Opini

Yang Perlu Dibicarakan selain Childfree

Sisi lain childfree yang perlu dibicarakan

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram @gitasav

“Manusia terlahir merdeka, tetapi kaki tangannya terikat.” – Jean Jacques Rousseau.

Langit sedang terik. Kala itu, kami baru saja mengunjungi makam teman kami. Keringat yang mengucur membuat kami pergi ke supermarket. Kami melepaskan dahaga dengan minuman dingin yang baru saja kami beli. Kemudian, Tsuna—bukan nama sebenarnya, menceritakan masa kecilnya.

Adikku terlahir stunting,” ucapnya.

Stunting menurut World Health Organization (WHO) (2015) adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini ditandai oleh beberapa hal, seperti tinggi badan di bawah rata-rata.

Tsuna berkata adiknya stunting bukan tanpa alasan. Keberadaan perusahaan tambang telah merusak sumber air mereka. Sumber air yang ‘beracun’ membuat ia dan saudara-saudaranya tidak tumbuh sebagaimana mestinya. Begitu pula dengan keluarga-keluarga lain yang tinggal di kampung itu.

***

Ingatan saya mundur lagi ke beberapa tahun lalu. Ketika saya mendapatkan beasiswa untuk, bersekolah di Uni Emirat Arab. Saat itu saya sedang berada di pesawat dari Abu Dhabi menuju Jakarta. Di samping saya, seorang tenaga kerja wanita (TKW) kebingungan memesan makanan. Saya mencoba membantunya, sambil menjelaskan menu yang ada. Dari situ, dimulailah obrolan di antara kami berdua.

Ia menunjukkan foto anaknya. Caranya bercerita mengenai anaknya yang mulai bersekolah membuat saya merasakan bagaimana ia sangat merindukannya.

“Saya pergi kesini supaya dia bisa sekolah,” ucapnya dengan senyum getir.

***

Saya kemudian juga teringat dengan guru-guru perempuan saya dulu. Saya memanggil mereka ustazah. Di antara mereka, ada yang membawa anaknya ke sekolah. Tiap akan memulai kelas, mereka akan menitipkan anaknya yang masih kecil kepada guru lain yang sedang tidak mengajar.

Sekolah saya memang akhirnya berinisiatif. Mereka mempekerjakan seorang perempuan untuk menjaga anak guru-guru yang mengajar. Ustazah saya pun bisa mengajar dengan tenang. Namun, mungkin tidak semua perempuan seberuntung mereka.

***

Begitu pula tidak semua orang seberuntung Gita Savitri. Childfree memang sebuah pilihan yang berhak ia pilih. Kehidupan pribadinya bukan untuk dicampuri siapa pun. Namun, bagaimana dengan mereka yang memilih untuk mempunyai anak?

Bagaimana dengan mereka yang anak-anaknya tumbuh cacat karena keberadaan perusahaan tambang yang tak bisa mereka tolak? Bagaimana dengan mereka yang terimpit keadaan ekonomi hingga harus pergi jauh meninggalkan anaknya untuk mencari nafkah? Bagaimana dengan mereka yang tidak mendapatkan fasilitas tempat penitipan anak di tempat ia bekerja?

***

Ada beberapa cara pandang feminisme mengenai prostitusi. Saya hanya akan membicarakan dua: feminisme liberal dan feminisme sosialis.

Feminisme liberal menganggap bahwa prostitusi adalah hak setiap individu. Bagi mereka, menjadi prostitusi adalah sebuah ‘pilihan’.

Feminisme sosialis berpandangan lain. Tanpa menafikan pilihan, mereka memandang prostitusi terjadi karena ketimpangan. Kondisi ekonomi yang membelenggu, membuat sebagian perempuan terpaksa menjadi pekerja seks.

Perbedaan yang mencolok adalah, feminisme liberal menitikberatkan kepada kebebasan untuk memilih. Sementara, feminisme sosialis membedah konstruksi ekonomi dan sosial di balik pilihan-pilihan itu.

Bukan berarti saya menuding Gita Savitri Devi seorang feminis liberal. Pun liberalisme dan sosialisme adalah pisau bedah analisis yang mempunyai benar dan salahnya masing-masing.

Yang saya ingin tekankan adalah, sekali lagi, tidak semua orang seberuntung Gita Savitri Devi. Ia bisa memilih untuk tidak mempunyai anak dan bebas dengan pilihannya itu. Tetapi, di luar sana, di sekitar kita, ada banyak orang yang tidak benar-benar bisa ‘memilih’.

Tulisan ini saya persembahkan untuk Savrinadeya.

Daftar Pustaka:

Opini ditulis oleh Muhammad Al Fatih, mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP 2022, Universitas Mulawarman.



Kolom Komentar

Share this article