Berita Kampus

Supersemar sebagai Pelicin Orde Baru

Sudah lebih setengah abad, fakta sebenarnya terkait keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966 masih jadi misteri sejarah kelam Indonesia. (Sumber foto: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA -  Sudah lebih setengah abad, fakta sebenarnya terkait keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966 masih jadi misteri sejarah kelam Indonesia. Bagaimana tidak, selama 51 tahun, naskah asli dari surat sakti yang menjadi titik balik pergantian kekuasaan dari Rezim Orde Lama ke Orde Baru tersebut belum juga ditemukan.

Seperti dimuat Tirto.id, pada 2013 terdapat empat naskah Supersemar yang disimpan pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Satu dari Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Puspen TNI AD). Satu dari Akademi Kebangsaan, dan dua dari Sekretariat Negara. Namun berdasarkan uji laboratorium forensik, semuanya adalah palsu.

Terlepas dari segala kontroversi yang membungkus peristiwa Supersemar sejak 1966 silam, kita patut memaknai hal tersebut sebagai pembelajaran kritis dalam napak tilas perjalanan bangsa.

“Supersemar masih menjadi ihwal salah satu sejarah nasional Indonesia yang masih gelap. Hari ini kita melihat Supersemar telah menjadi pembelajaran kritis yang harus kita maknai,” ucap Rizaldo mahasiswa pendidikan sejarah yang kini menjabat sebagai Gubernur BEM FKIP Unmul.

Hal yang Melatarbelakangi Wahyu Supersemar

Stabilitas keamanan Indonesia terutama Ibukota Jakarta sedang genting pasca peristiwa pembunuhan petinggi TNI AD dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI) atau yang juga mafhum disebut Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) pada 1965.

Enam jenderal TNI yakni Ahmad Yani, Raden Suprapto, Mas Tirtodarmo Haryono, Siswondo Parman, Donald Isaac Panjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo menjadi korban peristiwa nahas tersebut dan dibuang ke dalam Lubang Buaya.

Di bawah komando Menteri Panglima Angkatan Darat, Soeharto kemudian melakukan aksi penumpasan terhadap gerakan tersebut. Semua anggota, pendukung dan simpatisan PKI, dibunuh dan dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali sepanjang Oktober-Desember 1965.

Tidak diketahui berapa angka pasti korban yang meninggal dalam genosida tersebut. Perkiraan konservatif menyebutkan 500 ribu bahkan 1sampai 3 juta orang menjadi korban dalam pembunuhan massal tersebut.

Lima bulan setelah peristwa G 30 S/PKI, pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Supersemar. Ia memerintah Soeharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Soeharto untuk melarang keberadaan PKI.

Detik-Detik Penandatanganan Supersemar

Pada 11 Maret 1966 pagi, Presiden Soekarno meninggalkan sidang kabinet di Istana Negara Jakarta menuju Istana Bogor karena situasi yang tidak aman. Banyak pasukan tak dikenal, di sekeliling Istana.

Di luar istana, Jakarta sedang bergolak. Hampir tiap hari terjadi demonstrasi mahasiswa. Lima bulan setelah peristiwa G 30 S/PKI, penyelesaian politik yang dijanjikan Presiden Soekarno belum juga terjadi.

Meski gerakan PKI telah ditumpas, secara resmi PKI belum dibubarkan. Sementara itu, situasi ekonomi semakin memburuk. Pemerintah pada 13 Desember 1965 memotong nilai uang dari 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah. Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak.

Aksi-aksi mahasiswa semakin besar karena tidak puas dengan sikap Soekarno yang dianggap melindungi PKI dan menolak desakan untuk membubarkan partai itu.

Ketika sampai di Istana Bogor, Soekarno didatangi oleh tiga jenderal utusan Soeharto, yaitu Basoeki Rahmat, M. Jusuf, dan Amir Machmud. Namun, menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Sukardjo Wilardjito, bukan tiga, melainkan empat jenderal dengan M. Panggabean. Dan mengatakan Soekarno menandatangani Supersemar di bawah todongan pistol.

Apakah naskah Supersemar dirumuskan saat di Istana Bogor bersama Soekarno atau sudah disiapkan oleh para jenderal juga masih menjadi kontroversi.

Isi Supersemar itu berbunyi: “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”.

Atas nama presiden, Soeharto kemudian mengumumkan kelahiran Supersemar dan mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membubarkan PKI. Sejak itu PKI menjadi organisasi terlarang di seluruh seantero nusantara. Setahun berikutnya pada 12 Maret 1967 setelah Nawaksara Soekarno ditolak MPRS, Soeharto ditetapkan menjabat sebagai presiden. Hal itu menandainya rezim yang panjang dan berdarah bernama Orde Baru. (krv/wal)



Kolom Komentar

Share this article