Berita Kampus

Sempat Menjadi Polemik, Apakah Impor Beras Memang Perlu?

Polemik kebijakan impor beras

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : CNN Indonesia

SKETSA – Pada Maret lalu, wacana impor beras sebanyak 1 juta ton yang digagas pemerintah memicu pro dan kontra di berbagai kalangan. Dilansir dari tempo.co, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto mengatakan jika langkah tersebut diperlukan guna menjaga stabilitas pasokan dan harga di Indonesia. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi juga menyatakan jika impor ini tidak akan mengganggu harga gabah. Rencananya, beras impor tersebut akan digunakan sebagai iron stock atau cadangan.

Sementara, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso menyebut jika kebijakan ini dapat menyulitkan pihaknya dalam mendistribusikan beras. Dengan referensi keputusan impor di 2018, hingga kini masih ada beras impor yang belum tersalurkan dan mengalami penurunan mutu.

Di tengah rencana impor ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memaparkan data prognosa mengenai ketersediaan pangan pokok periode Januari-Mei 2021. Atas data tersebut, ia menegaskan jika neraca pangan pokok khususnya untuk komoditas beras dalam keadaan cukup. Pada data tersebut, tercatat stok beras pada akhir 2020 sebesar 7,38 juta ton dengan perkiraan produksi dalam negeri sebesar 17,51 juta ton.

Lantas, pemerintah Indonesia dan Thailand dikabarkan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) terkait pengadaan beras pada akhir Maret dengan nilai 1 juta ton. Di mana perjanjian ini merupakan langkah kedua negara untuk saling memenuhi pasokan beras. Mengutip kompas.com, Menteri Perdagangan Thailand Jurin Laksawisit mengungkapkan jika perjanjian yang diteken adalah pasokan beras asal Thailand ke Indonesia dengan kadar retak 15-25 persen alias beras medium. Impor beras yang dilakukan Indonesia juga dilakukan dengan syarat tertentu, yakni tergantung produksi beras kedua negara tersebut dan harga beras dunia.

Adanya saling silang di pemerintah pusat terkait hal ini membuat khawatir sejumlah pemerintah daerah. Mereka sepakat untuk menolak impor beras karena mencemaskan harga beras petani lokal yang akan semakin anjlok. Mengutip tempo.co, Presiden Joko Widodo kemudian memastikan jika Indonesia tidak akan mengimpor beras hingga Juni mendatang. Ia mengakui adanya MoU tersebut, tetapi kesepakatan tersebut hanya bersifat sementara untuk berjaga-jaga dalam situasi pandemi yang tak dapat diprediksi.

“Berasnya belum masuk. Saya pastikan beras petani akan diserap oleh Bulog dan saya akan segera memerintahkan Menteri Keuangan agar membantu terkait anggarannya. Saya tahu, kita memasuki masa panen dan harga beras di tingkat petani belum sesuai diharapkan,” tegas Jokowi.

Berbagai respons pun datang dari praktisi agraria, akademisi, petani hingga masyarakat. Salah satunya datang dari Fakultas Pertanian (Faperta) Unmul, yakni Prof. Bernatal Saragih yang tidak sepakat akan impor beras. Dihubungi Sketsa pada Jumat (2/4), dengan tegas ia menolak keputusan pemerintah.

“Untuk periode Maret tidak perlu impor. Karena stok beras masih cukup hingga Juni,” paparnya.

Dalam kajian milikinya melalui Bernatal Saragih ResearchGate, rendahnya harga gabah saat ini dinilai tidak sebanding dengan harga produksi, pupuk serta tenaga kerja yang dilakukan selama masa panen. Pada 2019, Indonesia mengalami surplus beras sejumlah 1,9 juta ton ditambah dengan cadangan Bulog sebanyak 883.585 ton. Akumulasi kembali terhitung dari pemasukan hasil panen pada Januari hingga Maret 2021 yang mencapai 14 ton. Sehingga, pasokan beras masih lebih dari cukup dengan jumlah 16,8 juta ton.

“Perkiraan, kebutuhan kita dari Januari hingga Maret adalah 6.302.101 ton. Maka, kita memiliki beras 10,5 juta ton yang artinya masih cukup hingga Juni 2021,” ungkapnya.

Ia berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan nasib petani serta mengimbau harga gabah menjadi stimulan bagi petani dalam memproduksi hasil panen.

Mahasiswa juga turut memberikan tanggapannya. Nur Widya Sari, mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian 2019 ini menyayangkan langkah yang hendak ditempuh pemerintah bila terimplementasi. Baginya, petani akan bekerja lebih keras untuk memproduksi beras serta bersaing dengan produk luar.

“Impor beras itu bisa kita lakukan, tapi kalau memang kita sudah benar-benar menyerah dan tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dari produksi di dalam negeri,” tukasnya, Jumat (2/4).

“Maret sampai April itu puncaknya panen raya dan cadangan beras masih banyak, jadi kayak kurang tepat aja gitu,” tambahnya.

Tanggapan serupa juga disampaikan oleh Risky Muhammad Ridho. Diwawancarai Sketsa pada Rabu (7/4), mahasiswa Agroteknologi 2018 ini menolak wacana pemerintah terhadap impor beras. Menurut Ridho, pemerintah seharusnya dapat berfokus pada penyerapan hasil panen guna membantu petani dalam memenuhi kebutuhan pangan negara.

“Kita tidak perlu melakukan yang namanya impor beras. Karena dalam kondisi panen raya yang surplus di beberapa daerah, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan beras di tiap daerah saya rasa cukup,” pungkasnya. (jhr/fsf/syl/len)



Kolom Komentar

Share this article