Press Release

Refleksi Perjuangan Perempuan, Savrinadeya Adakan Diskusi Mirabal Bersaudara

Berangkat dari peringatan Hari Internasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Savrinadeya Support Group mengadakan diskusi kecil.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Foto: Dokumen Pribadi

Pada 17 Desember 1999, Majelis Umum PBB menetapkan 25 November sebagai Hari Internasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tanggal itu sendiri terpilih sebagai penghormatan terhadap Patria Marcedez Mirabal, Minerva Mirabal dan Maria Teresa Mirabal yang dikenal sebagai Mirabal Bersaudara yang dibunuh pada 25 November 1960 atas perlawanannya terhadap diktator Republik Dominika saat itu.

Berpijak dari sana, Savrinadeya Support Group yang merupakan sebuah wadah yang mempunyai fokus salah satunya mengenai kekerasan terhadap perempuan, mengadakan diskusi di kecil di Hanei, sebuah kedai kopi di Jl. Pramuka yang berdekatan dengan Universitas Mulawarman.

Diskusi diisi oleh Anwar Ibrahim Triyoga, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman sebagai pemantik dan Davynalia Pratiwi dari Savrinadeya Support Group selaku moderator.

Anwar kemudian menjabarkan beberapa teori feminisme yang juga menjadi bahan ajarnya di kampus, mulai dari feminisme sosialis, feminisme liberal, feminisme post-modern, dan beberapa pemikiran feminisme lainnya.

Lulusan Filsafat UGM ini juga mencoba meluruskan kesalahan persepsi mengenai ekofeminisme, di mana yang dimaksud dengan ekofeminisme adalah aliran feminis yang berfokus kepada dampak kerusakan alam terhadap perempuan. “Bukan kepercayaan alam sebagai ibu,” ujarnya. 

Esty, salah satu peserta diskusi memberikan tanggapan dengan memberikan komparasi masalah perempuan di Barat dengan masalah perempuan di Indonesia. “Kalau di Barat itu masalah sosial politik, kalau di Indonesia itu masalah budaya dan tradisi,” ucapnya.

Al merupakan peserta diskusi lain, membenarkan pernyataan Esty dengan berkaca kepada Kartini, salah satu perempuan yang memperjuangkan emansipasi Indonesia melawan budaya Jawa yang sangat kental akan patriarki pada saat itu. 

Ia juga mencoba mengaitkan antara Mirabal Bersaudara yang melawan kediktatoran dengan Kartini yang melawan feodalisme Jawa. “Mereka bukan hanya memperjuangkan perempuan,” tegasnya.

Nawal, koordinator Savrinadeya mencoba menelusuri ke belakang bagaimana gelombang feminisme muncul yang baginya merupakan reaksi atas keberadaan kapitalisme dan revolusi industri.

Salah satu kesimpulan dalam forum itu adalah bahwa diskursus feminisme dan kesetaraan gender harus ditelaah lebih jauh dimana akar masalahnya bukan hanya budaya patriarki, namun lebih utama lagi adalah penindasan yang terstruktur dan sistematis. 

Press release ditulis oleh Muhammad Al Fatih, anggota dari Savrinadeya Support Group.



Kolom Komentar

Share this article