Resensi

John Wick: Chapter 4, Penutup Jalan Panjang Perjalanan Sang Legenda Baba Yaga

Film keempat seri John Wick

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @johnwickmovie

SKETSA – Tak terasa, dua pekan sudah berlalu semenjak penayangan perdana John Wick: Chapter 4 di sinema tanah air.  Film arahan Chad Stahelski ini resmi dirilis di Indonesia pada Rabu (22/3) lalu. Hingga kini, seri keempat dari waralaba tersebut masih eksis menjadi salah satu film favorit pilihan pengunjung di bioskop Samarinda. 

Meskipun telah merilis sebanyak empat jilid hingga nyaris memakan waktu selama satu dekade lamanya, hal tersebut tak lantas membuat penggemar dari waralaba ini angkat kaki. Saya pun jadi satu di antara mereka yang rela menunggu lama karena sempat mengalami penundaan perilisan selama setahun. Lantas, apa yang menyebabkan seri John Wick selalu dinanti?

Dunia John Wick dengan Segala Aturan dan Konsekuensi yang Membelenggu

Sebelum mengupas lebih dalam, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan tokoh utama dari film ini. Ia adalah Jonathan Wick (diperankan oleh Keanu Reeves). Ia juga dikenal dengan nama aliasnya seperti Jardani Jovonovich dan Baba Yaga atau The Boogeyman.

Seperti apa awal mula dari perjalanan panjang Baba Yaga? Cukup sederhana. Namun, sebelumnya mari saya bocorkan premis dari seri keempat waralaba ini. John Wick: Chapter 4 adalah buntut dari permasalahan panjang yang terjadi di seri kedua. Secara garis besar, film ini bercerita tentang sang protagonis yang berupaya untuk menjatuhkan tirani The High Table. 

Siapa itu The High Table? Mereka adalah organisasi kriminal pembunuh bayaran kelas dunia. Bukan organisasi sembarangan, The High Table memiliki struktur yang rapi dengan aturan yang mengikat seluruh anggotanya. Sebagai organisasi kriminal raksasa, seluruh akses dapat dengan mudah mereka dapatkan. Seluruh kasus pembunuhan yang terjadi tentunya bukan jadi urusan pihak kepolisian atau militer, melainkan urusan dari The High Table itu sendiri.

Persoalan yang dihadapi oleh John Wick ini pun cukup rumit seiring berjalannya waktu, tetapi, apa sebenarnya akar dari permasalahan tersebut? Mari kita mundur sejenak. Di seri pertama, diceritakan bahwa John Wick semula adalah seorang duda yang tengah menjalani sisa hidupnya sebagai pensiunan pembunuh. Pemicu kembalinya si legenda untuk beraksi adalah karena seekor anjing.

Jika melihat motif dari kembalinya sang pemeran utama untuk melakukan balas dendam, mungkin sebagian orang berpikir bahwa alasan tersebut cukup konyol. Ya, hanya karena anjingnya yang dibunuh, John Wick akhirnya memutuskan kembali menjadi bandit untuk melancarkan aksi balas dendamnya.

Namun, rasanya alasan seperti yang telah disebutkan di atas masih cukup masuk akal. Terlebih, anjing tersebut memiliki hubungan erat dengan mendiang istrinya. Meskipun saya sendiri berpikir jika aksi balas dendamnya cukup berlebihan. Akan tetapi, hal tersebut bukan jadi masalah serius yang merusak keseluruhan cerita.

Permasalahan soal anjing ini pun kemudian bermuara kepada persoalan baru. Memang, serumit apa polemik yang ia alami? Silakan tonton sendiri seri pertama hingga ketiga John Wick melalui platform streaming Netflix.

Kembali ke persoalan awal, mengapa film ini sukses meraup jutaan penonton? Jika dilihat, tokoh semacam John Wick ini bukan hal yang baru dalam sinema. Oleh karena itu, Chad Stahelski meracik John Wick menjadi sebuah film yang tak hanya mengandalkan aksi laganya yang menegangkan.

Dunia John Wick dibangun dengan kompleks dan intens. Bukan sekadar tembak menembak dan bunuh membunuh. Meskipun The High Table adalah organisasi kriminal, bukan berarti mereka boleh sembarangan dalam bertindak. Ada aturan yang harus ditaati dan dibarengi pula dengan konsekuensi apabila dilanggar, sehingga para pelaku tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Namun, aturan dibuat untuk dilanggar bukan? Ya, istilah konyol itu— yang ironisnya kerap kali diterapkan di dunia nyata, sesungguhnya juga terjadi di film ini. Aturan tersebut seakan tak menjadi dinding bagi mereka yang licik dan manipulatif.

