Opini

Rindu Manisnya Euforia

Muhammad Rifqi Hidayatullah, Alumni FMIPA Unmul 2007, Mantan Menteri Aksi dan Propaganda BEM Unmul 2009/2010.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


PERANG batu sulit terhindarkan malam itu. Entah apa yang memicunya, namun suara teriakan seolah tenggelam di tengah minimnya penerangan. Ratusan mahasiswa terbelah dalam dua poros, lalu berkumpul di halaman perpustakaan kampus Universitas Mulawarman (Unmul). Sesekali masa bergerak dan mendekat ke gedung Rektorat. Malam itu, proses perhitungan suara Pemira Presiden BEM Unmul di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) yang belum  selesai dialihkan ke halaman Perpustakaan.

Sejak pagi, hasil perhitungan suara tak kunjung disahkan lantaran terdapat selisih perhitungan antara jumlah perhitungan suara dengan jumlah mahasiswa yang memungut suara. Gejolak pun akhirnya muncul lantaran, salah satu kubu tak terima selanjutnya menuding ada yang tak beres dalam proses Pemira. Saya lupa persis tanggal serta bulan ketika peristiwa tersebut berlangsung. Yang jelas, Pemira pada 2009 kala itu, menjadi pertarungan dua kandidat calon Presma BEM Unmul. Yaitu Ismoyo Yudha Lukito (FKIP/2005) dan Erlyando Saputra (FISIP/2004). Sebenarnya ada satu lagi, yaitu Charil Anwar (FKM/2005) yang memilih mengundurkan diri.

Secara administrasi, saya tercantum sebagai ketua tim pemenangan pasangan calon (paslon) Ismoyo Yudha Lukito dan Suharno. Sebenarnya dalam perhitungan cepat, suara Ismoyo-Suharno sudah jauh lebih unggul dan menang merata hampir di seluruh fakultas. Namun, kekhawatiran tetap muncul, kala konflik perhitungan suara di FISIP rawan menjadi media menggugat hasil Pemira. Sehingga bisa jadi hasil Pemira justru akan dibatalkan. Persoalan tak kunjung usai, setelah perdebatan panjang di siang hari, berlarut hingga malam. Kali ini antara Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Unmul yang digawangi oleh Bayu-FKIP/2005 (saya lupa nama lengkapnya) dengan tim pemenangan Erlyando Saputra.

Tentu saja, dalam posisi ini kami sebagai tim pemenangan Ismoyo-Suharno tak boleh terlibat dalam konflik tersebut. Ini hanya urusan antara DPM dan kubu sebelah. Tapi kenyataannya, kedekatan psikologis dengan kawan-kawan DPM, membuat sebagian kawan terpancing dan tak bisa membedakan posisi itu. Hal ini membuat seorang tim pemenangan Bung Nando bertanya-tanya. "Kapasitas Anda sebagai apa berbicara di sini?" Nah kan, maka ada baiknya belajar memilah posisi kita di tengah konflik.

Yang jelas manajemen konflik yang dilakukan kedua poros saya pikir sama-sama hebat kala itu. Saya tak ingin mengulas siapa yang menang dan kalah. Begitu juga persoalan siapa yang kuat dan lemah. Hingga tiga hari berturut-turut, hasil perhitungan suara di FISIP tak juga kunjung disahkan. Maka bisa dibayangkan, jika selama hampir 72 jam konflik tersebut berlangsung, cukup melelahkan. Keributan dengan bumbu-bumbu perang argumentasi menjadi warna tersendiri.

Sejumlah perkataan yang menyinggung, hingga teriakan takbir yang menggema pun gampang menjadi soal. Seingat saya, pada malam pertama Pemira, kampus Unmul sudah mulai dipenuhi mahasiswa dari kampus lain. Saya ingat benar siapa saja yang datang dan terlibat dalam kegaduhan tersebut. Hampir seluruh perwakilan kampus, pimpinan organisasi mahasiswa eksternal kampus, dan lembaga mahasiswa lainnya berkumpul. Bisa dibayangkan, betapa seksinya kursi presiden BEM Unmul saat itu. Sampai-Sampai mampu menyedot perhatian banyak pihak. Warga kampus pun seolah tak ingin ketinggalan cerita dalam proses Pemira.

