Cerpen

Matinya Seorang Pengarang

Sebuah cerpen berjudul "Matinya Seorang Pengarang", karya Fitra Wahyuliansyah, mahasiswa Sastra Indonesia (2012), Fakultas Ilmu Budaya. (Ilustrasi: weandthecolor.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


MUKANYA pucat, kelopak matanya hitam, seolah-olah tidak tidur berhari-hari. Dia mengaku memang susah tidur. Kami berbincang-bincang di gazebo, tapi tidak lama, dia menyodorkan sebuah jurnal.

“Wah, apaan nih?” Aku cengengesan.

“Simpan saja,” katanya, “Siapa tahu kau membutuhkan inspirasi.”

Aku segera pulang begitu dia pergi dan baru menyentuh jurnalnya setelah bangun tidur. Dan cerita ini aku temukan di akhir halaman.

1.

AKU BERPAPASAN dengan hujan di depan gang. Dia mengenakan sejenis mantel yang sering kulihat dipakai artis-artis Korea dan celana jeans berwarna hitam yang sedikit ketat, juga robek pada bagian lututnya. Ia berjalan tergesa-gesa sambil memegang tas biola, sepertinya akan berlatih musik ansambel di kampus. Aku sapa, perempuan itu diam saja, dan melewatiku tanpa isyarat apapun—seolah kami adalah dua orang asing yang sepintas dipertemukan oleh nasib.

Saat itu aku ingin berpaling dan meraih tangannya, kemudian mengatakan apa yang seharusnya dikatakan seorang lelaki yang memendam cinta. Tapi itu tidak kulakukan, terkesan konyol—seperti scene dalam sinetron remaja saja.

Tapi setelah lama kupikirkan, semestinya itulah yang kulakukan. Bukannya terus berjalan dan menerima nasib itu menjadi hantu.

2.

TIDAK ADA kata: terlambat. Sama halnya dengan nasehat yang ada di buku-buku motivasi, kalimat itu juga keluar dari banyak mulut orang, mungkin dari buku-buku itulah seorang kawan mendapatkan nasehat yang berikutnya diwariskan padaku. Kemudian dibumbui dengan tambahan kata-kata:

“Selama janur kuning belum melengkung.”

Ada banyak kesempatan untuk mencoba mendekati hujan. Kebetulan kami berada di jurusan yang sama, meski berbeda kelas. Salah satunya ketika hujan duduk sendirian di gazebo halaman kampus. Aku bisa berpura-pura menanyakan perihal mata kuliah padanya, kemudian membangun obrolan yang menarik sesuai arahan buku Kiat-Kiat PDKT yang harganya lumayan mahal. Ada empat arahan buku itu yang mesti kutaati.

Pertama, bersikap gentle. Jangan grogi saat berbicara dengan doi, kamu bisa kehilangan respek hanya gara-gara tidak percaya diri. Kedua, be nice. Jadilah pribadi yang asyik, itu menjadi nilai tambah buatmu di mata doi. Ketiga, bertanya tapi bukan wawancara. Gebetanmu akan lari kalau pertanyaanmu seperti seorang wartawan. Terakhir, jangan lakukan ketiga langkah tersebut kalau kamu belum mandi.

“Pernah dengar six degrees of separation?”

Ia menggeleng, lalu bertanya: “Memang apa itu?”

Aku pun menjelaskan teori yang tidak sengaja kutemukan di wikipedia itu, kemudian menyambungnya dengan kata-kata yang manis:

“Ada enam orang yang sudah kutemui untuk bisa melihatmu tersenyum hari ini.”

Ya, ini hanya basa-basi sebelum meminta pin BBM atau ID Line, dan setelah berhari-hari chatting aku mengajaknya kencan; ke sebuah kafe atau menonton film Ada Apa Dengan Cinta 2 di bioskop atau melakukan keduanya sekaligus, ya semacam itulah.

Lalu ada kencan kedua, ketiga, dan seterusnya sampai kami memutuskan menjadi kekasih. Indah, bukan?

3.

“APA YANG kau sukai darinya?”

“…”

“Hei, kau dengar tidak.”

Aku mendongak. Kawanku mengulang pertanyaannya dan kali ini mendesakku untuk menjawab.

“Aku tidak tahu.”

Dahinya mengerut, itu bukan jawaban menurutnya.

“Kau tidak mungkin mencintai seseorang tanpa ada alasan, misalnya saja, kamu menyukainya karena dia cantik.” Sambungnya, “Perempuan biasanya menanyakan alasan itu loh, bro.”

Wajah yang oval, mata yang berbentuk seperti biji badam, hidung yang mancung, dan ginsul yang terlihat setiap kali memamerkan senyum. Tapi, bukan itu jawaban yang kuberikan andai hujan bertanya:

“Apa yang kau sukai dariku?”

Pastilah tanda lahir pada bola mata kananmu, kujawab. Barangkali hujan akan menawarkan ciuman setelah itu, sebagai hadiah karena membuatnya tersenyum.

Tapi apakah cinta memang mesti memerlukan alasan? Sebab, jika alasan itu sudah tak ada, apakah kita akan tetap tinggal?

4.

AKU BARU menyelesaikan membaca The Sorrow of Young Werther ketika kabar itu masuk ke dalam teleponku. Aku masih tak percaya, kucari informasi itu namun semua mengarah pada hal yang sama.

Setelah keluar dari gang. Karena tergesa-gesa, saat hujan menyeberang jalan, ia tidak memerhatikan sebuah mobil yang melaju. Tubuhnya terhempas ke sudut jalan. Orang-orang datang memberi bantuan, tapi ia tetap tak tertolong.

Hujan pun abadi.

Setiap malam aku merenung sambil mendengarkan lagu yang sama, seandainya aku menahannya saat itu, sebentar saja. Atau melakukan persis apa yang selama ini kubayangkan. Tapi nasib seseorang memang tidak gampang diduga. Siapa pun akan mati pada akhirnya, aku tahu, meski begitu aku masih tak bisa menerima kepergiannya.

I wake and I find you asleep
 In the deep of my heart, dear

Kurasa, aku juga akan menyusul, menemui hujan.

***

“Cerita cinta tidak akan menang, kalau tidak diakhiri dengan tragedi.” Seorang penyair muda yang belum terkenal pernah berkata demikian padaku. Aku setuju.

Tapi ini hanya cerita yang sentimentil. 

Ditulis oleh Fitra Wahyuliansyah, mahasiswa Sastra Indonesia (2012), Fakultas Ilmu Budaya.



Kolom Komentar

Share this article