Berita Kampus

Tuai Kritik Pengesahan RUU PKS

Hingga kini kehadiran RUU PKS masih menuai pro kontra. (Sumber foto: https://kabar24.bisnis.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Polemik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hingga kini belum juga menemui titik terang. Padahal rancangan ini sudah berjalan hampir lima tahun. Kini, santer terdengar penolakan RUU PKS dari berbagai pihak. Ribuan orang menandatangani petisi penolakan RUU PKS. Salah satu alasan mereka mengecam RUU ini lantaran dianggap mendukung zina dan lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Hal ini membuat sejumlah kaum feminis geram, pasalnya RUU PKS justru dinilai mengatur tentang perlindungan kepada kaum perempuan.

Menolak Pengesahan RUU PKS

Maya Rahmana Ketua Pemberdayaan Perempuan KAMMI Kaltim-Kaltara menolak keras adanya RUU PKS. Menurutnya, masih banyak permasalahan dalam aturan tersebut. Salah satunya, definisi kekerasan yang diusulkan pada pasal 2 masih banyak hal-hal yang ibaratnya multitafsir. Dikatakannya, jika RUU ini nantinya disahkan, akan menjadi pasal karet seperti UU ITE yang terkesan melindungi pelaku.

Ia juga menilai konsep dari kekerasan yang sebenarnya pun berbeda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) kekerasan kata dasarnya adalah keras, dalam hal kekerasan seksual berarti adanya pemaksaan. Berbeda dengan konsep kejahatan yang berarti melanggar norma agama dan merupakan perbuatan dosa. Dari dua kata tersebut, jelas maknanya akan berbeda. Maya beranggapan seandainya pemilihan kata yang digunakan adalah kejahatan, bukan kekerasan yang dianggap akan mengakomodir pelaku-pelaku kejahatan seksual, maka bisa disepakati. Maya pun memertanyakan Komnas perempuan akan penggunaan kata tersebut.

“RUU PKS ini sudah direvisi empat sampai lima kali di Komisi VIII DPR RI, tetapi tidak mengubah konsep dari pada kekerasan yang diusung. Artinya ada penumpang gelap dalam RUU PKS ini,’’ tuding Maya.

Kritik Badan RUU PKS

Dalam pasal 1 yang dituangkan dalam RUU PKS tertulis, “Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh hasrat seksual seseorang dan atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik seksual, organ secara ekonomi, sosial budaya atau politik”.

Ada beberapa hal yang menjadi poin kritik Maya untuk pasal 1. Pertama,definisi dari kekerasan seksual yang diusung ini tidak fokus dan melebar ke permasalahan luar. Karena RUU ini turut mengatur tentang pernikahan, kontrasepsi, dan aborsi. Kedua, penjelasan pasal 1  tidak memberikan batasan mengenai istilah ‘merendahkan’. Padahal, dari kata tersebut orang-orang cenderung subjektif.

Ketiga, tidak memperhitungkan risiko korban dapat kehilangan nyawa atau tindakan kejahatan seksual. Memasukkan unsur hasrat seksual yang luas yang dapat diimplikasikan pada pelaku seksual yang menyimpang. Maksudnya dari kata hasrat seksual kita tidak boleh menghina hasrat seksual seseorang.

Misalkan ada orang punya hasrat seksual menyukai sesama jenis, kemudian dikritik atau diberikan pemahaman bahwa itu adalah hal yang menyimpang. Tetapi dengan adanya kata ‘menghina’ ini, seseorang yang awalnya mengkritik dan meluruskan kemudian dikenakan pasal kekerasan seksual.

“Jadi ibaratkan kalau kita mengkritik orang yang LGBT itu kita tidak boleh, termasuk dalam definisi kekerasan seksual itu. Kenapa RUU ini bisa melegalkan LGBT,” ujarnya.

Keempat, adanya penggunaan kata ‘relasi kuasa’ yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi pasangan suami istri yang dinilai berpotensi mengganggu ketahanan rumah tangga. RUU PKS menginginkan suami istri memiliki posisi yang setara dan semua hal harus dalam persetujuan kedua belah pihak. Padahal menurut Maya, baik perempuan maupun laki-laki memiliki porsinya masing-masing, seperti yang telah diatur dalam ajaran Islam. Termasuk dosa apabila istri tidak menuruti perintah suami. Tapi, dari RUU PKS dinilai justru bertentangan.