Perdebatan rupanya tak lagi soal selisih surat suara di FISIP.  Namun sudah meluas hingga berbagai masalah lainnya. Saya tak ingin terlalu jauh merincikan isi konflik Pemira kala itu. Saya hanya ingin berusaha menggambarkan berbagai proses pembelajaran di Pemira saat itu. Yang jelas, aksi saling kejar, hingga ancaman baku pukul diakui sangat berpotensi terjadi. Sekitar pukul 02.00 Wita, setidaknya ada saya, Miftah Murdho (Mantan Wapres BEM Unmul), Rahman (Mantan Ketua Pusdima), Alam (sekarang Ketua KAMMI Kaltim) dan Ismoyo (calon Presma) disembunyikan teman-teman di dalam pos sekuriti di depan rektorat. Kata teman-teman sih, kami sedang dicari oleh sekelompok orang yang tak terima dengan perkataan kami. Walaupun akhirnya saya sadar, hal tersebut sepertinya terlalu didramatisir.

Hingga akhirnya kami pun memilih keluar dan menemui orang-orang yang berteriak menyebut dan mencari nama kami. Menjelang dini hari, ratusan mahasiswa tersebut bersepakat duduk di badan jalan di depan portal rektorat sambil memperdebatkan pokok persoalan. Akhirnya masalah selesai dengan cara-cara tertentu. Saya juga tak ingin mengeluarkan penilaian apakah cara menyelesaikan masalahnya benar atau salah. Dihari ketiga perhitungan suara, Ismoyo-Suharno ditetapkan DPM Unmul sebagai pemenang Pemira 2009. Bagaimana prosesnya? Mungkin bisa Anda kuak dari para kawan yang aktif di kelembagaan kampus saat itu.

Cerita di atas, hanyalah sepenggal cerita euforia Pemira yang saya alami. Satu persatu persoalan yang dihadapi, menjadi pembelajaran tersendiri. Mulai bagaimana mengatur waktu kuliah, belajar beretorika, menghimpun suara dengan pendekatan ke berbagai lembaga kampus, melakukan pemetaan suara hingga proses rekonsiliasi setelah Pemira. Walaupun sebenarnya saya yakin, selain tim yang saya ketuai, juga ada tim-tim lain yang turut andil memenangkan Ismoyo-Suharno.

Dulu, euforia kawan-kawan lintas lembaga untuk merebut kursi Presiden BEM Unmul, menjadi kebanggaan tersendiri. Kedudukan tersebut terasa elit, bahkan mampu memancing kaum elit di luar elemen mahasiswa turut terlibat. Seperti yang saya sebutkan bahwa di tengah konflik tiga hari tiga malam itu, puluhan mahasiswa dari kampus lain juga tersedot perhatiannya. Atas dasar kesamaan baju organisasi yang mereka kenakan, ditambah rasa solidaritas, mereka pun hadir di Unmul. Kenangan tersebut terasa manis, kala mengingat di momen yang sama, sekretariat BEM Unmul justru disegel oleh sejumlah pengurus Unit Kerja Mahasiswa (UKM).

Dalam konflik kali ini, mereka memposisikan diri di luar poros. Namun, penilaian mereka terhadap BEM Unmul sebagai biang kegaduhan, membuat sekretariat BEM Unmul harus direlakan untuk disegel selama dua hari. Walaupun akhirnya, segel kami buka atas dukungan sejumlah alumni BEM Unmul. Euforia Pemira tak hanya kali ini saya rasakan. Peralihan Presiden BEM Unmul Ahmad Mujahid ke Ali Wardhana pada 2008 sebenarnya juga banyak cerita. Saat itu, salah satu calon diusung oleh perwakilan UKM.

Yang menarik, Ali Wardhana (FISIP/2004) berkompetisi merebut hati mahasiswa dengan kawan satu kelasnya sendiri yaitu Bang "Luay" (lagi-lagi saya lupa nama lengkapnya). Selanjutnya di Pemira BEM Unmul 2010, peta politik kampus semakin manis. Dari tiga paslon, satu di antaranya mengundurkan diri. Situasinya sedikit memanas, namun berakhir sejuk. Satu hal yang ingin saya sampaikan dalam tulisan kali ini. Dalam tradisinya, Pemira mampu menarik perhatian banyak pihak untuk mengambil bagian menjadi sebuah poros. Baik sebagai kubu yang bertarung maupun sekadar pendukung. Terkadang, konflik yang dihadapi, justru mampu membentuk euforia menjadi sarana pencerdasan, pembelajaran, hingga pendewasaan.

