Teknologi

Wacana E-Sport Masuk Kurikulum Nasional

Menilik wacana e-sport masuk kurikulum nasional sekolah menengah.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pexels

SKETSA - Wacana terkait electronic sport (e-sport) yang akan dimasukkan ke dalam kurikulum nasional sekolah menengah, santer terdengar belakangan ini. E-sport dicanangkan akan masuk dalam kurikulum sekolah, pada tingkat SMP dan SMA atau sederajat. Saat ini, e-sport sejatinya memang cukup digandrungi oleh banyak kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Berdasarkan fakta di lapangan ini, e-sport dinilai memiliki peluang menjanjikan.

Dikutip dari laman hai.grid.id, ternyata ada beberapa negara lain yang juga telah menerapkan kurikulum e-sport. Pertama, Garnes Vidaregaande Skule, sebuah SMA di Norwegia. Murid-murid di sekolah ini diwajibkan untuk belajar selama 5 jam dalam setiap minggu.

Kedua, negara Amerika Serikat. Columbia College sebagai salah satu perguruan tinggi cukup berani mengubah ruang ganti para pemain sepak bolanya menjadi ruangan penuh komputer dan penunjang gaming lainnya.

Ketiga, University of California yang juga berada di Amerika Serikat. Universitas tersebut mendapat donasi dari pengembang gim Fortnite, Riot Game. Salah satu bentuk dukungannya yakni membuat semacam warung internet alias warnet yang dilengkapi dengan PC tercanggih.

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan bahwa materi e-sport bersifat opsional. Jika ada sekolah yang merasa butuh materi pelajaran tersebut, maka diperbolehkan.

“E-sports tidak masuk kurikulum nasional. Sekolah boleh saja memasukkan konten tersebut jika dipandang relevan untuk kebutuhan dan konteksnya,” ujar Anindito, Senin (30/12) pada CNN Indonesia.

Terkait hal ini, awak Sketsa menghubungi salah satu dosen FKIP, prodi Bimbingan Konseling (BK) pada Senin (6/12). Menurut Rury Muslifar, penerapan kurikulum e-sport di sekolah menengah dapat menjadi dilema, akibat sudut pandang yang berbeda-beda. Namun hal ini dapat pula menjadi pertimbangan dalam membangun karakter untuk memiliki jiwa sportivitas. 

Meskipun memiliki peluang menjanjikan di masa mendatang, e-sport masih menjadi stigma bagi sebagian orang tua. “Sebaiknya, sebelum kurikulum ini dilaksanakan harus ada sosialisasi dan edukasi pada siswa dan orang tua. Agar tidak (ada) salah paham dalam proses pembelajarannya,” ungkap Rury, Senin (6/12) lewat pesan Whatsapp.

Rury menambahkan, munculnya wacana kurikulum e-sport ini juga dirasa tidak akan mencapai tingkat perguruan tinggi. Hal ini lantaran perguruan tinggi lebih berfokus pada kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). 

“Saya rasa tidak ya, karena saat ini kurikulum di perguruan tinggi sedang gencar melaksanakan kurikulum MBKM,” tutupnya.(kus/fsf/rea/nkh).



Kolom Komentar

Share this article