Resensi

Fatima: Kesaksian Seorang Anak Terhadap Perempuan Suci

Resensi Film Fatima.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pinterest

SKETSA - Film yang rilis pada 2020 silam ini mengisahkan tentang tiga anak muda yang menyaksikan mukjizat dan menerima pesan perdamaian yang mampu mengubah dunia. Diadaptasi dari kisah nyata yang terjadi pada 13 Oktober 1917 di Fatima, Portugis. Film bergenre drama-biografi besutan Marco Pontecorvo ini sukses menarik perhatian penonton lantaran film ini dikemas menjadi lebih modern.

Kisah diawali dengan petualangan dari tiga orang anak, yaitu Lucia muda berumur 10 tahun yang diperankan oleh Stephanie Gil, kedua sepupunya bernama Jacinta, dan Francisco, tentang perjumpaan mereka dengan Bunda Maria.

Hal yang menjadi daya tarik, ketika penuturan ketiganya menggemparkan penduduk desa, termasuk pihak gereja katolik dan pemerintah setempat yang diwakili oleh sosok wali kota. 

Sialnya, kala itu Lucia dan kedua sepupunya harus berhadapan dengan ketidakpercayaan masyarakat desa. Bahkan, saat itu juga orang tua mereka yang sangat mencintai mereka menolak atas kesaksian mereka berjumpa dengan Bunda Maria.

Sosok Lucia sendiri memiliki nama lengkap Lúcia de Jesus dos Santos, yang juga dikenal sebagai Lúcia dari Fátima. Kini dirinya dikenang sebagai salah satu pemuka agama katolik dengan nama religiusnya Suster Maria Lúcia dari Yesus dan Hati Tak Bernoda. Dulunya, ia merupakan seorang biarawati Karmelit Katolik yang berasal dari Portugis.

Dalam film ini, Suster Lucia dewasa diperankan oleh Sônia Braga. Dalam laganya, Suster Lucia melakukan wawancara bersama salah satu penulis buku bernama Profesor Nhicols yang diperankan oleh Harvey Keitel. Ia menceritakan kesaksiannya kepada Nhicols.

Uniknya, Fatima menyisipkan dua sudut pandang film yang mengesankan. Di satu sisi, ketika pengambilan shoot adegan wawancara Nhicolas bersama Suster Lucia, bersamaan dengan itu pula kita disuguhkan cerita Suster Lucia dalam visual berbentuk drama. Konsep ini kemungkinan besar diletakkan sang sutradara, agar seolah-olah penonton dapat langsung merasakan cerita dari suster tersebut.

Beralih ke konflik, cerita memuncak ketika keraguan atas kesaksian tersebut muncul dari sang ibu, wali kota, dan pendeta pada kisah Lucia dan kedua sepupunya. Anehnya, ketika pendeta dan ibunya tidak percaya, justru hal ini berbanding terbalik dengan penduduk desa. Mereka mulai percaya dan mengikuti pesan damai yang dituturkan oleh Lucia.

Makin memasuki pertengahan cerita, kala itu wali kota yang khawatir akan pengaruh pesan damai tersebut mampu membuat pemerintah menutup gereja. Tak lama cerita tersebut tersebar, wali kota memanggil ketiga anak tersebut dan menginterogasi mereka berulang-ulang. Wali kota yang cukup kesal dengan Lucia berupaya membuat Lucia dan kedua sepupunya tertekan dengan dihujani pernyataan bahwa mereka berbohong.

Ibu yang menyaksikan cerita Lucia, menjadi emosional dan tertekan sehingga meminta agar Lucia menghentikan kegilaannya. Lucia membuka pikiran puluhan dan bahkan ratusan umat untuk berziarah ke Fatima demi berdoa bersama. Hal itu dilakukan demi menyaksikan Bunda Maria dan memohon kesembuhan serta keselamatan bagi anak laki-laki mereka yang sedang pergi bertempur di medan perang.

Nasib kurang baik menghampiri penduduk desa, mereka putus asa lantaran Bunda Maria tidak juga menampakkan diri. Penduduk mulai merasa gelisah. Kegelisahan ini membuat keluarga, penduduk desa, gereja dan wali kota gusar lantas menuduh Lucia dan kedua sepupunya membuat cerita yang bersifat omong kosong belaka.

Namun, di akhir cerita Bunda Maria memberikan penampakan terakhirnya. Sosok perempuan suci itu tersenyum dan dengan suaranya yang lembut mengatakan bahwa perang akan segera berakhir, yang terkena wabah akan sembuh jika dia mulai percaya. Ia juga menyarankan orang harus lebih banyak berdoa dan memanjatkan doa rosario kepadanya.

Saat itu, ada puluhan ribu orang yang datang dan menyaksikan Lucia berkomunikasi dengan roh Bunda Maria dan keajaiban pun seketika terjadi. 

Ia menunjukkan jarinya ke arah matahari dan berkata bahwa Tuhan sedang memerhatikan penduduk desa. Lalu, matahari tersebut memancarkan sinar yang sangat terang dan membuat penduduk desa lari ketakutan. Akhirnya, seluruh penduduk desa percaya atas apa yang dikatakan Lucia atas kesaksiannya.

Tokoh utama Lucia lebih banyak menunjukkan perjuangan kerasnya untuk meyakinkan penduduk desa atas kesaksian yang dia alami. Meski tidak memberikan kesan emosional yang berlebih, ketika menontonnya siapa saja akan merasa kagum dan heran dengan alur yang ada. Penokohan karakter yang apik juga membuat film ini seperti nyata.

Film ini banyak mengajarkan arti kesabaran atas apa yang dilalui oleh Lucia muda. Selain itu, kekuatan iman yang kuat juga tergambar jelas bahwa kita harus berpegang teguh atas apa yang kita imani, tanpa harus memikirkan perkataan orang. Film dengan kisah religi ini bisa menjadi salah satu rekomendasi tontonan kamu selama pandemi. (fzn/rst)



Kolom Komentar

Share this article