Opini

Angka Kekerasan Seksual Melambung Tinggi, RUU PKS Dianaktirikan DPR

Kekerasan seksual bukan lagi suatu tindakan yang luar biasa di telinga kita.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Dok. Pribadi

Kekerasan seksual bukan lagi suatu tindakan yang luar biasa di telinga kita. Saking seringnya tindakan ini terjadi, tanpa disadari angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Catahu (2019) Komnas Perempuan, angka kekerasan yang paling menonjol adalah KDRT/RP (Ranah Personal) sebanyak 11.105 kasus dengan persentase sebanyak 75%.

Selain itu, pada ranah publik dan komunitas, kekerasan pada perempuan tercatat 3.602 kasus dengan persentase 58% yang merupakan kekerasan seksual dan terdiri dari pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus).

Tingginya kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun mendorong gerakan untuk mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Karena dirasa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini hanya mencakup pencabulan dan perkosaan.

Hal ini dianggap kurang memayungi kasus-kasus kekerasan seksual lainnya. Sehingga, RUU PKS diharapkan dapat menjadi aturan khusus yang akan memberikan perlindungan yang menyeluruh terhadap korban dan lebih menopang hukum pidana dari aspek yang lebih konkret.

RUU PKS sendiri mengatur tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHP. Sehingga, RUU tersebut akan menjadi lex specialist dari KUHP. RUU PKS sendiri mengategorikan kekerasan seksual menjadi sembilan kategori, yaitu penyiksaan seksual, pemerkosaan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, eskploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan pelecehan seksual.

Dahulu pada KUHP, bentuk kekerasan seksual hanyalah perkosaan dan pencabulan. Pengaturan yang tersedia pun belum menjamin sepenuhnya hak-hak korban. Sehingga korban yang relasi kuasanya tidak sama dengan pelaku tidak dapat terlindungi secara menyeluruh. Melalui RUU PKS, ketiadaan tentang pengaturan yang mengatur tindakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual selain pencabulan dan perkosaan, akan disempurnakan dan diakomodasi.

RUU PKS juga memperbaiki pendefinisian mengenai perkosaan. Karena dahulu ketentuan mengenai perkosaan sulit di terapkan apabila perkosaan bukan dilakukan melalui penis (laki-laki) ke vagina (perempuan). Hal ini terjadi karena meski kejahatan perkosaan diatur dalam pasal 285-288 KUHP, pengunaan kata ‘perkosaan’ hanya ada dalam pasal 285 KUHP, sedangkan pasal 286, 287, 288 menggunakan kata ‘bersetubuh’. Kata ‘bersetubuh’ memiliki definisi kemaluan laki-laki harus masuk dalam kemaluan perempuan dan mengeluarkan mani.

Apabila syarat ini tak terpenuhi, maka kasusnya akan beralih menjadi pencabulan. Penggunaan kata ‘cabul’ dapat mengaburkan konteks tindak pidana perkosaan dan secara tidak langsung merugikan korban karena ancaman pidana pencabulan lebih rendah daripada perkosaan. Karena hal inilah, RUU PKS diharapkan akan menjadi penyempurna ketiadaan rumusan spesifik mengenai pendefinisian kekerasan seksual.

Delapan tahun setelah pengagasannya, RUU ini belum mendapatkan titik terang pengesahannya. RUU PKS masih belum menjadi peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur secara khusus mengenai penghapusan kekerasan seksual. Komnas Perempuan mengkritisi lambannya DPR membahas Rancangan undang-undang ini.

Padahal, pengaturan terkait kekerasan seksual ini sangat minim sekali saat angka kekerasan seksual melambung tinggi. RUU PKS membawa tujuan yang cemerlang untuk melindungi korban kekerasan seksual. Walaupun begini, DPR sangat menganaktirikan RUU PKS dan menunda pembahasannya.

Alasan DPR lamban membahas sebab RUU ini sulit untuk dibahas dan tak jelas urgensinya apa. DPR sampai menarik RUU PKS dari Prolegnas 2020 sampai waktu yang tidak ditentukan karena dianggap pembahasannya agak sulit. Pernyataan itu menyulut kekecewaan aktivis perempuan, terutama Komnas Perempuan.

