuk kategori ‘universitas besar’. Untuk membayarnya, anggaran senilai Rp2,9 miliar harus disiapkan Unmul untuk menunaikan prasyarat tersebut. Nilai itu besar atau justru kecil?

Jika Unmul dibandingkan dengan Universitas Negeri Malang (UM) misalnya, maka perbedaannya akan mulai terlihat. UM yang jumlah mahasiswanya kurang-lebih sama dengan Unmul, membayar Rp6 miliar untuk menerapkan bandwidth untuk kapasitas 2,6 gigabyte.

Jika dibanding lagi dengan Universitas Brawijaya (UB), nominal anggaran untuk membayar bandwidth saja di kampus tersebut bahkan mencapai Rp10 miliar. Kasarnya, nominal tersebut tiga kali lipat lebih banyak dan mahal dari nominal terbesar yang pernah dibayar oleh Unmul untuk fasilitas bandwidth.

“Kita itu paling murah dan uang kita hanya segitu (Rp2,9 miliar). Pembayarannya pakai APBN, bukan penggunaan uang UKT,” seloroh Bohari. (cin/mla/dan/ajy/fir/sut/adl)

 



Kolom Komentar

Share this article