Kemudian dalam pasal 11, dituliskan sembilan jenis kekerasan seksual, yaitu  pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

“Nah kata pemaksaan ini yang kemudian multitafsir. ‘Pemaksaan aborsi’ berarti aborsi secara sukarela gapapa dong?” duganya.

“Sedangkan angka aborsi di Indonesia itu 3,5 juta setahunnya dan di Kalimantan sendiri cukup tinggi. Rata-rata di Kalimantan yang aborsi di luar pernikahan itu adalah anak-anak remaja, anak muda, karena pergaulan bebas hamil diluar nikah yang kemudian dia malu karena enggak ada yang tanggung jawab akhirnya dia aborsi,” tambahnya.

Maya menganggap, RUU PKS justru melindungi orang yang melakukan seks bebas dan sama saja melegalkan aborsi secara sukarela. Selanjutnya, pemaksaan pelacuran yang berarti boleh saja prostitusi merajalela di mana-mana. Sedangkan di Kaltim pengadaan prostitusi sendiri mencapai hampir di tujuh puluh lokasi. Yang rata-rata berada dekat dengan wilayah pertambangan.

Adanya penolakan RUU PKS ini bertujuan untuk menghindari semakin banyaknya kerusakan moral yang terjadi, terlebih dengan adanya kata pemaksaan yang dinilai berpotensi melindungi LGBT dan berzinah.

“Menurut saya, Indonesia tidak memerlukan RUU PKS. Karena melegalkan perzinahan. Kalau untuk aborsi itu memang sudah ada RUU-nya dari aborsi. Pemaksaan pernikahan ini sebenarnya tidak perlu karena RUU pernikahan itu sudah ada tinggal pelaksanaannya saja yang diperketat, kemudian tentang perzinahan itu juga sudah ada dan yang harus direvisi adalah KUHP. RUU yang masih dalam konteks pernikahan dan di luar pernikahan itu juga diatur di negara kita,’’ ungkap Maya.

Menurut sisi kontra, RUU PKS juga tidak menyebutkan aturan yang jelas untuk menghukum para pelaku penyimpangan seksual ataupun kejahatan seksual. Terlebih lagi, nilai-nilai RUU PKS diadopsi dari barat sehingga tidak sesuai dengan nilai-nilai keyakinan di Indonesia. Dalam RUU PKS terlihat kering nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Salah satu alasan disebut kering dari ideologi bangsa karena, dalam sila pertama secara eksplisit  menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan warga yang beragama. Sedang di pasal 11 hanya membahas tentang menjunjung tinggi atas hak asasi manusia(HAM), tetapi mengesampingkan norma dan agama, sehingga tidak sejalan dengan keyakinan Indonesia. Dalam RUU PKS seolah perempuan diberi kebebasan (dalam hal berpakaian) dan diberi kontrol seksual.

“Keadaan terburuk misalnya, dia diperkosa kemudian dia dikritik atau dihina karena pakaiannya yang vulgar itu. Dalam RUU PKS ini masuk dalam kekerasan, padahal tidak melihat akar permasalahannya. Kalau misalnya RUU PKS ini disahkan, ibaratnya kita tidak boleh mengkritik penampilannya (pakaian) gitu. Mungkin memang tidak dijelaskan secara gamblang di sini, tapi ketika diamati bisa menjadi multitafsir dengan hal-hal yang seperti itu,” kata Maya.

Inilah yang menjadi  yang menjadi keresahan bagi kubu kontra. Mereka menilai akan lebih banyak kerusakan moral akibat perzinahan yang terjadi. Bagi Maya, menolak bukan berarti tidak peduli dengan perempuan Indonesia yang menjadi korban hari ini. Justru dengan menutup pintu kemaksiatan yang semakin merajalela karena perbuatan zina dari segi apa pun.

“Solusi kongkrit dari saya, ubah konsep kekerasan menjadi kejahatan seksual. Revisi KUHP pidana perluasan tentang perzinahan (yang  hari ini diatur hanya dalam konteks pernikahan) sedangkan perzinahan di luar pernikahan tidak diatur. Kita tidak butuh RUU PKS yang malah mengakomondir perzinahan, LGBT, dan aborsi sukarela,” tegas Maya. (ann/ira/adl)



Kolom Komentar

Share this article