Berita Kampus

Masifnya Revenge Porn, Bagaimana Perlindungan Hukum dan Psikologis Korban?

Bagaimana perlindungan dan kondisi korban revenge porn?

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: The Guardian

SKETSA - Masih ingatkah kalian mengenai kasus penyebaran video asusila yang sempat menimpa seorang alumni sebuah Perguruan Negeri Tinggi (PTN) pada 2017? Status PTN dan namanya menjadi sorotan hingga ia mengalami pelecehan di media sosial serta cyber-bullying.

Beberapa waktu lalu, sebuah video serupa dengan sosok yang diduga mirip seorang artis juga tersebar luas di media sosial. Meskipun kasus tersebut masih diselidiki sampai sekarang, isu revenge porn kembali terangkat di tengah-tengah peristiwa ini. Lantas, seperti apa istilah revenge porn ini?

Jika diartikan, revenge porn ialah sebuah bentuk balas dendam dengan media pornografi yang melibatkan penyebaran atau distribusi suara, gambar dan/atau video eksplisit tanpa adanya persetujuan dari pihak-pihak terkait.

Dilansir dari medium.com, pada Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2019, Komnas Perempuan mencatat 97 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang terlapor pada 2018. Jumlah ini meningkat 67% dari 2017 yang jumlahnya 65 kasus. Dari 97 kasus, 33% di antaranya merupakan kasus revenge porn.

Sayangnya, perilaku revenge porn justru semakin masif karena pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ikut menyebarkan konten-konten tersebut. Mungkin kita sering sekali melihat cuitan "share link, dong!" atau "wah, video pemersatu bangsa, nih!" pada laman media sosial ketika tajuk trending dipuncaki konten pornografi.

Orin Gusta Andini, akademisi Fakultas Hukum (FH) Unmul menyatakan bahwa revenge porn secara terminologi tidak dikenal dalam hukum. Namun, perbuatan tersebut dapat merujuk pada kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transkasi Elektornik (UU ITE).

Ia menuturkan bahwa kejahatan tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang merupakan kualifikasi penyebaran konten bermuatan melanggar kesusilaan. Kemudian, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan sebagai bentuk pencemaran nama baik apabila perbuatan tersebut mengakibatkan seseorang merasa nama baiknya dicemarkan karena delik defamasi bersifat subjektif.

Menurut Orin, regulasi tersebut cukup memberi payung hukum secara nyata bagi korban revenge porn. Tetapi ia menegaskan bahwa memadai atau tidaknya suatu regulasi tetap saja berrgantung pada pelaksanaan yang dilakukan aparat penegak hukum.

Ia lantas mengungkapkan bahwa dalam hal ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juga memiliki kaitan dengan revenge porn berupa objek yang sama untuk dilindungi, yakni perempuan selaku korban asusila.

“Keberpihakan Undang-Undang tergantung pada pelaksanaan dan pemberlakuannya nanti. Namun RUU (PKS) ini pro terhadap lemahnya korban ketika terjadi kasus kesusilaan. Karena biasanya pada kasus asusila, sangat minim saksi sehingga sulit dalam pembuktian,” jelasnya pada Sketsa, Rabu (18/11).

Dikutip pula dari Tirto.id, menurut Indriyanti Suparno selaku Komisioner Komnas Perempuan, korban dari perlakuan semena-mena revenge porn akan tetap berada dalam situasi yang sulit karena belum adanya cakupan hukum yang mengatur masalah revenge porn secara khusus.

Dijelaskan Indriyanti, persoalan kekerasan di dunia maya selama ini diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun hal tersebut hanya berlaku jika memang terjadi dalam hubungan suami istri. Ini tidak mencakup hubungan pacaran atau di luar pernikahan.

"Lebih sulit lagi (diselesaikan) karena kendala hukum positif kita, terutama untuk proses pidana itu," katanya, dikutip dari Tirto.id (29/1/19).

Memahami Kondisi Korban

"Dampak yang paling terasa dialami ialah malu. Karena kontennya menyebar di dunia maya dan dapat diakses oleh orang-orang yang tidak dikenali. Kemudian ada trauma, harga diri menjadi turun, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan mental lainnya seperti depresi. Itu yang tidak kita inginkan," sebut Ayunda Ramadhani, dosen psikologi klinis Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unmul, Rabu (18/11).

Meskipun revenge porn dapat mengenai siapa saja, tetapi perempuan cenderung menjadi korban dan dianggap sebagai figur yang bersalah. Bagi Ayunda, ini masih ada kaitannya dengan sistem patriarki. Sehingga ketika perempuan mengalami revenge porn, banyak yang menganggap jika perempuan pantas mengalami hal itu karena berbagai alasan.

Ia juga menyebutkan, hal ini terdapat pula di skenario KDRT. Di mana orang terdekat seperti suami atau mantan suami menjadi pelaku revenge porn.

"Relasi antara perempuan dan laki-laki tidak dipandang setara dalam budaya kita. Jika perempuan menjadi korban, justru masyarakat menganggap hal ini wajar. Yakni sebagai suatu 'pendidikan' terhadap perempuan. Inilah stigma yang kita lawan, karena seharusnya perempuan tidak ditempatkan sebagai objek seksualitas," tuturnya.

Adanya revenge porn membuat korban menjadi lebih rentan terkena pelecehan seksual secara langsung. Ayunda menuturkan, dengan konten seksual korban yang tersebar di media sosial akan membuatnya lebih dikenali di lingkungan masyarakat dan besar kemungkinan dapat menjadi korban di dunia nyata.

Selain melaporkan tindakan ini ke pihak berwenang, dibutuhkan berbagai perlindungan dan pengertian dari orang-orang terdekat korban ketika mengalami revenge porn.

Hal pertama serta paling penting untuk dilakukan ialah pendekatan dan penguatan dalam keluarga. "Stop untuk bertanya (secara) kronologis. Dalam hal ini, keluarga jangan memposisikan korban sebagai 'korban' lagi. Jangan menimbulkan secondary trauma. Orang tua harus paham jika kondisi psikologis anak pada keadaan ini sedang berat. Jadilah tempat anak untuk bersandar dan bercerita," tutur Ayunda.

Selanjutnya yakni membatasi penggunaan media sosial untuk sementara, baik untuk keluarga maupun korban. Ini untuk mencegah adanya dampak yang lebih jauh dan menekan. Pendampingan profesional juga dibutuhkan untuk kedua pihak (keluarga dan korban) agar dapat fokus pada pemulihan dan menjauhkan distraksi.

Ayunda berpesan, bijaklah sebagai pengguna media sosial dan waspada terhadap kondisi medsos yang tidak sepenuhnya aman. Perlu untuk memahami bahwa konsekuensi dunia digital tidak sepenuhnya baik. Maka, perhatikan jejak digital yang diunggah ke media sosial.

"Ketika sudah menjadi korban, kamu tidak sendiri. Banyak yang sayang sama kamu. Yuk, kita bantu kamu untuk sama-sama pulih dari peristiwa ini," tutupnya. (len/eng/rst)



Kolom Komentar

Share this article