Opini

People Power: Bola Panas yang Memanen Korban

Kericuhan yang terjadi pasca hasil pemilu diumumkan.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: metro.tempo.co

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 17 April lalu telah berhasil dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, pemilu kali ini diselenggarakan serentak, tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden tetapi juga memilih anggota legislatif. Karena dilakukan serentak, pemilu ini mengukir sejarah baru dalam jalan panjang pesta demokrasi di negeri ini.

Kita sama-sama tahu, sejak era kampanye, terdapat isu-isu yang bersifat simpang siur dari kampanye negatif hingga hoaks yang memecah belah bangsa digaungkan dan menyasar masyarakat kita. Cleveland Ferguson dalam The Politics of Ethnic and Election, Can Negative menjelaskan bahwasanya politik yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan memberikan referensi atau menyelamatkan unsur-unsur negatif dari kompetitor baik kandidat maupun partai melalu kampanye negatif. Dilansir dari tempo.co, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat sebanyak 1.645 konten berita palsu atau hoaks menyebar ke masyarakat sepanjang periode Agustus 2018 hingga 25 April 2019. Kita bisa menggambarkan muntahan kerancuan yang disebarkan dan berimplikasi kepada menguatnya kubu-kubu di dalam masyarakat.

Pasca pemilu, masyarakat mulai memanas ketika hasil quick count yang dirilis lembaga-lembaga survei menuai kontroversi. Masing-masing kubu mendeklarasikan kemenangan, kubu 01 menggunakan hasil quick count lembaga survei dan kubu 02 menggunakan survei internal. Hal ini lagi-lagi memicu bola panas di kalangan masyarakat dan melahirkan berbagai narasi keliru yang terpolarisasi di masing-masing kubu. 

Upaya-upaya mendelegitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu terus digelembungkan oleh elite-elite yang tidak bertanggung jawab hingga bermuara pada lahirnya istilah people power atau gerakan kedaulatan rakyat. Gerakan ini tentu sah-sah saja karena dijamin konstitusi kita, sepanjang ada urgensi yang jelas dan mengikuti mekanisme yang sudah dirumuskan dalam perundang-undangan. Sekalipun ditemukan kecurangan, silakan ditempuh dengan jalan konstitusional, karena negara menjamin hal tersebut lewat kehadiran Mahkamah Konstitusi. 

Pasca penetapan hasil pemilu oleh KPU, saat ini keadaan Ibu Kota Jakarta menjadi siaga 1, pasukan gabungan TNI dan Polri didatangkan dari daerah-daerah lain. Unjuk rasa yang dilakukan Gerakan Nasional Kebangkitan Rakyat atau GNKR melahirkan banyak penumpang gelap yang ingin mengacaukan stabilitas politik bangsa. Fatalnya, pertumpahan darah pun tak terhindarkan, dengan jumlah korban meninggal 6 orang dan lebih dari 200 orang luka-luka. Uniknya, korban-korban ini dijadikan jualan patron untuk memprovokasi masyarakat akar rumput.

“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Itu adalah kutipan tokoh yang akrab disapa Gus Dur. Kutipan ini menjadi batu pijakan dasar tulisan saya. Apa yang mau dicapai dengan gerakan anarkis dan brutal seperti ini? Gerakan apapun itu, sebisa mungkin dikontrol elite yang bertanggung jawab, jangan lalu cuci tangan dan pergi bertamasya ria ke negeri orang.

Mari sama-sama ciptakan ekosistem demokrasi yang sehat dan berperikemanusiaan, karena negara demokrasi menjamin kepastian hukum. Jika ada indikasi kecurangan selesaikan dengan menempuh jalur konstitusi. Menjadi negarawan memang tidaklah mudah, butuh jiwa yang bisa menerima kekalahan seperti kesatria. Ingat, rumah kita sebangsa setanah air adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, jangan sampai melempar atap rumah sendiri.

Ditulis oleh Stanis Deri Burin, mahasiswa Fakultas Hukum 2017.



Kolom Komentar

Share this article