Berita Kampus

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Potret Sekolah Inklusi di Samarinda

Sekolah Inklusi bagi anak berkebutuhan khusus

Sumber Gambar: Nindi/Sketsa

SKETSA – Nampak ragu-ragu menyapa, perempuan usia 40 tahunan itu menyunggingkan senyum di balik masker yang dikenakan. Di sampingnya, berdiri seorang anak laki-laki yang memakai seragam sekolah–kain motif khas sarung Samarinda dipadupadankan dengan celana panjang berwarna merah. Awal-bukan nama sebenarnya.

Teriknya matahari siang pada pekan kedua April 2022 lalu, menuntun kami duduk di bawah rindangnya pohon Ketapang. Tepat di pelataran sekolah. Tempat duduk yang tak terlalu lebar itu, setidaknya masih cukup leluasa menampung kami. 

Sekilas tak akan ada yang menyadari, bahwa murid SD itu merupakan anak berkebutuhan khusus. Pasalnya, ciri fisik yang ia miliki sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda tersebut. Dia membaur dengan teman-temannya yang bukan ABK. 

Ana (bukan nama sebenarnya) ibu kandung Awal–siswa inklusi di sekolah tersebut mengawali ceritanya dengan hangat. Sedari dini, putra bungsunya sudah diasuh oleh bibi dan pamannya. Tak jarang, Awal kerap dicekoki gadget untuk menenangkannya kala ia menangis–cara instan yang lumrah dilakukan masyarakat belakangan.

“Pokoknya yang penting anak itu diem. Nah, kita kan juga enggak tahu ya kalau ternyata efek dari HP ini luar biasa,” cerita Ana saat ditemui pada Kamis (14/4/2022).

Kekeliruan pola asuh tersebut tak bisa serta merta diperbaiki Ana. Sebagai orangtua tunggal, dia mengaku tidak memiliki banyak pilihan, selain menitipkan Awal kepada paman bibinya.

Ana kembali mengingat momen pilu beberapa tahun silam. Usia Awal yang kala itu belum genap menginjak 2 tahun, harus ditinggalkan sosok ayahnya yang menghadap Sang Pencipta. Demi kelangsungan hidupnya dan anak-anak, Ana sibuk mencari nafkah. 

Awal diketahui mengalami attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Yakni gangguan mental yang menyebabkan anak sulit memusatkan perhatian, serta memiliki perilaku impulsif dan hiperaktif. 

Kondisi ADHD yang dialami Awal juga berbarengan dengan diagnosa speech delay (keterlambatan bicara). Anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara, biasanya memiliki tutur kata yang sulit dipahami ketika menyampaikan isi pikirannya.

Ana sempat mengalami kesedihan mendalam, melihat keadaan tumbuh kembang putranya yang terhambat. Berbekal BPJS mendiang suami dan tekad yang kuat, dirinya lantas rutin membawa Awal dua kali dalam sepekan untuk melakukan terapi di Rumah Sakit Umum Wahab Syahranie.

“Dulu kan nggak bisa bicara (sama sekali). Dulu paling cuma aaa…hee…gitu-gitu aja. Saya terapi dua tahun itu bisa Awal mulai sudah bilang mamah, panggil nama segala macam itu sudah bisa.”

Meski hingga kini Awal masih cukup kesulitan berkomunikasi dengan orang di sekitarnya, Ana tak henti mengucap syukur. Kondisi putranya saat ini telah mengalami perkembangan yang jauh lebih baik. Terlebih sekolah tempat Awal mengenyam pendidikan dasar, sudah melangsungkan tatap muka secara terbatas. 


Diakuinya, selama pandemi Covid-19 selama 2 tahun terakhir cukup menyulitkan putranya memperoleh pendidikan formal secara maksimal.

“Dia lebih memahami kalau seperti ini (sekolah offline). Karena kalau online kan (seringnya) dia cuma dikasih sekadar kertas aja. Itu pasti orang tuanya yang ngisi.”

Keadaan pandemi yang kian membaik, tak ayal manfaatnya turut dirasakan Awal dan orangtuanya. Kini di tahun kedua ia menjejaki SD, Awal perlahan dapat berkomunikasi secara terstruktur untuk menyampaikan isi pikirannya kepada orang di sekitarnya.

Alhamdulillah sekarang ini dia mulai nyambung (bicaranya) ya. Karena bisa beradaptasi dengan banyak orang,” ucap Ana dengan mata berbinar.

Lanjutkan Pendididikan di SMP Inklusi 

Kisah serupa juga datang dari seorang siswa berkebutuhan khusus yang menempuh pendidikan di SMP. Sekolah tersebut berlabelkan inklusi sejak tahun 2011. SMP ini menjadi pionir sekolah inklusi yang ada di Kota Samarinda.

