Sosok

‘Pelita’ Bagi Penyintas Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terhadap perempuan seakan tak ada habisnya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Syalma

Perhatian: Kisah dalam tulisan ini bisa memicu trauma bagi korban pelecehan seksual. Kebijakan pembaca diharapkan. 

Kekerasan seksual terhadap perempuan seakan tak ada habisnya. Saat kasus kekerasan seksual dilaporkan artinya menjadi tertangani. Namun jika banyak menerima laporan, tandanya kasus kekerasan membludak. Syalma Namira, jurnalis mahasiswa dari LPM Sketsa Unmul, mereportase tiap cerita, berjibakunya sebuah lembaga bak ‘Pelita’ di tengah suramnya penanganan kasus pelecehan seksual di Kalimantan Timur.

SKETSA - Sekelompok orang tampak menyeruput minuman pesanan pada suatu gerai kopi pada kawasan Gatot Subroto di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, petang itu, medio tengah Maret 2021 lalu.

Mereka kompak berseragam putih dilengkapi dengan logo pada lengan kiri yang bertuliskan Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia.

Seorang perempuan menyambut saya dengan hangat. Ia adalah Rina Zainun yang merupakan Ketua Tim Reaksi Percepatan Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Provinsi Kalimantan Timur.

Kendati tersenyum lepas saat bersenda gurau, rupanya Rina menyimpan luka yang ia pendam. Tak satupun anggota keluarganya mengetahui rahasia ibu tunggal tersebut. Ia mengalami kekerasan seksual saat ia berumur 7 tahun oleh keluarga terdekatnya sendiri.

“Ini ada bekas luka di bibir bawah dan pelipis kiri bagian atas. Karena pecahan kaca aku kabur. Luka fisik bisa hilang, tapi sampai usiaku 44 tahun, kejadian tersebut masih teringat,” ujarnya sembari menunjuk bekas luka di wajahnya.

Rina merangkul perempuan yang sedang bersamanya. Dia adalah Nana, anggota lain yang berperan sebagai Humas TRC PPA Kaltim.

Serupa dengan Rina, Nana juga penyintas kekerasan seksual. Sambil sesekali matanya menerawang, masih lekat dalam memorinya saat Nana berusia 14 tahun.

Kala itu, Nana remaja sedang berjalan di sekitar kawasan Bukit Biru, Kabupaten Kutai Kartanegara. Ini adalah rute biasa yang ia tempuh saat hendak pulang ke rumah.

Namun, saat berjalan malam itu, tiba-tiba dua orang pria tak ia kenali menarik dan melecehkannya.

“Aku sempat terjun ke pergaulan bebas karena itu. Sedih, malu, marah. Enggak ada yang bisa aku ceritakan. Orang tua sibuk. Aku jadinya tumbuh dengan pengalaman ini,” tutur Nana.

Rina dan Nana memilih bergabung dengan TRC PPA Kaltim selama dua tahun terakhir. Memiliki trauma yang sama, keduanya ingin memastikan tidak ada sosok Rina dan Nana lain yang menjadi sasaran predator seksual.

“Tidak mudah menjadi ibu tunggal dan penyintas. Namun, dari situasi tersebut saya ingin menegaskan kekerasan seksual bukanlah hal yang tabu. Perempuan bisa menyuarakan apa yang mereka rasakan dan berhak mendapatkan pertolongan,” ucap Rina.

Rina dan Nana juga harus menghadapi stigma akibat perpisahan rumah tangga keduanya. Menurut mereka, status janda kerap kali dipandang miring oleh masyarakat.

“Tidak mudah menjalani kehidupan pascacerai. Terutama kalau punya anak. Masalah finansial menjadi faktor yang paling terasa dampaknya,” jelas Nana.

Berbekal cerita pilu itu, Saya pun menemui Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (YLBH APIK) Kaltim.

Kamaswati, Ketua YLBH APIK Kaltim, mengatakan, sepanjang tahun ia menerima setidaknya 200 laporan kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan.

YLBH APIK Kaltim mendapatkan laporan 30 kasus setiap tahun. Angka ini belum termasuk korban yang enggan melapor karena berbagai pertimbangan dan kondisi termasuk stigma yang akan disematkan oleh keluarga dan masyarakat.

