Opini

Sampo Saset dan Gerakan Tolak Plastik

Kesenjangan sosial dan dampaknya bagi kelestarian lingkungan

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Republika

“Tidak usah pakai sedotan, Mas.”

Seorang mahasiswa sedang memesan kopi di sebuah kafe yang terletak di depan gerbang Universitas Mulawarman. Ketika kopinya datang, ia mengeluarkan sedotan besi miliknya. Sepertinya untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik.

Pemandangan serupa pernah saya dapati di tempat lain, yakni di sebuah kafe di samping Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

“Pakai ini saja, Mas.”

Seorang mahasiswi membawa tumbler pribadi. Mirip kejadian di atas, tumbler tersebut ia pakai untuk mengganti gelas plastik.

***

Sampah plastik memang menimbulkan masalah karena jumlahnya yang banyak dan tidak mudah terurai. Bahannya pun turut merusak lingkungan sehingga manusia, hewan, dan tumbuhan dapat terkena dampaknya.

Gerakan mengurangi plastik kemudian menjadi sebuah tren. Mulai dari sedotan besi, botol tumbler, hingga totebag. Barang-barang tersebut umum dibawa kemana-mana terutama oleh anak muda, termasuk mahasiswa.

Saya pun pernah kemana-mana membawa sedotan besi dan menolak sedotan plastik tiap memesan kopi. Meskipun, kadang membersihkannya agak merepotkan. Akhirnya saya hanya menolak dan meminum langsung dari gelas atau botolnya.

Melalui Peraturan Walikota Nomor 1/2019, Pemerintah Kota Samarinda juga telah berupaya mengurangi penggunaan kantong plastik dengan melarang penyediaannya di pusat perbelanjaan. Masyarakat pun didorong untuk membawa tas belanja sendiri. Kini, terdapat banyak tempat yang telah menjual totebag secara murah.

Penggunaan kemasan saset juga menjadi sorotan. Tahun lalu, bahkan ratusan pegiat lingkungan di Jakarta turun ke jalan. Berjalan dari Bundaran HI menuju kawasan Dukuh Atas, mereka menolak penggunaan saset plastik.

Apakah dengan ini masalah sampah plastik selesai?

***

“Kalau langsung beli botol mahal, eh.”

Adi (bukan nama asli) merupakan seorang mahasiswa yang tinggal di sebuah kos dekat kampusnya. Biaya dari orang tua telah habis untuk makanan sehari-hari, membayar sewa kos, dan keperluan kuliah. Maka seringkali ia terpaksa memakai kemasan saset untuk mandi, terutama sampo. Itu pun ia akui dipakainya secara sedikit demi sedikit.

“Satu bungkus kecil bisa untuk dua sampai tiga hari,” ucapnya sambil tertawa.

Adi (dan banyak orang lain dengan nasib yang sama) menunjukkan, bahwa memakai sedotan besi atau tumbler tidak cukup. Begitu pula (mungkin) penggunaan totebag. Jika dihitung-hitung, Adi dapat menghasilkan minimal belasan sampah plastik saset dalam sebulan. Kalikan setahun, maka ada ratusan sampah plastik saset yang dihasilkannya. Apalagi, mandi tentu kebutuhan yang dilakukan setiap hari—berbeda dengan ngopi.

Namun, Adi melakukan itu (sekali lagi) dengan terpaksa. Keadaan ekonomi membuatnya hanya mampu membeli sampo kemasan saset untuk mandi. Ia juga telah memakainya secara hemat.

Dalam laporan Greenpeace berjudul “Throwing Away The Future”, Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50 persen dan diprediksi jumlah kemasan saset yang terjual akan mencapai 1,3 triliun pada tahun 2027.

Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), yakni sebuah komunitas lingkungan menyatakan itu merupakan gambaran kesenjangan. Negara berkembang menjadi pangsa pasar terbesar karena angka kemiskinan masih tinggi. Di negara maju, kemasan saset sabun dan sampo jarang dijual.

Ternyata kebiasaan lama saya membawa sedotan besi tidak sepenuhnya relevan. Kebiasaan yang juga banyak dilakukan anak muda dan aktivis hari ini tidak sepenuhnya menjawab masalah.  

***

Beberapa waktu lalu, sampah kemasan sampo saset ditemukan. Dari bungkusnya, diperkirakan berasal dari tahun 1980-an. Sepertinya itu bukan hanya gambaran kerusakan lingkungan, tetapi juga kesenjangan dan ketimpangan—yang dari dulu sampai sekarang belum kunjung terselesaikan.


Daftar Pustaka:


Opini ditulis oleh Muhammad Al Fatih, mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP 2022, Universitas Mulawarman.



Kolom Komentar

Share this article