Cerpen

Passenger Seat

Pria di sebelahku menyeka air mata yang menitik di mata kirinya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Pria di sebelahku menyeka air mata yang menitik di mata kirinya. Sebelah tangannya memegang setir dengan sedikit gemetar. Matanya terlihat sendu seperti langit di luar. 

“Lo nangis, Gra?” 

Yang ditegur segera sadar dan memasang wajah bodohnya. Ia menggeleng kuat sembari menggaruk belakang kepalanya, entah benar-benar gatal atau tidak. 

“Gak kok, apaan sih,” ucapnya singkat. 

Aku ber-oh singkat kemudian tak bicara lagi. Suara berisik dari penyiar radio, kini berganti menjadi lantunan gitar lembut. 

“Ta, ingat lagu ini, nggak?” tanya Agra sambil mengetuk-ngetuk jarinya di setir. 

Aku mengangguk pelan. “Homesick, kan?” 

“Gue kangen banget sama Erlend dan Eirik.”

“Sudah lama ya. 2010 nggak, sih?” 

“Yup. Rasanya baru kemarin kita joget-joget lagu I’d Rather Dance With You,” celetuknya. 

“Lo aja kali, yang joget,” jawabku. 

“Apa perlu gue kasih liat lagi video lo lagi histeris?” godanya. 

“Plis, gak usah diingetin,” cetusku. 

Duo Kings of Convenience masih melantunkan lagu Homesick di radio. Sebuah keheningan tiba-tiba kembali menyeruak. Baik aku atau Agra, kemungkinan sedang memikirkan sesuatu. Mungkin itu adalah kenangan ketika SMA kelas tiga. Pada suatu malam di Maret 2010 silam, ketika kami berdua pergi menyambangi KOC di Sabuga Convention Hall setelah menabung beberapa minggu demi membeli tiket sendiri. 

Homesick menjadi penutup yang manis kala itu. Agra ikut menyanyi dengan sepenuh hati dan wajah hampir ingin menangis, seolah-olah dirinya kangen rumah yang berjarak hanya delapan kilometer dari hall ini. 

“Jadi, kenapa lo nangis?” kataku membuka suara. 

Ia menghentikan mobil perlahan karena sedang lampu merah. Agra lalu menatapku dengan senyum simpul di wajahnya. 

“Gue kangen banget sama lo, Dita. Itu aja kok.”

Kangen. Agak lucu mendengar kata tersebut dari mulutnya. Mau tak mau, aku jadi ikut tersenyum. 

“Kalau kangen, kenapa nggak ngehubungin?” 

“Pertanyaan lo nyebelin banget. Gue gak mau digebuk sama Bumi, terima kasih,” celetuknya. 

Aku mendesah pelan. Agak lama juga tidak mendengar nama tersebut. 

“Gue sama Bumi udah cerita lama. Santai aja kali.” 

Abraham Nuraga menggaruk kepalanya lagi. Kebiasaan tersebut selalu ia lakukan setiap kebingungan. Hal yang biasa dilakukannya sejak kecil ini sering membuatku gemas. Ingin rasanya kularikan jari-jariku pada kepala dan rambut-rambut cepaknya. 

“Ehm, Ta. Lo baik-baik aja, kan?” 

“Iya. Gue nggak apa-apa, thanks to you.”

Lagi-lagi obrolan kami terhenti. Mobil kembali berjalan. Lagu sudah berganti sejak tadi. Suara merdu John Mayer dalam balutan lagu You’re Gonna Live Forever in Me memenuhi seisi mobil. Aku bersenandung kecil. 

“Ta.”

Aku terkejut sedikit. “Ya, Gra?” 

Ia membetulkan posisi duduknya, lalu berkata dengan gugup. “Do we have a chance?” 

Tangisku ingin pecah saat itu juga. Air mata mulai menggenang di pelupukku. 

Aku mengulum bibirku, menggigitnya pelan. Kata-kata yang ingin kudengar dan kuharapkan keluar dari mulut Agra sejak bertahun-tahun lalu, kini benar-benar terjadi. Saat kami tengah diperjalanan menuju reuni bersama teman-teman kuliah kami. Saat aku sudah berpisah dari Bumi, pacarku selama lima tahun lamanya. Saat kupikir memang tidak ada lagi yang tersisa untuk kami berdua. 

Aku tak berani menatap matanya langsung. “Kenapa baru sekarang?” 

Ia tersenyum kecut. “Bumi sayang sama lo. Lo kelihatan bahagia sama dia.” 

Dia tidak sepenuhnya salah. Bumi Nilakandi memang laki-laki yang sangat baik. Aku seharusnya bahagia. Hanya saja, ia bukan orang yang tepat untukku. Lebih tepatnya, bukan dirinya yang kuharapkan membuatku bahagia. 

Aku terdengar seperti orang berengsek sekarang. Tapi aku harus menjawab pernyataan Agra saat ini. 

“Gra, perlu lo ketahui kalo gue paling bahagia saat gue sama lo,” sahutku. 

Agra tertegun. “Kalau gitu, kenapa lo-“ 

“Nerima Bumi? Karena lo nggak pernah nyatakan apa-apa, Gra. Gue bingung sama perasaan gue sendiri. Gue nggak mau bertepuk sebelah tangan, terus persahabatan kita sejak dulu jadi menjauh gitu aja.”

Agra menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia terdiam beberapa saat, sebelum membuka mulutnya lagi. 

“Ta, gue minta maaf. Tapi hal itu juga berlaku buat gue. Lo terlalu berharga buat gue, dan gue nggak mau egois hanya dengan perasaan ini sendirian. Gue selalu sayang sama lo,” akunya. 

Kusandarkan kepalaku pada jendela. Aku memandangi jalanan yang mulai basah karena hujan. Mendengar semua hal ini setelah sekian lama membuatku pusing. Kulirik Agra yang kini berwajah cemas. 

“Ta, maafin gue.”

Aku mengangkat kepala dan menggeleng. “Nggak apa, Gra. Kita berdua emang pengecut aja.” 

Agra tertawa. “Gue nggak akan menyangkal itu. Ternyata kita butuh keberanian bertahun-tahun untuk mengakui sesuatu, ya?” 

“Ya. Benar-benar sebodoh itulah kita berdua,” tukasku. 

Kami terdiam kembali. Mobil kembali dijalankan. Sepanjang sisa perjalanan, kepalaku berkecamuk dengan berbagai hal. Pertanyaan Agra tadi berenang di kepalaku. Do we have a chance?

Hujan semakin deras, membuat ia menaikkan volume radionya. Agra bersiul-siul bersama lagu yang diputar. Aku tersenyum mendengarnya. Hatiku merasakan sesuatu yang membuatku nyaman. 

Being around him is always my favorite thing to do.

“Agra.”

“Iya?” 

“Kalau mobil yang berhenti aja bisa jalan kembali, kenapa kita nggak?” 

Dirinya menoleh kaget padaku. Matanya menatapku tak percaya. Ia mengembalikan pandangannya pada jalanan sambil cengar-cengir. Sebelah tangannya mengacak-acak rambutku pelan. 

“Hm. Benar juga.”

Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswa Akuntansi, FEB 2017.



Kolom Komentar

Share this article