Opini

Merespon Pernyataan DPM FH (Quo Vadis Demokrasi di Unmul)

Berbicara tentang Pemira sangat erat kaitannya dengan proses demokrasi. (Ilustrasi demokrasi oleh Aditya Ferry)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Berbicara tentang Pemira sangat erat kaitannya dengan proses demokrasi. Tahun 2016 adalah salah satu fenomena berkurangya kuantitas pemilih secara drastis dibandingkan dengan 2 tahun sebelumnya. Segala tuntutan dari berbagai pihak yang ditujukan ke DPM KM Unmul juga memberi gambaran pentingnya perbaikan sistem Pemira Online dan konsekuensi terhadap transparansi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi.

Pemilihan umum dan Pemira di Unmul sebenarnya memiliki relevansi yang sama. Berdasarkan UUD 1945 pasal 22E ayat 1 yang menegaskan pahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berbicara konteks demokrasi di Unmul saya teringat Pemira BEM KM Unmul merupakan moment tahunan yang menjadi ajang pertarungan visi misi hingga ajang perang gagasan. Setiap tahun, ajang pesta demokrasi tahunan versi mahasiswa Unmul tersebut sangat ramai menjadi viral di lini social media. Walaupun Pemira tahun ini sudah selesai, tetapi atmosfernya masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Untuk membangkikan kembali atmosfer tersebut, saya mau mengulas hal yang turut menjadi ironi bagi kita tentang dibungkamnya demokrasi di salah satu fakultas yang ada di Unmul. Interpretasi tersebut kemudian melanggar UUD 1945 pasal 28l ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Beberapa hari yang lalu, DPM FH meminta agar suara mahasiswa FH yang sah dihapuskan dan tidak termasuk dalam perhitungan suara yang sah. Jelas, hal ini merupakan bentuk dari pengkebirian terhadap demokrasi dan pediskriminasian  HAM (Hak Asasi Manusia) yang diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 karena DPM FH melakukan pembatasan yang langsung didasarkan terhadap kepentingan suatu kelompok atau golongan tertentu. Terutama dalam sistem pemilihan sudah diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal 23 ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak memilih dan mempunyai keyakinan politiknya“ dan ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. Masih mau disebut tidak melanggar HAM ?

Lagipula, memilih itu adalah hak bukan kewajiban. Di suatu sisi hal itu bermakna boleh memilih boleh tidak. Hak juga tidak ada koreksi dengan sanksi seperti halnya kewajiban. Otomatis setiap mahasiswa berhak memilih salah satu pasangan calon tetapi bukanlah sebuah kewajiban, apalagi sampai dibungkam dan dijustifikasi suara mahasiswa bisa diwakili oleh suara lembaga tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar apakah demokrasi saat ini mengalami reduksi.

Dahulu sempat menjadi sebuah perdebatan alot tentang Pilkada yang menurut saya relevan dengan kasus seperti ini. Yaitu Pilkada langsung atau dipilih melalui DPRD ? Opsi ini kemudian dikaitkan dengan demokrasi.

Jelas sistem seperti ini adalah sistem yang ditolak secara tegas oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Apabila sistem seperti ini diwujudkan, implementasi demokrasi bisa saja terjerumus pada sistem otoriter.

Dari sini saja kita tidak sepakat apabila Pilkada diwakilkan oleh DPRD dan kampus yang notabene merupakan miniatur pemerintahan apabila kita kaitkan sama halnya jika Pemira di Unmul yang memilih Presiden dan Wakil Presiden hanya lembaga legislatifnya saja tanpa ada partisipasi dari mahasiswanya. Sebenarnya apa indikator sebuah lembaga bisa mewakili suara mahasiswanya ? Apakah lembaga legislatif itu dipilih secara demokratis layaknya anggota dewan ? Beberapa kontemplasi tersebut layak kita pertegas sebelum kita melakukan justifikasi. Apalagi aturan tersebut hanya bersifat verbal, tidak memiliki dasar yuridis dan tidak tercantum didalam AD/ART.

Salah satu tren budaya demokrasi adalah sebuah konsep loyal opposition yang artinya politik kampus pun memiliki kompetitor  yang bisa saja tidak akan setuju terhadap lawan politiknya, namun yang terpenting adalah bersikap toleran satu sama lain, mengakui legitimasi dan bersikap bijaksana. Beberapa sikap tadi mungkin sulit dilakukan mengingat beberapa kultur politik masing-masing fakultas yang berbeda.

Semua pihak tentu harus menjaga komitmennya terhadap nilai dasar demokrasi. Salah satu contohnya dalam bentuk toleransi, dimana yang kalah atau tidak memilih menerima hasil yang ditentukan pada saat Pemira sehingga peralihan kekuasaan bisa berlangsung kondusif dan tidak akan kehilangan kebebasannya untuk berparisipasi dalam publik. Maksudnya bukan loyal terhadap kebijakannya, tapi loyal pada demokrasi itu sendiri. Karena pada hakikatnya demokrasi itu bukan sebarapa banyak suara yang terhitung sah namun tentang partisipasi mahasiswa dalam proses politik.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Robert A. Dahl, disamping untuk menghindari tirani. Demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain, diantaranya adalah terwujudnya hak-hak esensi individu, terdapat kesempatan untuk menentukan posisi dari individu, dan adanya kesejahteraan. Maka apabila karena kita melarang orang untuk berpartisipasi dalam Pemira, lantas solusi dan langkah konkret apa yang akan anda sampaikan untuk membawa Unmul lebih baik kedepan ?

“Demokrasi adalah tentang memberikan kesempatan bagi semua mahasiswa agar kepentingan mereka bisa diakomodir dan di pertaruhkan”. Oleh karena itu, Pemira secara langsung itu memberi kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa untuk terlibat dalam berbagai proses politik.


Ditulis oleh:

Aditya Ferry Noor

Ketua BEM FEB Unmul 2016




Kolom Komentar

Share this article