Karakter dengan Kompas Moralnya Masing-masing

Semakin bergulirnya waralaba ini, Chad Stahelski memperkenalkan para antagonis dengan sifat dan karakternya yang beragam, misalnya jajaran petinggi The High Table. Meskipun tak setangguh John Wick jika dilihat secara fisik, dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka sanggup membuat sang pemeran utama ketar-ketir. Seolah tak pernah mati kutu dengan seluruh akal bulusnya agar kekuasaannya tak tergeser, atau bahkan untuk mendapat jabatan yang lebih tinggi.

Nyaris seluruh karakter yang diperkenalkan dalam waralaba ini memiliki sifat bengis. Semua berjalan dalam perspektif dan kompas moralnya masing-masing karena memiliki kepentingan yang berbeda.

Ada yang berkhianat, tetapi ada yang tetap setia. Tak selamanya tokoh dalam film ini selalu punya niat buruk. Berbekal dengan titel “kawan lama”, Chad membalut John Wick: Chapter 4 dengan momen yang memperlihatkan kesetiaan antara seorang kawan lama sehingga membuatnya semakin dramatis.

Selain itu, sikap profesionalisme John Wick yang hormat pada aturan juga menjadi poin tambah. Ia pun mampu menaklukkan tirani dari organisasi kriminal kelas kakap itu dengan elegan. Kompleksitas dari dunia John Wick serta bumbu drama yang diselipkan itulah yang menjadikan waralaba ini semakin seru untuk diikuti.

Sinematografi dan Camera Movement yang Memanjakan Mata

Terdapat banyak sekali detail dalam film ini. Jika penonton cukup jeli, ada beberapa adegan yang memperlihatkan ketika John Wick harus mengisi ulang amunisinya selama aksi tembak-tembakan berlangsung. Saya pikir, adegan seperti ini agaknya jarang diperlihatkan dalam film laga lainnya, seolah sang protagonis memiliki peluru yang tak terbatas.

Selanjutnya, mari kita membahas soal teknis dari John Wick: Chapter 4. Salah satu adegan yang memukau dan berkesan secara pribadi adalah ketika kamera menyorot aksi tembak-tembakan antara sang tokoh utama dengan para lawannya dari atas sembari mengikuti John Wick menyusuri setiap ruangan di gedung tersebut. 

Dengan pergerakan kamera yang dinamis serta pemilihan pengambilan sudut gambar yang pas, momen pertarungan dalam John Wick: Chapter 4 seolah disuguhkan sebagai pertunjukan seni bela diri yang menakjubkan. Penonton pun tak akan kelelahan dan lebih leluasa untuk menyaksikan adegan perkelahian di setiap menitnya berkat pergerakan kamera yang impresif. Latar tempat dari setiap adegan yang ada pun turut dieksekusi dengan apik sehingga membuat sinematografi dari seri keempat waralaba ini semakin memukau.

Menariknya, jika kita perhatikan, dialog yang disajikan dalam John Wick: Chapter 4 sangat singkat dan padat. Bahkan, John Wick sang tokoh utama pun tergolong irit bicara. Meski begitu, setiap pesan yang ingin disampaikan tetap tersalurkan dengan baik lewat dialog yang super pendek. Dialog sesingkat “Yeah” dan “Oh” yang keluar dari mulut setiap karakter pun sudah cukup untuk mengekspresikan pesan dan perasaan yang mereka alami.

Meskipun nasib dari sang legenda secara gamblang telah digambarkan di akhir cerita, masih banyak spekulasi yang muncul terkait keberlangsungan perjalanan Baba Yaga. Namun, berembus kabar bahwa terdapat seri kelima dari waralaba ini. Lantas, apakah Chapter 4 menjadi akhir dari perjalanan sang legenda, atau justru menjadi awal dari persoalan baru di dunia John Wick?

Bagi penggemar yang telah mengikuti waralaba ini sejak seri pertama, pasti sudah tak asing dengan benda-benda tak lazim yang kerap kali John gunakan untuk melukai bahkan membunuh lawannya, sebut saja pensil hingga buku. Lantas, benda unik apa lagi yang ia gunakan di film kali ini? Untuk mengetahui jawabannya, segera kunjungi bioskop terdekat selagi masih ditayangkan, ya! (dre/ems) 



Kolom Komentar

Share this article