Lifestyle

Impostor Syndrome: Perasaan Tidak Pantas untuk Meraih Kesuksesan

Mengenal impostor syndrome

Sumber Gambar: Pixabay

SKETSA Pernahkah kamu sebagai mahasiswa mengalami perasaan kurang pantas terhadap pencapaian yang telah kamu raih? Terlebih ketika banyak orang yang memuji keberhasilanmu, tetapi di satu sisi kamu menilai bahwa semua capaian itu adalah murni sebuah keberuntungan.

Dalam dunia psikologi, kondisi ini dinamakan impostor syndrome. Ini merujuk pada kondisi seseorang di mana ia tidak memiliki kepercayaan atas kemampuan dirinya sendiri. Orang yang mengalami impostor syndrome, akan selalu merasa kurang puas atau tidak cukup atas apa yang telah ia dapatkan.

Diwawancarai Sketsa melalui pesan suara Whatsapp Sabtu (29/10), Ayunda Ramadhani, Dosen Psikologi Unmul, menjelaskan penyebab yang kerap memunculkan kondisi tersebut. Paling banyak terjadi pada orang yang mengalami impostor syndrome, yakni bersumber dari keluarga. Pola asuh orang tua terhadap seorang anak akan berpengaruh pada pertumbuhannya. 

“Jika sang anak dikritik berlebihan atau ketika ia dipuji berlebihan, yang sebenarnya pujian itu tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Artinya, di sini orang tua memuji berlebih “kamu hebat banget” padahal itu adalah basic skills kemampuan seseorang yang sebenarnya bisa juga dilakukan oleh anak lainnya, tetapi orang tua cenderung memuji berlebihan,” jelas Ayunda.

Akibatnya, ketika dewasa, di lingkungan perkuliahan yang dikelilingi oleh orang-orang cerdas, dan lebih berbakat darinya. Tak menutup kemungkinan, pada sang anak akan muncul perasaan meragukan dirinya sendiri. 

Ayunda turut menyoroti pengaruh media sosial terhadap munculnya syndrome ini. Sebutnya, media sosial dapat dilihat dua sisi makna yang ditonjolkan.

Pertama, kita dapat memaknainya sebagai suatu kondisi yang memacu seseorang untuk bekerja lebih keras guna mencapai sebuah prestasi. 

Kedua, melakukan evaluasi dengan feedback dari orang lain. Hal tersebut dapat pula dilakukan dengan memvalidasi diri sendiri melalui metode self talk bahwa apa yang telah kita lakukan sudah cukup baik, untuk mengurangi perasaan membandingkan diri.

“Kita dapat menerapkan konsep slow living, bahwa hidup itu tidak harus selalu berlari kok, boleh saja kalau kita capai, kita istirahat sejenak. Kembali kepada mindset, bahwa di dunia ini tidak selalu ada kesempurnaan, kalau kita melakukan kesalahan, itu tidak selamanya buruk, tidak akan menjadikan kita pribadi yang gagal, selama kita ada usaha untuk memperbaiki usaha tersebut you are enough,” tutup Ayunda. (sya/nkh)



Kolom Komentar

Share this article