Resensi

Kembang Api: Kesempatan Kedua untuk Para Pengakhir Diri

Film komedi berbalut pesan mendalam

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: IMDb

SKETSA — Di antara gempuran film bergenre horor yang mengisi bioskop Tanah Air, Kembang Api muncul sebagai film non-horor yang dinantikan banyak orang. Kehadirannya bak oase bagi pecinta film Indonesia yang mulai jenuh dengan suguhan kisah horor yang mencekam.

Kembang Api yang rilis pada Kamis (2/3) lalu adalah film komedi tragedi yang diproduksi oleh Falcon Pictures dan disutradarai Herwin Novianto. Film ini merupakan adaptasi dari film Jepang dengan judul 3ft Ball and Soul (2017) hasil sutradara Yoshio Kato. Kedua film ini mengangkat isu yang sama, yakni bunuh diri dan batasan yang dimiliki manusia.

Tema time loop dalam film ini mengangkat kisah empat orang yang tergabung dalam sebuah grup untuk melakukan sebuah perjanjian bunuh diri bersama. Meledakkan sebuah kembang api berskala besar di sebuah gubuk tengah hutan antah berantah menjadi rencana yang mereka sepakati. 

Keempat tokoh datang dari usia dan latar belakang yang berbeda dan menyimpan masalah masing-masing. Fahmi (Donny Damara), mantan pengrajin kembang api yang dipecat usai gagal mengerjakan tugasnya dengan membawa hutang yang sangat besar. Raga (Ringgo Agus Rahman), dokter muda yang tak bisa mengabdi lagi setelah gagal menyelamatkan hidup pasiennya. Sukma (Marsha Timothy), seorang ibu yang kehilangan anak semata wayangnya dalam kecelakaan maut. Anggun (Hanggini), siswa SMA energik penuh senyum yang menyimpan luka begitu dalam akibat bullying yang diterimanya di sekolah.

Namun, sebuah keanehan terjadi. Tepat setelah kembang api diledakkan, mereka tidak mendapati nyawa mereka melayang melainkan kembali ke titik sebelum ledakan terjadi. Mereka lalu mulai bekerja sama untuk mencari tahu alasan kenapa mereka terjebak dalam perputaran waktu. Pada titik ini, mereka akhirnya menyadari time loop yang terjadi sebagai kesempatan mereka untuk mulai berkaca kembali atas keputusan mengakhiri hidup mereka.

Urip Iku Urup: Hidup itu Harus Menyala

Hal yang menjadi sorotan dalam film ini adalah tulisan yang terpampang di bola kembang api yang menjadi media bunuh diri. Urip iku urup.

Pesan itu diukir di atas mahakarya buatan Fahmi. Anggapannya adalah hidup itu harus menyala, maka hidup harus diakhiri dengan menyala-nyala pula. Begitu kontras dengan karakter-karakter yang keinginan untuk hidupnya sudah redup dengan tone film yang begitu suram. Apalagi ketika tahu jika maksud sesungguhnya dari pesan itu adalah untuk tetap menjalani hidup.

Berbeda dengan Rangga dan Sukma yang sedari awal terlihat jelas aura keputusasaannya, Fahmi tidak menganggap aksi bunuh dirinya sebagai sesuatu yang menyedihkan. Ia malah melakukannya seakan merayakan sesuatu, ditambah metode yang digunakan adalah meledakkan diri dengan sesuatu yang selalu dikaitkan dengan perayaan yang megah.

Isu kesehatan mental yang kerap menghampiri

Ketika mengangkat soal bunuh diri, pembahasan terkait kesehatan mental kerap beriringan. Hal inilah yang sesungguhnya ingin film ini sampaikan. Di balik alasan seseorang yang berkeinginan untuk bunuh diri, selalu ada masalah yang begitu menekan hingga tak ada jalan lain selain pergi dari dunia untuk selamanya.

