Berita Kampus

Permen PAN RB Jabatan Fungsional Terbit, Bagaimana Dampaknya bagi Dosen?

Permen PAN RB menambah beban administratif para dosen dan menghambat kemajuan akademik

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: unmul.ac.id

SKETSA — Beberapa waktu lalu, ribuan dosen beramai-ramai menandatangani sebuah petisi sebagai bentuk protes di laman change.org. Adanya petisi tersebut merupakan buntut dari kebijakan baru Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN & RB) Nomor 1 Tahun 2023 yang dinilai menyulitkan banyak dosen. 

Bagaimana tidak, dalam waktu yang begitu singkat mereka dituntut untuk segera mengklaim kinerja serta mengunggah berkas-berkas pendukung secara manual. Konsekuensi bahwa kinerja mereka terancam tidak diakui akan mereka dapatkan jika tidak diunggah sebelum tenggat waktu yang ditentukan, yaitu pada Sabtu (15/4) lalu. Hal ini pun membuat banyak dosen memutuskan untuk menandatangani petisi tersebut.

Petisi itu pun kemudian ditanggapi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) dalam rilis pers Kementerian PAN & RB dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada Jumat (14/4) lalu. Surat edaran pun dikeluarkan sebagai bentuk respons yang menyatakan bahwa data kinerja dosen tidak harus diunggah ulang dan akan diambil dari Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTEM).

“Surat Edaran Nomor 0275/E/DT.04.01/2023 membatalkan Surat Edaran yang terbit sebelumnya. Rekan-rekan dosen dapat mengacu pada surat edaran yang terbit 13 April 2023 tersebut,” ucap Nizam, Direktur Jenderal Diktiristek.

Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023 sendiri merupakan peraturan yang hanya berlaku untuk dosen dengan status aparatur sipil negara (ASN), yaitu dosen dengan status pegawai negeri sipil (PNS) dan dosen dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Peraturan tersebut mengandung berbagai ketentuan dan peraturan terbaru terkait Jabatan Fungsional (JF) seperti ketentuan promosi atau kenaikan jenjang JF hingga mengatur ketentuan terkait konversi Predikat Kinerja Pejabat Fungsional dalam perolehan angka kredit tahunan.

Kebijakan baru tersebut memicu banyak penolakan dari para dosen di Indonesia sebab dampaknya yang akan membebani dosen akibat adanya kerja administratif. Kreativitas dosen dinilai berpotensi akan terganggu jika terus berkutat dengan urusan administratif. Dosen yang seharusnya mengembangkan potensi mereka dengan menulis jurnal atau melakukan pekerjaan akademik lainnya bisa terhambat dengan mengurus hal teknis tersebut.

Selain itu, peraturan ini dipahami memiliki tujuan yang mengarahkan dosen secara fungsional tidak lagi menjalankan tugasnya secara individu, namun menjadi bagian dari tujuan institusinya, sehingga hal ini dapat mengebiri kebebasan akademik yang selama ini dimiliki oleh dosen.

Menanggapi kebijakan tersebut, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengadakan webinar pada Selasa (16/5) lalu.

Diskusi daring dengan tajuk “PermenpanRB dan Dampaknya pada Dosen” tersebut diisi oleh beberapa dosen universitas di Indonesia yang juga tergabung dalam ALMI. Berikut beberapa poin yang Sketsa himpun berdasarkan hasil diskusi dalam agenda tersebut. 

Sisi Kesejahteraan Dosen

Dalam pemaparan Kanti Pertiwi, dosen FEB Universitas Indonesia (UI), menyebut beberapa keluhan dari para dosen di Indonesia. Mulai dari kinerja serta kualitas dosen yang kerap menjadi perhatian penuh oleh pemerintah, namun berbeda dengan masalah kesejahteraan dosen. Masalah tersebut dinilai sebagai sesuatu yang masih jarang dibicarakan atau dipertimbangkan. 