“Banyak dari mereka yang akhirnya mencabut laporan akibat memperhitungkan kehidupan setelah menikah bila menjadi orang tua tunggal. Besar faktor pada keuangan. Perasaan malu dan takut disalahkan masih menghantui sebagian besar dari pelapor, Padahal trauma yang mereka alami dapat lebih berat bila harus bertemu dengan pelaku yang tinggal satu atap dengan mereka,” sambung Kasmawati.

Bak buah simalakama, Ia mengaku tak pernah berharap ada perempuan yang datang sebagai korban ke kantor LBH APIK. Trauma para korban acap kali membuatnya merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu mereka.

Itulah ihwal LBH APIK memberikan pelatihan bagi korban kekerasan seksual agar memiliki keterampilan dan mampu bertahan hidup. Selain itu terapi psikis turut perlu dijalankan beriringan dengan pelatihan keterampilan.

Menurut data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kaltim (UPTD PPA), terdapat 216 kasus kekerasan seksual per 2020. Sementara pada 2019 terdapat 200 kasus. Kasus kian melonjak kala Pandemi Covid-19 menghadang.

Ternyata, pendidikan seks jadi pemicu. Setidaknya ini yang disampaikan Fachmi Rozano, Plh UPTD PPA Kaltim. Faktor kurangnya edukasi seksual pada masyarakat menjadi bibit dari maraknya kekerasan seksual di Kalimantan Timur.

“Terdapat faktor yang beragam, Namun, maraknya kasus seksual di tengah masyarakat yang melibatkan rekan terdekat menujukkan indikasi masyarakat masih belum dan sadar akan empatinya dengan kasus tersebut,” ucap Fachmi.

Kehadiran TRC PPA Kaltim menjadi benang merah di antara institusi dengan masyarakat sebagai lembaga yang tanggap dengan penangangan kasus kekerasan seksual.

 “Mereka itu sekelompok orang kerjanya cepat dan tanggap. Namun, kami berharap setiap laporan bisa dikoordinasikan juga dengan kita (UPTD PPA), Kita luruskan benang yang masih bengkok,” ungkap Fachmi.

Pelita Bagi Penyintas dan Orang Tua Korban

Di tengah perbincangan kami, Rina mengangkat dering telpon yang berbunyi. Nampak ekspresi serius terlukis jelas dari wajah perempuan tersebut.

“Ada kasus lagi di Samarinda ini,” ucap Rina sembari menatap layar ponselnya.

Regu TRC PPA yang berada di dekat Rina bergegas berdiskusi bersama. Sementara mereka berkumpul, seorang perempuan bersama anaknya turut menyaksikan dari kejauhan.

Dia adalah Fitri, bukan nama sebenarnya. Satu di antara orang tua korban yang kasusnya ditangani oleh TRC PPA Kaltim.

Pascakasus anak gadisnya yang mendapatkan kekerasan seksual oleh mantan suaminya sendiri, Fitri menjalin komunikasi dengan TRC PPA selama masa pendampingan sang buah hati. Ini juga yang membuat Fitri menjadi lebih dekat dengan TRC PPA.

“Mereka ada buat aku dan anak sampai keputusan pengadilan. Aku sempat bolak-balik ke kepolisian sebelumnya, tapi selalu ditolak,” kata Fitri sembari menyeka air mata.

Senada dengan Fitri, Kadir, bukan nama yang sebenarnya, adalah orang tua dari seorang anak laki-laki yang ditemukan meninggal dunia. Hingga saat ini kasus anaknya tersebut masih berlanjut.

Alhamdulillah, semua dari awal dibantu TRC. Lama-lama kasus semakin ada titik terang. Kita tunggu saja. Saya bersyukur dengan TRC PPA,” ucap Kadir.

Fitri dan Kadir adalah dua orang tua korban dari puluhan lainnya yang ditangani kasusnya oleh TRC PPA Kaltim.

“Cukup kami aja. Jangan ada korban lain,” tegas Nana.

***

Liputan ini menjadi bagian dari program Pelatihan dan Hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang didukung oleh USAID MEDIA, Internews dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).



Kolom Komentar

Share this article