Mendobrak Antroposentrisme dalam Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang
Resensi buku bacaan ringan yang angkat isu lingkungan
- 14 Jul 2022
- Komentar
- 1570 Kali
Sumber Gambar: Perempuan Membaca
SKETSA - “Kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka seperti ingin mengubah lautan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa.”
Sejalan dengan potongan dialog yang dilontarkan oleh Banyubiru —seekor kucing pelaut dalam buku Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang—, rasanya heran melihat tingkah manusia yang seolah-olah mempunyai hobi mengotori lautan.
Tentu, tidak semuanya seperti itu. Manusia yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah mereka yang menganggap lautan sebagai tempat sampah terluas yang ada di dunia. Meski di sisi lain mereka paham itu berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Inilah yang ingin ditunjukkan oleh Luis Sepúlveda, penulis sekaligus penggiat kampanye lingkungan hidup melalui buku setebal 90 halaman tersebut. Jika karya lainnya yang berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta bercerita tentang eksploitasi hutan secara membabi buta, maka Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang berkisah tentang pencemaran yang terjadi di lautan.
Menghadirkan tokoh-tokoh yang terdiri dari binatang, cerita dimulai dengan seekor burung camar bernama Kengah yang terpisah dari rombongannya akibat keracunan minyak di lautan. Tragedi itu terjadi ketika dirinya tengah mencelupkan kepala ke dalam air untuk mencari ikan.
Kengah yang sedang terombang-ambing di lautan berusaha merentangkan sayap agar bisa terbang walaupun tumpahan minyak telah melapisi bulu-bulunya. Dengan pandangan buram sebab matanya tertutup oleh gumpalan berlendir, Kengah menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk kembali mengudara. Ia harus mencari tempat yang aman agar bisa menetaskan telurnya.
Penerbangan terakhir Kengah membawanya bertemu dengan Zorbas, seekor kucing yang berbadan gemuk besar. Sayap-sayapnya sudah tidak mampu lagi untuk mengepak, sehingga ia jatuh ke balkon rumah kucing berbulu hitam itu dan memutuskan untuk bertelur di sana.
Siapa sangka, Zorbas yang beberapa menit lalu sedang berjemur telentang menikmati sinar matahari di balkon, tiba-tiba diminta untuk berjanji oleh burung camar yang sekarat agar merawat telurnya hingga menetas, bahkan sampai mengajarinya terbang?
Walau terdengar tak masuk akal, Zorbas terlanjur berjanji. Sebagai kucing pelabuhan, ia pantang mengingkari janji yang telah dibuatnya. Maka untuk menuntaskan janji-janji yang sulit ditepati itu, Zorbas meminta bantuan kepada kucing-kucing lain. Ada Kolonel si kucing tua, Secretario yang cerdik, Profesor yang gemar membaca ensiklopedia, serta Banyubiru si pemberani.
Buku ini memang tergolong bacaan yang ringan, terlebih dibumbui oleh tingkah jenaka para kucing ketika sedang mencari cara untuk merawat anak camar tersebut. Namun, Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang dapat menjadi bahan renungan atas tindakan manusia yang kerap mengabaikan kebersihan lingkungan.
Lantas, akankah Zorbas dan kawan-kawan berhasil mengajari anak camar agar dapat mengembangkan sayapnya dan meninggi di udara? Yuk, baca bukunya dan temukan jawabannya! (ems/khn)