Resensi

Broker: Dinamika Manusia Lewat Kacamata Kore-eda

Resensi Film Broker

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @dlwlrma

SKETSA - Apa definisi keluarga yang sebenarnya? Mungkin banyak dari kita akan mendefinisikan keluarga dengan istilah yang dikenal pada umumnya: kelompok manusia yang saling memiliki hubungan darah dan terdiri atas ayah, ibu, juga anak. Namun, melalui film Broker, Hirokazu Kore-eda berhasil mengartikan keluarga dengan cara yang berbeda. 

Dengan Broker sebagai karya terbarunya, Kore-eda kembali unjuk gigi di 2022 dalam Cannes Film Festival. Bahkan Broker mendapat standing ovation selama 12 menit lamanya setelah penayangan. Sebagai sutradara, Kore-eda membawa formula yang serupa dalam film terdahulunya, Shoplifters (2018). Premisnya cukup sederhana. Mengangkat cerita bertemakan keluarga.

Broker bernarasi tentang Sang-hyeon (Song Kang-ho), seorang pebisnis laundry yang juga bekerja sebagai relawan di sebuah gereja. Bersama Dong-soo (Gang Dong-won) yang merupakan pekerja paruh waktu di gereja, mereka secara diam-diam menjalankan bisnis gelap sebagai broker (makelar) perdagangan manusia.

Kisahnya dimulai ketika So-young (Lee Ji-eun, atau yang biasa dikenal dengan nama panggungnya, IU) menelantarkan bayinya di dekat baby box yang ada di gereja tempat Sang-hyeon bekerja. Namun, siapa sangka jika ibu muda tersebut ternyata kembali untuk mengambil bayinya, sementara Sang-hyeon dan Dong-soo telah berencana untuk mencari orang tua baru untuk Woo-seung—nama bayi tersebut. 

Meskipun bertemakan keluarga, jangan harap jika Broker adalah film yang memperlihatkan kisah keluarga yang hidup bahagia. Sebaliknya, Broker disajikan dengan atmosfer yang pilu membiru, namun tak begitu dramatis. Sebab, keluarga yang dimaksud Kore-eda adalah keluarga tanpa hubungan darah, bahkan awalnya tak saling mengenal satu sama lain. 

Meskipun begitu, ia tak lupa untuk menyelipkan beberapa adegan yang menghangatkan layaknya film bertemakan keluarga pada biasanya. Kore-eda yang sudah piawai dalam membawakan film bertemakan keluarga membuat Broker tereksekusi dengan apik. Ia ingin mengajak penonton menilik perbuatan kriminal dari sudut pandang yang berbeda. Melihat sisi humanis dari setiap kejahatan yang diperbuat oleh masing-masing karakter. Ketika menonton film ini, penonton seakan dibuat bersimpati dan mewajarkan aksi kriminal dari para tokoh.

Mengusung konsep slow-burn movie, Broker seakan tak ingin terburu-buru. Namun, Kore-eda harus menanggung risiko, mengingat konsep slow-paced movie jadi musuh bagi sebagian orang, terlebih jika tak familier dengan film serupa. Penonton mungkin akan merasa bosan di paruh pertama film.

Tetapi, seiring bergulirnya film, penonton akan mulai memahami alasan dibalik tindakan yang dilakukan oleh setiap tokoh. Mulai dari alasan di balik keputusan So-young untuk menelantarkan anak kandungnya, hingga sang makelar yang tak serta-merta menjual bayi terlantar begitu saja. Bisnis ilegal tersebut rupanya tak hanya berorientasi pada uang belaka. Namun, apapun alasannya, keputusan yang telah diambil untuk melakukan kriminal tentunya punya konsekuensi: mereka harus rela mendapat label negatif seperti pelacur atau penjahat.

Semakin jauh film berjalan, semakin dalam pula problematika yang dialami oleh tokoh yang dapat kita gali. Tak hanya sebatas Sang-hyeon dan Dong-soo yang bekerja sebagai makelar, atau kisah So-young yang menelantarkan anaknya. Ternyata, masih ada kisah kelam yang dialami oleh tokoh tersebut yang diselipkan di dalam Broker. 

Berbagai pertanyaan soal moralitas manusia pun kemudian muncul. Mulai dari pertanyaan yang juga tersemat dalam dialog detektif Su-jin, Mengapa harus dilahirkan jika tidak diinginkan?”, atau “Apa sesungguhnya arti keluarga yang sebenarnya?”, “Apa latar belakang dari orang tua yang menelantarkan darah dagingnya sendiri?”, atau pertanyaan yang dilontarkan So-young kepada detektif Su-jin, Apakah hukuman untuk menggugurkan kandungan akan lebih ringan dibandingkan menelantarkan anak?.

Broker turut menyinggung polemik soal perempuan yang sudah mengakar sejak dahulu. Problematika soal perempuan yang tak punya kuasa atas dirinya ini direpresentasikan oleh sosok So-young dalam Broker. Nasibnya bagai makan buah simalakama. Menggugurkan kandungan ataupun melahirkannya nyatanya tak lantas merubah nasib So-young menjadi lebih baik. 

Ditambah lagi dengan kehadiran dua detektif yang membuntutinya membuat So-young tak punya pilihan lain. Seolah negara juga berusaha ikut campur dalam menentukan pilihannya. Bagaimanapun, ia tetap harus menerima hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku di sana. 

Permasalahan yang dihadapi So-young ini ironisnya memang selalu menitikberatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah, apapun alasannya. Saya sebagai penonton bahkan kebingungan untuk melabeli So-young sebagai pelaku atau korban dalam situasi tersebut.

Tak punya hubungan sedarah, namun saling memiliki latar belakang yang serupa. “Jadi orang yang terbuang”, sebut saja begitu. Pertemuan mereka inilah yang tak sengaja mempersatukan mereka menjadi keluarga tak sedarah. Meskipun sama-sama punya latar belakang sebagai pelaku kriminal, mereka tetap saling menguatkan satu sama lain tanpa menghakimi perbuatan masing-masing.

Broker menyiratkan makna bahwa tindakan yang berlawan dengan hukum tak selamanya buruk. Kore-eda ingin mengajak penonton untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam film ini dengan perspektif yang berbeda. 

Ia percaya bahwa pelaku kriminal mungkin punya alasan dan pilihan yang tak selamanya merujuk pada kejahatan. (Perlu dicatat, saya tak membenarkan tindak kriminal apapun alasannya). Namun, aksi duo detektif yang berperan dalam mengungkapkan kejahatan tak bisa pula diartikan mentah-mentah sebagai aksi heroik. 

Meskipun terdapat beberapa kekurangan seperti jalan cerita yang terlalu lambat, saya rasa tidak berlebihan jika Broker dinobatkan sebagai salah satu film terbaik yang dirilis pada tahun ini. (dre/khn)



Kolom Komentar

Share this article