Cerpen

Rumah Lavender

Hamparan lavender

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Audible.de

Teng!

Suara dentingan lonceng yang keras seketika membuatku terbangun. Bisa kurasakan jantungku yang berdegup amat kencang lantaran tak siap mendengarkan suara keras yang dihasilkan lonceng tadi. Setelah merasa sedikit tenang, aku mulai  memperhatikan sekelilingku. Lalu, kusadari di mana aku berada sekarang.  Saat ini aku terduduk di depan rumah tua bergaya Belanda yang dikelilingi oleh tanaman lavender.

Satu hal yang membuatku bingung adalah kenapa aku bisa tiba-tiba ada di sini dan bagaimana caranya? Karena aku sangat yakin terakhir kali yang kuingat adalah aku masih berada di terminal sedang menunggu bus datang. Namun, tunggu dulu. Waktu itu, kan, malam hari? Dan sekarang sudah pagi, entah pukul berapa sekarang ini.

Di tengah lamunanku, aku menyadari pintu masuk rumah tersebut yang mulai terbuka sedikit demi sedikit membuatku buru-buru berdiri. Dari dalam keluar seorang gadis bergaun putih dengan rambut berwarna coklat yang tergerai indah. Gadis itu berjalan ke arahku dengan membawa setangkai bunga lavender di tangan kirinya. "Apa kau manusia?" tanyanya padaku. Ah, lucu sekali pertanyaannya itu. Memang dia pikir aku ini hantu, apa? Gadis itu kemudian menatapku dengan saksama mulai dari pangkal rambut sampai ujung mata kaki.

“Sepertinya kau manusia,” gadis itu tersenyum simpul. Ia kemudian memberiku bunga lavender yang ada di tangannya, setelah itu ia pergi begitu saja. Namun, ia bukan melangkah masuk ke dalam rumah. Melainkan berjalan melewati jajaran tanaman lavender yang menjulang tinggi dan menghilang di baliknya. Aku lantas memperhatikan bunga pemberian si gadis dan  menyadari kalau ada secarik kertas yang terselip di tangkainya.

“Pergi ke ruang musik dan berikan bunga ini pada Gisell.” Itulah yang tertulis di kertasnya dan entah karena dorongan apa aku langsung berjalan masuk ke dalam rumah tua itu. Ketika tiba di dalam, aku benar-benar takjub melihat ada lebih banyak bunga lavender yang menghiasi seisi ruangan. Aku sangat yakin kalau orang yang tinggal di rumah ini pasti sangat menyukai bunga lavender.

Suara alunan piano kemudian terdengar dan asalnya dari lantai dua. Aku kemudian berjalan perlahan menaiki satu persatu anak tangga hingga tiba di depan ruangan yang diberi label ruang musik. Aku memberanikan diri untuk memutar kenop pintunya. Tepat setelah pintu terbuka lebar, aku melangkah masuk dan langsung menghampiri gadis bergaun ungu yang sedang duduk di depan piano sembari memainkan lagu Beethoven yang berjudul “Fur Elise”.

"Apa mungkin dia Gisell?" pikirku. Aku lantas berjalan menghampiri si gadis dan tampaknya dia juga menyadari keberadaanku. Mungkin itu sebabnya ia berhenti memainkan pianonya. Akan tetapi, kedatanganku sepertinya tidak disambut baik olehnya. Terbukti dari ekspresi tak ramah yang ia tampilkan. Gadis itu juga menatapku sinis. Namun, hal itu tak menciutkan nyaliku dan aku terus berjalan ke arahnya. Lalu, aku memberikan bunga lavender yang ada di tanganku. Dia mengambil bunga itu, tapi masih menatap sinis ke arahku. “Apa Grace yang mengirimmu?” tanyanya kemudian.

“Sepertinya sih begitu,” jawabku ragu karena aku sendiri juga tidak tau siapa nama gadis yang aku temui di bawah tadi. “Ayo ikut aku,” ajaknya menuntunku berjalan menuju balkon.

“Kenapa kita ke sini?” tanyaku penasaran. Akan tetapi, Gisell hanya diam dan tak menggubris pertanyaanku. Ia malah fokus menatap ke depan, atau lebih tepatnya menatap ribuan tanaman lavender yang menjulang tinggi di depan sana.

Aku kemudian mencoba mengikuti ke mana arah pandangnya. Namun, tetap saja aku tak menemukan sesuatu yang menarik selain hamparan lavender yang menjulang tinggi ke atas.

Aku kemudian menatap Gisell kembali dan hal yang sama juga dilakukan olehnya. Hanya saja ia tersenyum menyeringai dan membuatku jadi was-was. Apalagi ia perlahan mendekat ke arahku dan kejadian selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Ia tiba-tiba mendorongku dari atas balkon.

Arrghhh!” aku menutup mataku rapat-rapat, takut akan kemungkinan terburuknya. Namun, pikiranku itu ternyata salah. Setelah sebelumnya aku sempat berpikir akan tewas mengenaskan dengan bersimbah darah karena terjatuh dari lantai dua, tapi untunglah hal itu tak terjadi karena aku masih bisa terselamatkan lantaran terjatuh di atas tumpukan bunga lavender. Namun, harumnya yang tajam justru menyeruak masuk ke hidungku hingga membuatku sesak nafas. Sebelum kesadaranku benar-benar hilang, aku sempat melihat Gisell tersenyum licik di atas sana. Setelahnya aku benar-benar tak sadarkan diri.

***

Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku rasanya sakit sekali, tetapi aku tetap berusaha untuk berdiri. Aku masih berada di tempat yang sama, hanya saja kali ini suasananya malam hari. Ini membuatku berpikir sejenak bahwa apa yang kualami tadi hanyalah mimpi buruk. Aku kemudian mengambil tas selempang milikku yang tergeletak di tanah. Saat hendak mengambil ponsel di dalam tas, tanpa sengaja aku menemukan setangkai bunga lavender di sana. Tak hanya itu, aku juga menemukan secarik kertas yang terselip di tangkainya. Entah kenapa rasanya seperti déjà vu, ya. “Gisell memang jahat, ya. Dia bahkan sampai mendorongku dari atas. -Grace.” 

Aku langsung bergidik ngeri saat membaca tulisan tersebut. Ternyata semua yang kualami tadi benar-benar nyata dan bukan mimpi. Saat itu juga tanpa pikir panjang lagi aku segera berlari sejauh mungkin meninggalkan tempat tersebut sampai rumah bergaya Belanda itu benar-benar hilang dari pandangan. 


Cerpen ditulis oleh Bella Sapitri, mahasiswi Sastra Indonesia, FIB 2022.




Kolom Komentar

Share this article