Diskursus Orientasi Seksual Masih Pelik, Bagaimana Seharusnya Kampus Menciptakan Ruang Inklusi?
Diskursus orientasi seksual
- 07 Sep 2022
- Komentar
- 1259 Kali
Sumber Gambar: verywellmind.com
SKETSA – Perbedaan orientasi seksual masih menjadi hal yang tak lazim, bahkan di kalangan akademisi. Seperti yang terjadi pada kegiatan penerimaan mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin, Makassar Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu.
Seorang mahasiswa baru mengaku bahwa dirinya seorang non-biner (menganggap dirinya bukan laki-laki maupun perempuan) di hadapan Wakil Dekan III Fakultas Hukum yang berujung pengusiran mahasiswa dari kegiatan pengenalan mahasiswa baru pada Jumat (19/8) lalu. Sketsa kemudian meminta tanggapan dari Sri Murlianti, dosen Prodi Pembangunan Sosial FISIP.
Ia melihat perlakuan tersebut terlalu berlebihan, sebab, beber Sri, biner ini dipengaruhi oleh gen secara biologis yang dominan dalam diri seseorang. Sehingga menimbulkan adanya pemahaman untuk tidak mendefinisikan dirinya laki-laki maupun perempuan, yang kemudian disebut sebagai non-biner.
"Yang namanya seksualitas itu kan sangat privasi dan tidak mungkin dia melakukan itu juga di ruang publik di kampus gitu lo. Kan kampus itu harusnya inklusif menerima siapapun yang mau belajar karena kesempatan belajar ada di semua orang, di semua calon mahasiswa," jelasnya ketika ditemui Sketsa pada Kamis (1/9) kemarin.
Bagi Sri, diskursus orientasi seksual sendiri tak sesederhana yang tampak. Tak dimungkiri masih banyak civitas academica yang kesulitan membedakan antara jenis kelamin dengan gender.
Penolakan terhadap perbedaan identitas gender maupun orientasi seksual, menurut Sri disebabkan oleh kondisi kebudayaan kita yang membaginya atas laki-laki dan perempuan. Budaya yang ada telah berjalan berabad-abad mendahului pengetahuan mengenai gender tersebut.
“Memang ada kebanyakan yang dominan yang kemudian kita klaim sebagai yang benar, padahal belum tentu yang dominan itu benar. Kebanyakan pembagian jenis kelamin pasti laki-laki dan perempuan dengan kode-kode di genetik itu kan XX, YY, XY apa gitu kan."
"Tetapi ternyata ada beberapa orang yang kombinasinya enggak begitu secara biologis saja yang namanya jenis kelamin itu walaupun secara umum dominan ada oposisi biner kalau enggak laki-laki, perempuan tetapi yang minoritas ini yang di tengah, itu ternyata ada,” tambahnya.
Dalam pandangan Sri, tak perlu reaktif saat berhadapan dengan mereka yang secara identitas gender berbeda dari kebanyakan—heteroseksual. Itu termasuk kepada perilaku penghakiman mayoritas yang kerap berpikir dapat menjadi penyelamat, sebab memandang perbedaan orientasi seksual ini sebagai penyakit dan kemudian mereka yang berbeda tersisihkan dalam sosial.
Dalam menghadapi perbedaan identitas gender, civitas academica perlu memberi ruang aman dan inklusif, dengan memberikan kesempatan belajar yang sama untuk menjadi intelek. Ini sebagai upaya menjaga ruang berekspresi di ranah perguruan tinggi.
“Bukannya kemudian yang kita anggap berbeda lalu dibuang gitu. Kadang-kadang kejahatan itu timbul justru karena kita tidak memberi ruang,” pungkasnya.
Seringkali tindakan intoleransi diberikan kepada pihak-pihak minoritas seperti orang dengan identitas gender atau orientasi seksual yang berbeda. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Puspitasari (2019), berjudul Opresi Kelompok Minoritas: Persekusi dan Diskriminasi LGBT di Indonesia. Takammul: Jurnal Studi Gender Dan Islam Serta Perlindungan Anak, terdapat sekitar 937 orang yang menjadi korban dari stigma, diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender di luar norma biner heteronormatif.
Hal ini kemudian menjadi hal yang perlu diperhatikan khususnya di lingkungan akademisi, sehingga diskursus gender tak menjadikan polarisasi kelompok yang superior dan lainnya merasa inferior. (vyl/rhe/tha/khn)