Siang itu, di tengah jam pelajaran sedang berlangsung, Raka (bukan nama sebenarnya) menyempatkan diri menyambangi ruang BK. Dari obrolan singkat hari itu, ia mengizinkanku untuk bertandang mengunjungi rumahnya. Perjalanan menuju rumah Raka ke sekolah, kurang lebih memakan waktu 10 menit mengendarai sepeda motor. 

Sesampainya di sana, Siti (bukan nama sebenarnya) ibu kandung Raka bercerita, bahwa putra sulungnya termasuk orang dengan keterbatasan intelektual. Sejak kecil, tumbuh kembang anaknya tak seperti anak seusianya. Raka baru bisa berjalan di usianya yang menginjak 24 bulan, sebab tangan kanannya lemah.

Situasinya ini tak jarang mengundang gunjingan masyarakat. Mirisnya, sebagian besar berasal dari keluarga sendiri. “Jadi dia ngesot, kata orang enggak bakal bisa jalan, dikatain kurang gizi lah segala macem. Banyak lah gunjingan masyarakat. Dari keluarga juga, makanya saya sama bapaknya itu ndak usah sudah, kalau ada apa-apa enggak usah ngomong keluarga lah,” tutur Siti dengan mata teduhnya, Senin (11/4/2022).

Berbagai tekanan yang ada tak bisa dipungkiri, membuatnya putus asa dan hampir menyerah. Namun, pilihannya mantap untuk terus memberikan yang terbaik bagi anaknya tanpa peduli komentar orang lain.

“Dulu saya down, terus ya akhirnya kan ngelihat yang lain pas terapi di rumah sakit itu. Ketemu sama temen-temen yang anaknya itu ternyata lebih ‘di bawah’ anak kita. Baru dari situ saling semangati.”

Semasa Raka kecil, Siti dan suami berusaha memenuhi fasilitas di rumah bagi sang buah hati. Bukan tanpa alasan. Sebagai orangtua, hal ini mesti mereka lakukan sebab khawatir putranya dirundung kala bermain dengan teman sebaya.

“Daripada dia main sama temen-nya terus malah jadi dimusuhi. Pokoknya dia punya semangat, kepingin bisa naik sepeda, kita turuti. Kayak sepeda-sepeda itu biarpun bekas, ya, ada aja jalannya untuk kita fasilitasi,” ucapnya sambil mengingat kembali memori beberapa tahun silam.

Memasuki usia siswa SD, Raka kecil kerap kali menerima ejekan dari teman-temannya. Keadaan mulai mereda, saat sekolah Raka memiliki guru pendamping. Lulus dari bangku SD, Raka melanjutkan pendidikannya ke SMP inklusi atas rekomendasi dari gurunya. 

Persaingan yang cukup ketat, membuat Siti risau akan nasib Raka. Dari 20 orang calon peserta didik baru kala itu, hanya 10 orang yang dapat ditampung sekolah tersebut. Beruntung, Raka menjadi satu di antara 10 orang yang dinyatakan lolos seleksi.

Selama tiga tahun, Siti mengaku cukup puas dengan program-program sekolah inklusi yang ada di SMP tersebut. Ada beberapa program sekolah dirasa bisa membantu Siti dalam mendidik Raka. Seperti program rutin, yang dikemas layaknya seminar antara orang tua ABK dengan guru pendamping, serta didampingi pula oleh psikolog.

Selain itu, menurut Siti teman-teman Raka di saat SMP sangat memahami keberadaan teman-temannya yang berkebutuhan khusus. “Raka ini juga kalau di sekolah sering dibantu sama temannya. Kan dia nggak bisa tuh kalau ngikat tali sepatu. Jadi nanti temannya yang ngikat-kan.” 

Pemerintah Terkendala Anggaran dan SDM 

Sekolah inklusi hadir berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 tahun 2009, tentang “Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa”. Sebelas tahun sejak peraturan tersebut dikeluarkan, implementasinya di lapangan masih jauh dari sempurna.

Sapi’i selaku Kepala Seksi Kurikulum Pendidikan Luar Biasa Provinsi Kaltim, menyatakan bahwa pemerintah terkendala berbagai faktor. Mulai dari pemerintah yang minim mengucurkan dana dan menyediakan fasilitas pendukung, hingga terbatasnya alokasi tenaga pendidikan untuk PNS CPNS yang memiliki latar belakang pendidikan khusus. Selain itu juga dipengaruhi kurangnya pemahaman masyarakat, terkait pentingnya pendidikan inklusi. 

Dia juga menyebut sistem mutasi kepala sekolah yang sangat dinamis jadi persoalan serius. Pasalnya, perubahan tersebut menghambat pemerataan pemahaman pendidikan inklusi kepada guru-guru. 

“Misalnya kita sudah melatih kepala sekolah atau koordinator inklusif di sekolah itu. Beberapa bulan kemudian kepala sekolah itu dimutasi. Akhirnya, kepala sekolah yang punya pemahaman pindah lagi,” terang Sapi’i saat ditemui di Kantor Dinas Pendidikan Kaltim, Senin (21/3/2022).