Sejumlah kubu yang menjadi kompetitor di Pemira BEM Unmul, kini jutru menjadi kawan. Termasuk Erlyando Saputra dan kawan-kawan lainnya. Dalam akun media sosial, pria yang akrab saya sapa bang Nando memberikan doanya atas kelahiran putra pertama saya El Fayyadh Aqila Hidayatullah empat hari lalu. Momen Pemira saya pikir juga berperan dalam menarik minat para pimpinan lembaga kemahasiswaan untuk bergabung di BEM Unmul. Saya pun ikut bergabung dalam Kabinet BEM Unmul sebagai menteri aksi dan propaganda (Menaprop). Pada tahun berikutnya sebagai Sekretaris Kabinet (Sekkab).

Oleh mantan Presiden BEM FISIP 2009 Indra, kepanjangan Menaprop diplesetkan menjadi Menteri Aksi dan Provokator. Haha.... Yah, saya pun bersyukur BEM Unmul pimpinan Ismoyo-Suharno yang cukup moderat menerima masukan berbagai pihak. Sehingga tak sulit untuk membangun koalisi BEM Se-Unmul. Bahkan, BEM Fakultas Kedokteran yang dikenal dengan kesibukannya, sering ikut aksi bersama.

Begitu juga BEM Fakultas Hukum yang saat itu dipimpin Lukas. Apalagi BEM FISIP dan Teknik yang mantan presiden BEM-nya kini menjadi kawan karib saya. Ditambah lagi mantan Sekkab BEM Unmul periode 2009/2010 Febrityas yang tak disangka-sangka ikut bergabung di BEM Unmul. Pria yang kini menjadi Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kaltim itu, kerap menjadi penengah sekaligus penghubung dengan kawan-kawan di FISIP, Hukum, dan fakultas lain yang mungkin intensitas komunikasinya jarang terbangun. Febri kini bahkan sudah saya anggap saudara.

Selepasnya lulus dari Unmul, maka kisah-kisah pertarungan politik di kampus menjadi cerita mengesankan. Kerasnya persaingan di kampus saya pikir tak perlu didramatisir, tapi harusnya dikelola.

Sekedar mengingatkan, jika suatu ketika, dalam ajang Pemira hanya ada satu poros yang mengajukan dua paslon, apa hal tersebut masih bisa dikatakan kompetisi? Bisa jadi minat warga kampus untuk terlibat dalam organisasi BEM Unmul mengalami degradasi. Sehingga setingan mengirim beberapa calon yang berasal dari satu "rahim", membuat Pemira menjadi sekadar formalitas. Mudah-Mudahan bukan sekadar untuk merebut legitimasi kedudukan. Saran saya, yang harus dilakukan adalah, melakukan evaluasi terhadap minimnya minat tersebut. Yang terpenting, tak perlu terlalu bergairah melakukan blokade agar poros-poros mahasiswa lainnya tak turut serta dalam Pemira (semoga ini tidak terjadi). Mungkin ini tidak dilakukan kawan-kawan di BEM atau DPM. Tapi oleh sekelompok orang di "belakang", yang memilih jalur tersebut. Jika sudah begitu, maka tunggu saja kondisi di mana BEM sudah tak seksi lagi. Dari puluhan ribu mahasiswa yang terdaftar di Unmul, rasanya belum 20 persen yang menggunakan hak pilihnya di Pemira. Entah angka tersebut meningkat atau tidak saat diberlakukannya pemira berbasis online.

Mungkin para kader potensial, memilih berkiprah di lembaga mahasiswa lain. Sehingga tak perlu kaget jika manisnya euforia Pemira tak lagi bisa Anda rasakan. Apalagi di tengah Pemira online yang digagas. Sejumlah tahapan pencerdasan di Pemira bagi saya, berpotensi hilang, jika tak diantisipasi. Mahasiswa pun akhirnya hanya bisa merasakan kemenangan presiden BEM Unmul tanpa tahu prosesnya yang mengasikkan.

Padahal di organisasi BEM Unmul, kita bisa mendapat banyak kisah. Bahkan juga mendapat pasangan hidup. Tak hanya saya dan istri tercinta Aji Kiki Mirawati yang juga merupakan alumni pengurus BEM Unmul diperiode yang sama. Begitu juga mantan Presiden BEM Unmul Ali Wardhana, Ismoyo Yudha Lukito, dan Surahman yang memperistri alumni BEM Unmul.


Muhamad Rifqi Hidayatullah

Alumni FMIPA Unmul 2007

Mantan Menteri Aksi dan Propaganda BEM Unmul 2009/2010




Kolom Komentar

Share this article