Cerpen

Panglima

Cerpen

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Sandro

Berdasarkan adaptasi dari legenda masyarakat Dayak.

Pada suatu hari, di sebuah desa kecil di pedalaman hutan Kalimantan, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Pune. Kakeknya merupakan seorang kepala suku di wilayah tersebut. Sementara ibunya adalah seorang pengrajin kain tenun dan ayahnya adalah petani. Pune sangat dekat dengan kakeknya. Mereka sering melakukan segala sesuatu bersama-bersama seperti berkebun, menanam padi, mengumpulkan getah karet sampai memancing ikan di sungai.

Suatu hari, saat sedang berenang di sungai. Pune melihat seekor burung Enggang yang terluka karena tembakan seorang pemburu liar. Merasa kasihan, Pune memutuskan untuk membawa burung itu pulang. Takut akan dimarahi sang ibu, Pune pun menyembunyikan hewan langka tersebut di belakang rumah.

“Tunggulah di sini, sobat. Aku akan kembali,” kata Pune.

Menjelang tengah malam saat semua orang terlelap, Pune mengendap-ngendap ke belakang rumah untuk mengobati burung Enggang yang terluka itu. Kemudian, Pune dikejutkan oleh kakeknya.

“Apa yang kau lakukan tengah malam begini? Kenapa kau belum tidur, Pune?” tanya sang kakek.

“Aku hendak mengobati burung Enggang yang aku dapatkan tadi, kakek,” jawabnya.

Pune pun mengobati burung tersebut dengan dibantu oleh kakeknya. “Apakah kakek pernah menceritakan tentang seorang pahlawan yang bertugas melindungi hewan dan tumbuhan di bumi kita ini?” tanya kakek.

Pune menggelengkan kepalanya.

“Masyarakat menyebutnya Panglima, ia terlahir dari setiap generasi untuk melanjutkan tugas Panglima generasi sebelumnya. Panglima adalah seorang pahlawan yang datang hanya saat situasi genting dan untuk membawa keseimbangan bagi kehidupan kita,” jelas kakeknya.

Keesokan hari, desa tersebut kedatangan para penebang liar yang meminta penduduk untuk pindah karena ingin memperluas lahan. Masyarakat menolak memberikan lahan yang sudah menjadi warisan turun-temurun keluarga mereka. Keributan pun tak terhindarkan. Para penebang diusir, dan mereka berjanji akan mendapatkan lahan itu bagaimana pun caranya.

Pada ulang tahunnya yang kedelapan belas, Pune dihadiahkan sebilah Mandau oleh kakeknya. Ia telah belajar banyak tentang kepemimpinan dari sang kepala suku. Dengan harapan dapat menggantikannya suatu hari nanti. Pune juga bersahabat baik dengan Burung Enggang yang dulu ditemukannya.

Suatu hari, Pune diperintahkan oleh ibunya mencari ikan ke sungai untuk merayakan keberhasilan panen. Tanpa sepengetahuannya, datanglah para penebang untuk menepati janji mereka.

Merasa terhina atas perlakuan masa lalu, membuat mereka berambisi untuk mendapatkan lahan tersebut. Mereka membakar desa berserta hasil panen, membunuh hewan ternak dan para penduduk termasuk ayah, ibu, dan kakek Pune.

Kedatangan mereka yang secara mendadak membuat kepala suku tidak bisa berbuat banyak. Rumah Lamin sepanjang lima puluh meter habis dilalap api dalam hitung menit. Burung Enggang memperingatkan Pune untuk pulang, tapi tidak diherankan karena ikan tangkapannya masih sedikit.

Sembari menebar jaring, Pune terus memikirkan tentang seorang pahlawan yang diceritakan kakeknya. Di sisi lain, pembantaian terus terjadi di desa. Rintihan penduduk yang kesakitan memekakkan telinga. Begitu juga bau hangus yang tercium sedemikian jauhnya.

Burung Enggang terus memperingatkan Pune untuk segera pulang. Jauhnya jarak membuat Pune tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia terus memikirkan tentang pahlawan yang diceritakan kakeknya sewaktu ia masih kecil.

“Apa benar ada pahlawan bernama Panglima yang bertugas untuk menjaga keseimbangan? Huh, kakek ada-ada saja!” ujar Pune dalam hati.

Lelah diperingatkan oleh Enggang terus-menerus, akhirnya Pune mengakhiri buruannya dan bersiap untuk pulang. Dengan Mandau yang diikatkan di pinggangnya dan ikan buruan di kedua tangannya, ia pun pulang ditemani Enggang yang terlihat khawatir. Untungnya, para penebang telah lama pergi meninggalkan desa.

Bau hangus yang semakin menusuk, asap hitam meninggi di atas desa. Pune menyadari sesuatu dan bergegas. Ia dikejutkan oleh mayat penduduk yang berserakan dan beberapa telah hangus. Kesedihan terpancar dari matanya, terlebih lagi saat melihat kedua orang tua yang hampir tidak dikenalinya.

Ia mencoba mencari kakeknya. Sang kepala suku tergeletak kesakitan dengan darah di seluruh tubuhnya.

”Jangan sia-siakan hidupmu, Pune. Berjuanglah untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kamu akan selalu menjadi cucu kesayanganku, Pune,” kata terakhir sang kepala suku.

Pune mencapai titik terendah dalam hidupnya. Warna matanya berganti menjadi hitam pekat, Mandau miliknya melayang bersama dengan milik warga yang tewas. Burung Enggang mengibaskan sayapnya. Kepala suku sekaligus Panglima yang baru telah terpilih. Seorang Panglima mampu mengidentifikasi teman atau musuh, levitasi dan keahlian menggunakan Mandau.

Sesampainya di perkemahan para penebang, pembantaian pun tak terelakan. Pune menghabisi siapa pun yang terlihat. Pune mengingat perkataan kakeknya, ia akan berjuang untuk mendapatkan yang ia inginkan, dengan anggapan ‘mata dibayar mata.’ Beberapa penebang mencoba lari, namun tidak cukup cepat untuk menghindari Mandau miliknya.

Ada juga yang mencoba melawan, tetapi justru mendapat imbalan sayatan pada leher mereka. Tidak hanya di satu perkemahan, ia menyerang seluruh perkemahan penebang liar yang tersebar di seluruh hutan Kalimantan. Kekuatan seorang Panglima didasarkan pada roh nenek moyang yang mengonsumsi rasa amarah.

Semakin tinggi amarah Pune, semakin sulit untuk menjadi dirinya semula. Burung Enggang yang menyadari hal itu mencoba memperingati Pune. Tetapi, ia terlalu menikmati kekuatan barunya, dan menghabisi para musuh. Burung Enggang terus mencoba menyadari Pune. Merasa terganggu, secara tidak sengaja ia mengarahkan Mandau ke arah sahabat baiknya tersebut.

Seorang Panglima seharusnya melindungi hewan dan tumbuhan serta membawa keseimbangan, bukan sebaliknya. Kematian Enggang menyadarkan Pune. Ia kehilangan tujuan setelah kematian keluarga dan sahabat baiknya. Sembari menangis, Pune melarikan diri dan tinggal di hutan sekaligus melatih kekuatan barunya.

Ditulis oleh F. Sandro Asshary, mahasiswa FIB 2018.



Kolom Komentar

Share this article