Kesejahteraan para dosen tersebut dapat dikaitkan dengan masih banyaknya upah dosen yang tak layak sejak zaman dahulu hingga sekarang. Rendahnya pendapatan yang didapatkan ini kemudian menjadi kontribusi dalam persoalan lain dalam dunia pendidikan tinggi seperti halnya rendahnya budaya riset akademik.

“Karena riset kan tidak menghasilkan imbalan secara ekonomi, secara instan ya, seperti kerja-kerja lainnya yang misalnya kita ikut jadi panitia nanti ada honor, gitu ya. Mengisi seminar nanti dapat juga honor narasumber.” Ulas Kanti Pertiwi, dosen FEB Universitas Indonesia (UI). 

Adapun gerus kebebasan akademik turut menjadi polemik dalam hal minimnya kesejahteraan dosen. Berlanjut dari rendahnya gaji yang didapat, maka akan berdampak pada hubungan yang berpotensi tidak sehat antara penguasa di lembaga pemerintahan maupun di sektor swasta dengan pekerja kampus, salah satunya adalah dosen.

Berdasarkan riset yang dilakukan Kanti bersama dosen lainnya, tidak ada aturan yang melindungi dosen sebagai pekerja yang menyebutkan minimum upah bagi dosen. Adanya kondisi ini menyebabkan ketidakpastian bagi para dosen, terutama untuk mereka yang baru meniti karir. 

Dosen-dosen yang statusnya masih calon pegawai negeri sipil (CPNS) butuh waktu sampai dua tahun untuk bisa mengikuti sertifikasi dosen di mana terdapat batasan kuota di dalamnya. Hal itu merupakan salah satu bentuk adanya ketidakberpihakan peraturan pada dosen sebagai pekerja.

Dengan kehadiran kebijakan baru Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023 tersebut, kesejahteraan dosen dinilai menjadi tidak pasti. Itu disebabkan karena peraturan tersebut membuat dosen harus menunggu waktu yang cukup lama dan melewati proses yang cukup panjang untuk mencapai puncak karier tertingginya. 

Adanya hambatan untuk menduduki jabatan ke jenjang yang lebih tinggi dalam waktu cepat kemudian berdampak pula terhadap gaji yang akan didapatkan oleh para dosen. Hal ini berpotensi membuat profesi dosen akan ragu untuk dijadikan sebagai pekerjaan utama karena secara penghasilan, dosen akan mendapat upah yang lebih besar di luar dengan kualifikasi yang dimiliki.   

Catatan Hukum

ALMI kemudian memberi catatan hukum yang disampaikan oleh Fachrizal Afandi, dosen FH Universitas Brawijaya (UB). Dalam catatan tersebut, kebijakan baru ini dipandang tidak mencerminkan proses partisipasi bermakna sebagai prasyarat yang diberikan landasan konstitusionalnya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Partisipasi bermakna dimaksudkan sebagai dialog dengan pihak Dirjen Dikti sebelum memberlakukan peraturan baru tersebut.

“Kenapa ada pasal ini, kenapa ada pasal itu harus dijelaskan. Kenapa dosen tidak bisa naik pangkat 2 tahun sekali kayak dulu? Kenapa dosen, misalnya ya, tidak bisa mengajukan guru besar? Kenapa tidak boleh lagi loncat jabatan? Kenapa dari asisten ahli tidak bisa langsung Lektor Kepala? Itu harus dijelaskan,” sebut Fachrizal.

Ia menyebut bahwa aturan tersebut tidak cermat dan menimbulkan ketidakpastian dalam penilaian Jabatan Fungsional dosen. Ketika aturan teknis baru belum dibentuk, tetapi sudah memaksa para dosen untuk mengikuti aturan baru tersebut. 

Selain itu, adanya tenggat waktu yang cukup singkat hingga tidak ditemukannya naskah akademik Permen PAN &  RB pun menjadi alasan aturan tersebut dinilai belum tepat untuk diberlakukan. (tha/zrt/una/dre)



Kolom Komentar

Share this article