Keempat tokoh film ini memiliki alasannnya masing-masing. Fahmi yang terlilit utang, Rangga yang sudah kehilangan arahnya sebagai seorang dokter, lalu Sukma yang terjebak rasa bersalah dan duka yang mendalam setelah kehilangan anaknya, ada pula Anggun yang memilih mengakhiri hidupnya agar para perundungnya menyesal.

Namun, di dunia nyata masih banyak orang yang menyepelekan masalah dan batasan orang lain dengan menyebut diri mereka sebagai yang paling menderita. Masih banyak orang yang membanding-bandingkan masalah tanpa mengingat kapasitas orang lain dalam menerima tekanan itu berbeda. Hal ini pun digambarkan dengan baik dalam film ini melalui karakter Fahmi sebagai orang tua yang suka ikut campur masalah orang lain.

Fahmi selalu mengomentari setiap masalah yang menjadi latar belakang tokoh lain untuk bunuh diri kemudian membandingkan dengan masalah miliknya. Seperti ketika Rangga menceritakan dirinya yang menyerah dengan pekerjaan dokternya, Fahmi membandingkan Rangga dengan putrinya dan menyebut Rangga bermental lemah. 

Bagi sebagian penonton, adegan ini sangat mungkin akan menimbulkan perasaan kesal. Terlebih, bagi mereka yang telah mengalami perlakuan tersebut di dunia nyata. 

Time loop sebagai kesempatan kedua

Time loop yang mereka rasakan akhirnya perlahan membawa mereka untuk berkaca akan keputusan mereka. Ketika sebelumnya mereka berpikir bunuh diri adalah satu-satunya jalan, akhirnya mereka mulai menyadari pilihan mereka sebenarnya salah. 

Setelah mengulang waktu secara terus-menerus, Fahmi, Rangga, dan Sukma mulai sadar bahwa mereka masih bisa bangkit dari keterpurukan mereka. Time loop yang mereka rasakan adalah sebuah kesempatan untuk memulai hidup baru yang lebih baik.

Hal ini terjadi setelah ketiganya menyerah untuk meyakinkan Anggun untuk mundur karena kehadirannya yang menjadi penyebab kelompok itu terjebak dalam waktu yang terus berulang. Lalu bagaimana dengan Anggun? Remaja itu akhirnya mengikuti keputusan lainnya yang tidak jadi bunuh diri karena Anggun sebenarnya takut mati. Keberaniannya datang karena aksinya dilakukan beramai-ramai. Hingga ia menyadari kalau ia akan ditinggal dan menghadapi ketakutan terbesarnya sendirian, Anggun akhirnya mundur.

Film ini berhasil membawakan isu yang cukup sensitif dengan bungkusan yang sederhana, tetapi memiliki makna yang begitu dalam. Penggunaan latar yang hanya terbatas di gudang tempat mereka berkumpul membuat penonton bisa lebih fokus dalam memahami setiap karakternya.

Hanya saja, porsi dari cerita Anggun terasa begitu singkat padahal sosoknya sebagai karakter kunci. Seperti dikejar durasi, penyelesaian di akhir film juga terkesan buru-buru. Terlepas dari kekurangan tersebut, film ini tetap berhasil dalam membawakan tema yang cukup berani mengenai bunuh diri dan mental manusia.

Indonesia akhirnya dapat menciptakan film dengan konsep time loop yang apik. Meskipun adaptasi dari film yang sudah ada, tetapi membuktikan bahwa perfilman Indonesia mampu membuat film dengan konsep unik yang tidak horor melulu.

Pada akhirnya film ini memberikan pesan, bahwa bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan. Pemahaman mendalam tentang masalah yang dihadapi akan membawa kita ke arah bagaimana hidup dijalankan sesuai versi masing-masing. Bahkan jika hidup demi alasan yang kecil, hal itu sudah membawa kita ke langkah yang lebih baik. Karena di kehidupan nyata, konsep time loop itu tidak ada. (zrt/ems)



Kolom Komentar

Share this article