Lebih lanjut, menurutnya dalam sistem mutasi kepala sekolah yang saat ini berlangsung, harus ada pengecualian dengan menambahkan aturan terkait waktu minimal pengabdian. “Misalnya dia sudah punya pemahaman inklusi, minimal mengabdi dulu sekian tahun. Supaya ada waktu untuk membagikan pengalaman dan pengetahuannya di sekolah tersebut.”

Kendala serupa juga dituturkan oleh Erni, Koordinator Inklusi di salah satu SD. Sekolah tempat ia mengabdi sebagai seorang guru itu, sudah sejak 2016 lalu ditetapkan sebagai sekolah inklusi. 

“Sampai saat ini setidaknya sudah dua kali ganti kepala sekolah. Rata-rata kepala sekolah itu kan nggak tau sekolah inklusi. Jadi nggak sedikit, malah yang kayak, ya udah saya serahkan sampean aja. Saya nggak paham sekolah inklusi,” ungkap Erni, Selasa (12/4/2022).

Pola yang sama juga terjadi pula pada rekan guru tempat ia mengajar. Pada beberapa tahun belakangan, Erni merasa rekan-rekannya terkesan menyerahkan seluruh tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan inklusi ke pundaknya.

“Kalau teman-teman yang lain, rasanya nggak mau sadar ke situ. Mereka merasa hal ini jatuhnya malah jadi beban. Tolong Bu Erni, ini susah, saya nggak bisa. Kayak gitu. Makanya saya ini merasa ketumpuk.”

Sementara itu Koordinator Inklusi salah satu SMP di Samarinda, Nur Kholifah, menyampaikan harapannya agar sekolah inklusi diperbanyak. 

Nah mungkin yang kami harapkan ini, untuk (pemerintah) provinsi. Untuk SMA atau SMK-nya lebih diperbanyak seperti kami. Kalau kami kan sudah dari 1 (SMP) menjadi 34 sekolah (jenjang SMP) untuk 1 Samarinda,” harapnya Senin (28/3).

Hal ini menurutnya berkaitan dengan komitmen pemerintah, berkenaan pemenuhan hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan secara layak tak terkecuali bagi ABK. 

“Setiap kecamatan harus ada, karena kalau nggak ada, dulu anak dari seberang, lempake, dikirim ke kita. Itu kan jauh. Nah harapannya nanti SMA/SMK bisa seperti itu,” pungkasnya.

Maksimalkan Potensi Anak 

Memiliki anak dengan kebutuhan khusus, tentu tak bisa selesai hanya dengan memberikannya pendidikan formal di sekolah. Untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki sang anak, antara orang tua, guru, maupun sekolah harus bersinergi dalam pembagian peran.

Orangtua sebagai elemen utama memiliki peran untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan (baik formal maupun informal) dan mendukung pencapaian prestasi belajar anak. Demikian pula dengan keterlibatan guru yang tak kalah krusial dalam pendidikan anak. 

Dosen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Anak di Universitas Mulawarman, Hairani Lubis, mengatakan bahwa peran guru dalam sekolah inklusi meliputi asesmen dan pemetaan, untuk dapat melakukan klasifikasi tentang sifat dan kekhususan masing-masing siswanya. 

Setelah didapati informasi dan data tersebut, guru juga perlu membuat suatu program pendidikan individual. Di akhir, semua hal yang telah dilakukan sebelumnya dibuat penilaian guna mengevaluasi program tersebut.

“Jadi, orangtua tidak hanya mengantar anaknya, menyerahkan semuanya ke sekolah untuk memberikan pendidikan, lalu orangtua tidak memberikan kontribusi. Tidak seperti itu. Sebab, porsinya sama-sama besar (peran) antara orang tua dan guru ABK,” jelas Hairani melalui pesan suara Whatsapp, Selasa (10/5).

Hairani juga menyoroti adiksi gadget pada anak yang marak terjadi dewasa ini. Solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan ialah dengan mengatur ulang jadwal, ataupun aturan penggunaan gawai bagi anak. Selain itu, orangtua juga disarankan untuk memperbanyak aktivitas fisik untuk anak yang dapat dilakukan di rumah.

“Jadi tidak serta-merta ketika anaknya menangis lalu diberikan hp dengan tujuan menghentikan anaknya menangis. Alternatifnya ya, lebih banyak memberikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya fisik dan interaktif dengan orang tua.”

Ada berbagai macam aktivitas alternatif yang dapat dilakukan bersama anak. Antara lain bermain puzzle, petak umpet, sampai membantu pekerjaan rumah tangga yang ringan dan sekiranya dapat dilakukan si anak. (*)

Liputan ini ditulis oleh Nindiani Kharimah, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP 2020. Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.



Kolom Komentar

Share this article