Opini

Senjakala Keluarga Mahasiswa Kita

Ilustrasi pergerakan mahasiswa

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


TIDAK bisa tidak suatu keluarga kudu bersatu. Keniscayaan pula jika ada saatnya keluarga berpecah, dan masing-masing yang terpecah itu di kemudian hari tidak mendefinisikan dirinya sendiri sebagai bagian yang terpisah. Bukan keluarga lagi. Adalah yang bernama Keluarga Mahasiswa Unmul sedang mengalami kedua hal tersebut. Menyebut dirinya keluarga, namun terpecah-pecah. Keluarga hanya label untuk proposal dana dan sidang, tak lebih tak kurang.

Namanya Keluarga Mahasiswa Unmul. Judulnya begitu. Pelaksanaannya wallahu’alam. Dari tahun ke tahun kita saksikan kelucuan: “Pihak A” dan “Pihak B” selalu berbeda. Baiklah, lebih jelasnya: “Mahasiswa Universitas” dan “Mahasiswa Fakultas” selalu ribut. Dinamika? Dinamika darimana jika dari saya masuk hingga hendak lulus begini tak pernah cocok barang sekali. Jikalau diidentikan dengan hukum fiqh, bisa otomatis cerai sepertinya. Atau lebih gampangnya seperti talak tiga, tak bisa rujuk lagi.

Ada dua peristiwa annual yang bisa kita amati, kalau Anda tak percaya. Satu PAMB, lainnya Pemilihan Raya. Tidak mengagetkan kalau saya bisa menebak fakultas mana yang bakal cabut di tengah acara berlangsung. Dan bukan cenayang juga, jika saya bisa tahu lebih awal, mana-mana yang akan menolak Pemilihan Raya. Entah karena sistem atau agenda politik apapun. Salah juga jika menyebut saya punya kesaktian jika meramal siapa yang bakal menang Pemilihan Raya bulan depan, dan ternyata benar. Saya pasti sudah kaya raya kalau ada bursa taruhan.

Kata Ahmad Albar tiada salah, dunia ini hanyalah panggung sandiwara. Kecilkan lagi skupnya, jadi Unmul. Unmul hanya panggung sandiwara, masalahnya si sutradara (sengaja saya tak pakai “sang” dan kecil semua) tidak cerdas, kalau tak mau dibilang amatiran. Jalannya datar, tidak ada klimaks, tidak ada twist. Lempeng, selempeng landasan pacu Bandara Temindung. Nyatanya semua bisa ditebak, kan? Sandiwara yang membosankan, saudara-saudara sekalian.

Sebelum melangkah lebih jauh, dan Anda semua salah mengartikan posisi saya, baiknya dijelaskan dahulu. Pertama, saya bukan kader partai apapun, entah partai politik maupun non-politik. Pantangan empat tahun tak masuk kantor parpol apapun sukses terlaksana buat saya. Dua, saya juga bukan kader organisasi mahasiswa eksternal apapun. Mentok saya kader majelis pengajian, itu pun cuma tukang jaga sekretariat.

PAMB yang tiap tahun dilaksanakan di GOR 27 September (dan pasti menelan korban pingsan pula) salah satu bukti nyata Keluarga Mahasiswa ini tak baik-baik saja. Ada yang menarik diri tiap tahun sudah jadi agenda tak resmi. Biasanya masalah ketidakpuasan dan ketidakcocokan dan kenyamanan adik-adiknya. Sudah saya katakan, bukan dinamika jika sudah demikian, dinamika kok tiap tahun rutin? Masalah benar salah pastinya relatif, serta saya tak sedang bilang siapa benar dan salah. Ya bagaimana? Saya sendiri berharap suatu saat fakultas saya yang dicap paling anteng dan santun ini ikut-ikutan aksi tarik diri. Daripada jatuh korban pingsan lalu orangtua salahkan kami? Lebih baik pulang saja, selamatkan diri.

Saya tiba-tiba teringat Bapak Pembangunan kita, Pak Soeharto almarhum. Enam periode berkuasa, meski satunya tak penuh. Motornya ya parpol yang itu. Sekarang kita semua menghadapi yang lebih mengerikan: delapan periode berkuasa, Bung! Serupa namun tak sama, bedanya lakonnya berganti, namun motornya tetap sama. Jadi ya sebelas dua belas lah ya.

Sutradara kita sekarang memang amatiran, tapi cukup rapi. Mungkin kalah rapi Orde Baru dulu, atau ya minimal imbang lah. Dahulu, semua orang hampir wajib ikut P4 (Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila). Kalau di Unmul, ya Anda pasti bisa tebak yang mana kan? Hukumnya fardhu ‘ain alla kulli muslimin wa muslimat, wajib bagi tiap-tiap muslim baik laki atau perempuan. Sampulnya mulia bukan buatan, tapi efek sampingannya kita pasti sepakat. Ujung-ujungnya doktrin, dan lewat hal begitulah jalan paling mudah. Masif, terstruktur, dan dana jelas (meski kompilasi dana dari mana saja hanya mereka dan Tuhan yang tahu).

Mengerikan sekali seperti kapitalisme yang liberal itu. Yang kuasa makin kuasa, makin menggurita pada berbagai lini. Hanya karena dia kanan, yang kiri tak mau diakomodasi. Jangan harap ada bangunan ibadah agama non-mayoritas, jika jawaban calon penguasa masih sejenis dengan tahun lalu (padahal simbol amat penting ‘kan?). Jangan bermimpi ada dialektika idealisme yang elegan, kalau keran diskusi saja malas dihidupkan.

Monopoli kekuasaan sudah tertanam sejak mahasiswa, jika memang patut digelari mahasiswa secara murokab, baik akademis dan perjuangan dan keberpihakan. Kata mutiara Pramoedya sedang dimuntahkan di depan kita semua; “intelektual harus adil sejak dalam pikiran” tak lebih dari lip service, atau mereka diharamkan membaca Tetralogi Buru hingga tak tahu kalimat itu? Sungguh rugi hidup kalau bacaan cuma terjemahan bahasa Arab.

Kejenuhan dengan segala skenario ini sudah pada puncaknya. Dan sialnya bukan cuma saya. Mungkin Anda juga, beserta banyak orang lain. Mungkin ratusan, atau bahkan ribuan. Makin banyak pihak menarik diri, lebih memilih untuk tak mau tahu. Urusanku-urusanku, urusanmu-urusanmu. Masing-masing punya wilayah sendiri, nyawa, dan harga diri taruhannya jika lewati perimeter.

Keluarga Mahasiswa Unmul memasuki masa senjakala, dan sebentar lagi hari berakhir. Bubar sudah, tidak ada lagi, hanya label untuk toples kosong. Pesta demokrasi bulan depan sudah tertebak hasilnya, apakah masih tersisa alasan untuk ikut?

Ditulis oleh: Alif Bareizy, mahasiswa Fakultas Kedokteran 2013



Kolom Komentar

Share this article