Opini

Polemik Perpanjangan IUPK PT KPC: Memperparah Kerusakan Lingkungan atau Memulihkan Kerugian Masyarakat?

Perpanjangan izin PT Kaltim Prima Coal dan dampak kedepannya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Tambang.co.id

PT Kaltim Prima Coal (KPC) telah mendapatkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tanggal 9 Maret 2022 lalu. Itu tertuang dalam Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia No. 90/1/IUP/PMA/2021 tentang Persetujuan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian Kepada PT Kaltim Prima Coal. IUPK ini diberikan hingga tanggal 31 Desember 2031 atau selama 10 tahun ke depan.

Perpanjangan ini kemudian membawa dilema bagi masyarakat dan alam yang telah 39 tahun terdampak oleh PT KPC. Pasalnya, pengalaman telah berkata bahwa perusahaan tambang ini memberikan rekam jejak yang buruk mengenai lingkungan dan kriminalisasi masyarakat. 

Bukan tanpa alasan masyarakat memberikan penolakan-penolakan melalui berbagai gerakan. Sebut saja tagar #BersihkanIndonesia, Trend Asia, ENTER Nusantara bersama JATAM Nasional dan JATAM Kalimantan Timur, Laskar Pemuda Adat Dayak Kalimantan Timur – Kalimantan Utara (LPADKT-KU), dan perkumpulan mahasiswa di Kabupaten Kutai Timur yang turut menggaungkan agar perpanjangan izin PT KPC tidak diberikan. 

Sudah menjadi rahasia umum kita semua memiliki daftar kerugian yang seharusnya cukup bagi pemerintah untuk menghentikan aktivitas pertambangan di Kutai Timur ini. Kemudian memfokuskan pada pertanggungjawaban perusahaan terhadap 71 lubang tambang warisan PT KPC. 

Perpanjangan izin perusahaan tambang ini sama dengan menambah investasi kerusakan lingkungan serta perluasan kerugian masyarakat hingga berlipat-lipat di masa depan. Empat dekade perjalanan PT KPC sudah memberikan gambaran bahwa perpanjangan IUPK hanya akan memperburuk kondisi alam dan sosial masyarakat di Kutai Timur.

Seyogyanya, dalam memberikan izin pemerintah harus memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, sosial budaya, berwawasan lingkungan, hingga dengan memperhatikan aspirasi daerah. Akan tetapi, pemberian 10 tahun perpanjangan IUPK kepada PT KPC telah melewatkan aspek-aspek yang harus dipertimbangkan tersebut. 

Pemerintah seolah menutup mata pada fakta bahwa perusahaan ini telah menghancurkan bentang alam. Seperti menyebabkan pencemaran air pada Sungai Bendili, kriminalisasi terhadap warga Dayak Basap dan Desa Sepaso Selatan yang menolak dirampasnya hak mereka, kerusakan dan banjir di Daerah Aliran Sungai Bengalon dan Sangatta, serta krisis air bersih sepanjang 2012-2014 yang dialami 50 keluarga di Desa Keraitan. 

Beberapa contoh tersebut sepatutnya dapat menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah untuk lebih cermat lagi dalam memberikan izin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang dianggap tidak cakap dalam bertanggungjawab atas aktivitas yang telah mereka lakukan.

Jika dirunut lebih jauh, kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan ini sangat memprihatinkan. Kerugian ini merambah hampir ke semua sektor kehidupan, baik kesehatan, lingkungan, sosial-budaya, ekonomi, hingga politik. 

Kita pun harus mengingat bahwa PT KPC memiliki catatan korupsi pada 2010 hingga 2013 yang dilakukan petinggi perusahaan serta menyeret Gubernur Kalimantan Timur berupa divestasi saham. Hasilnya, potensi kerugian yang dialami negara mencapai Rp. 792 milyar.

Pada dasarnya, pemerintah memiliki cukup banyak PR dalam mengawal pertanggungjawaban aktivitas operasional PT KPC selama 39 tahun terakhir ditambah dengan kerugian yang akan menyusul selama 10 tahun ke depan. 

Kita sebagai masyarakat juga tidak boleh hanya berpangku tangan menyaksikan eksploitasi alam yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang yang ada di Kalimantan Timur, karena sejatinya kita semua sepakat untuk mengantongi visi yang sama yaitu merawat dan melestarikan alam untuk kesejahteraan hidup masa kini dan masa depan.

Ditulis oleh Novita Fitriani mahasiswi Ilmu Hukum Fakultas Hukum 2021



Kolom Komentar

Share this article