DPR seolah-olah menutup mata akan kekosongan hukum pada kasus kekerasan seksual yang dapat berakibat lemahnya hukum yang memayungi kasus kekerasan seksual selain pencabulan dan perkosaan. Jika alasan utama mogoknya pembahasan RUU PKS adalah karena pembahasannya yang “sulit”, hal ini tentu saja perlu dipertanyakan. Padahal, ini hanyalah masalah kemauan dan DPR tidak punya niatan untuk menghapuskan kekerasan seksual apalagi untuk menghentikannya.

Urgensi dari RUU ini sangatlah jelas, RUU PKS hadir sebagai payung hukum untuk mencegah dan melindungi korban kekerasan seksual, saat KUHP tidak cukup memberikan perlindungan. Mirisnya, penarikan RUU dilakukan di tengah tingginya kasus kekerasan seksual. Padahal, isi RUU PKS lebih mengayomi dan melindungi korban seperti mengatur soal rehabilitasi terhadap korban yang mencakup aspek psikologis, medis serta ekonomi.

RUU PKS juga menjamin korban untuk mendapatkan haknya dalam layanan yang sesuai dengan kebutuhan korban dan juga melindungi kerahasiaan identitas korban. Sehingga korban bebas dari ancaman, tindakan kekerasan lanjutan dan stigma buruk masyarakat. Regulasi juga mengatur pendampingan dan pemulihan fisik, psikis, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. RUU ini juga menjamin hak untuk mendapatkan kompensasi. Hingga membahas soal pencegahan sehingga nantinya materi penghapusan kekerasan seksual akan menjadi bahan ajar anak usia dini sampai perguruan tinggi.

Isinya yang bagus nampaknya tidak dapat meluluhkan hati para wakil rakyat untuk mengusahakan pembahasan RUU PKS ini, sesulit apapun keadaanya. DPR berdalih bahwa ada sejumlah pasal dalam RUU PKS yang berkaitan dengan RKUHP. Oleh karena itu, sebelum mengesahkan RUU PKS, mereka harus mengesahkan RKUHP terlebih dahulu.

Sebenarnya, pernyataan ini bukanlah pernyataan baru. DPR beranggapan RUU PKS yang merupakan lex specialis harus selaras dengan KUHP dalam aspek pemidanaan. Padahal, jika RUU PKS disahkan terlebih dahulu maka hukum yang bersifat khusus akan diutamakan keberlakukannya daripada UU yang bersifat umum.

Akan lebih baik jika RUU PKS dijadikan rujukan dalam penyusunan RKUHP. Sebab RUU disusun berdasarkan dasar penghapusan kekerasan seksual, sedangkan RKUHP disusun berdasarkan dasar yang lebih umum. Melihat substansinya, tidak masalah jika RUU PKS disahkan terlebih dahulu dari RKUHP. Nantinya, badan legislasi dapat menjajarkan isi RUU PKS dan RKUHP agar pasalnya tidak kontradiktif satu sama lain.

Pernyataan ini juga nampaknya nihil, karena sampai sekarang pun RKUHP mogok pembahasan juga. Sehingga, pembahasan RUU PKS semakin lama dan kekerasan seksual semakin memakan banyak korban dan tidak bisa di proses hukum. Karena payung hukumnya tidak memberikan perlindungan yang cukup.

Imbas dari tidak disahkannya RUU PKS ini membuat korban kekerasan seksual harus membongkar kenyataan pahit yang tidak diikuti dengan hukum yang memadai. Banyak kasus kekerasan seksual yang terbengkalai, entah ujungnya seperti apa karena lemahnya perangkat hukum untuk menjerat predator seksual.

Penundaan pembahasan ini membuat DPR terlihat tidak bisa membedakan mana masalah genting dan mana masalah biasa. Sebagai manusia yang peka akan isu sosial, yang dapat kita lakukan adalah mendorong DPR untuk melanjutkan pembahasan RUU PKS sesulit apapun karena itulah tugas mereka sebagai wakil rakyat.

Tak hanya memberikan dorongan, kita harus terus meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengajak lingkungan sekitar untuk berpartisipasi dalam petisi “Sahkan RUU PKS”. Karena kita tidak harus menunggu korban yang lebih banyak lagi untuk menyadari bahwa permasalahan kekerasan seksual itu nyata dan harus segera ditangani.

Ditulis oleh Sheva Risda Aurelya, mahasiswa Psikologi, FISIP 2020.



Kolom Komentar

Share this article